HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 27 Februari 2009

Kisah Hari-hari Terakhir Kehidupan Dr. GSSJ Ratu Langie

Ditulis Ibu M.C.J. Ratulangie -Tambayong
(dikutip dari http://gssjratulangie.multiply.com/)

Masa Pembuangan
Akhirnya kami mengetahui bahwa kami berada di kota Serui, terletak di pulau Yapen di teluk Geelvink di Nieuw Guinea (kemudian Irian Jaya). Kemudian kami diceriterakan bahwa sebelum kami tiba di Serui, HPB telah mengeluarkan pernyataan bahwa di kota ini akan datang tujuh oknum berbahaya. Penduduk tidak diperbolehkan bergaul dengan mereka, dan bagi pegawai - pegawai ini adalah satu larangan.

Tiap hari seorang dari Veld Politie dengan bedil dipunggung datang mengontrol kami. Ternyata bahwa antara anggauta Veld Politie ini banyak orang- orang yang berasal dari Sulawesi Utara, dan meskipun tidak mengenal kami pribadi, akan tetapi telah banyak juga dengar tentang kami. Dan kalau hari malam telah tiba maka diam-diam mereka muncul dari belakang dapur kadang-kadang dengan memegang sebuah baki ditutup dengan serbet putih yang menutupi sesuatu barang makanan, kuwe-kuwe atau buah-buahan. Pertolongan orang-orang ini sangat kami hargai.

Di kota ini dua kali seminggu diadakan pasar. Seorang mandor berbelanja untuk kami. Untuk tiga hari bagi sekeluarga yang terdiri atas lima orang kami menerima sepotong ikan kecil dan sebuntel besar daun kates ( daun papaya) yang sangat pahit. Ini adalah makanan kami untuk tiga hari. Semua ini sangat menjengkelkan saya dan pada suatu hari saya memohon suami saya untuk menghadap HPB.

Mula - mula ia menolak permintaan saya karena takut nanti si HPB., akan berlaku tidak sopan terhadap saya, namun akhirnya ia luluskan juga permintaan saya tetapi dengan didampingi oleh dua orang Bapak-bapak yang berbadan besar dan kekar. Pesan suami saya berbunyi : Bila HPB berani berlaku tidak sopan terhadap istri saya kamu harus bertindak.

Saya memulai percakapan saya dengan berkata: "Tuan mungkin tidak mengenal kami. Dapat dikatakan umur Tuan seumur anak kami. Auditeur Militair di Makassar telah menjanjikan kepada saya bahwa kami akan mendapat perlakuan "naar rang en stand". "Apakah tuan mengira kami kambing yang mau makan daun kates sebanyak itu ?". Ia berpikir sejenak lalu berkata bahwa untuk tiap - tiap anggauta keluarga ia akan mengeluarkan sebulan f. 50,-. Disamping itu kami akan menerima pembagian ransum seperti seorang pegawai.

Ternyata kemudian bahwa uang yang kami terima sebulan melebihi pengeluaran kami. Setiap tanggal 16 kami berkumpul untuk memperingati hari kami tiba di kota Serui ini. Penduduk yang haus akan kabar - kabar dari luar datang bertemu dengan Bapak-Bapak kami. Oleh Bapak-Bapak ini diberikan keterangan kepada mereka dan penerangan mengenai banyak hal. Ternyata orang-orang ini haus akan pendidikan dan pengetahuan …

Kami berada di kota ini selama dua tahun dua bulan. Pada bulan Maret 1943, kami terima sebuah kawat mengenai kepulangan kami kedunia bebas dan merdeka. Bapak-Bapak akan diberangkatkan dengan pesawat terbang ke Surabaya, lalu melalui garis demarkasi akan langsung ke Yogyakarta. Sedangkan kami keluarga- keluarga mereka akan menyusul dengan kapal laut. Dalam perjalanan dengan kapal laut ini kami mendapat pelayanan yang sangat baik dari pimpinan sampai ke pelayan -pelayan yang sangat ramah, mermbuat perjalanan itu sangat menyenangkan.

Menuju Kebebasan

Dari kapal ini waktu kami berada di lautan antara Ambon dan Makassar saya kirim permohonan kepada Leutenant Generaal Dr. van Mook, juga atas nama para istri Bapak-Bapak yang lain untuk mengizinkan kami singgah untuk beberapa waktu di kota Makassar untuk mengurus barang-barang kami yang waktu kami diberangkatkan ke pembuangan dengan tergesa-gesa kami tinggalkan begitu saja di Makassar ini.

Sesampai di kota Makassar dan kapal telah berlabuh, namun kami tidak diperbolehkan turun dari kapal oleh pemerintah NIT (Negara Indonesia Timur) dimana pada waktu itu yang menjadi presiden adalah Tjokorde Sukowati. Kami diharuskan menunggu keberangkatan ke Jakarta diatas kapal itu. Hal ini sudah tentu bertentangan dengan peraturan - peraturan dari kapal itu. Jikalau ini tak mungkin maka kami diharuskan tunggu saja disalah satu gudang hal mana sudah tentu kami protes.

Datanglah kawan-kawan lama kami : Bapak dan Ibu Saelan. Dari atas kapal saya memberitahukan kepada mereka bahwa kami tidak diperbolehkan turun ke darat. Bapak Saelan langsung menuju ke kantor Gubernur dimana ia mengeluarkan protes keras terhadap tindakan ini.

Ia menuntut agar kami diberi izin untuk turun atas tanggung jawab beliau sendiri. Ia kembali kekapal memberitahukan hal ini kepada kami, dan kami harus menandatangani suatu pernyataan yang antara lain berbunyi : Kami tidak diperbolehkan menyelenggarakan atau mengikuti rapat. Kami tidak boleh menyelenggarakan demonstrasi atau dejenisnya.

Hal-hal ini sudah tentu dengan senang hati kami tanda tangani. Saya dan anak bungsu saya menginap di rumah keluarga Saelan, keluarga yang telah lama kami kenal dan dari situ saya mengurus alat-alat rumah tangga kami yang saya tinggalkan begitu saja kepada beberapa keluarga. Saya mengumpulkan dan mengangkut barang-barang kami, dengan kendaraan truk, beca, dan sebagainya ke beberapa ruangan dari perkumpulan orang-orang Minahasa untuk menyimpan barang-barang kami. Saya sendiri mengangkat barang - barang ini dan membawa ke gedung Societeit dimana akan diadakan pelelangan dari barang - barang kami.

Ternyata bahwa tidak ada seorang kecuali keluarga Saelan yang berani mendekati kami. Barang-barang dilelang dengan hasil yang memuaskan. Sekarang kami mempunyai uang NICA yang sudah beredar di Indonesia. Hasil ini kami bawa dan menumpang satu kapal besar dari Java China Japan Lijn untuk meneruskan perjalanan kami ke Jakarta.

Keluarga Kami Bersatu Kembali

Di Tanjung Priok kami dijemput oleh suami saya dan tiga orang putri kami. Kebetulan suami saya berada di Jakarta karena beliau adalah anggauta delegasi Republik Indonesia, dalam perundingan-perundingan dengan Belanda.

Kami tak diperbolehkan tinggal di Jakarta terlalu lama dan harus meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Waktu kami tiba di Jogya tepat tanggal 17 Agustus 1948. Dari gedung-gedung dan rumah- rumah berkibar sang Merah Putih. Betapa lega hati saya berada dialam bebas yang merdeka ini, dimana dengan suara-suaran nyaring anak - anak dari kompleks dimana kami mondok menyanyikan lagu kebangsaan kita.

Ternyata kami sekeluarga akan dikirim oleh Republik Indonesia ke Pilipina untuk mencari hubungan dengan negara - negara tetangga itu. Kami hanya menunggu kesempatan pesawat terbang. Pada suatu hari kami mendengar suara kapal terbang diatas kepala saya. Saya menoleh keluar keatas dari kamar dan melihat sebuah kapal terbang melayang-layang diangkasa, saya belum lagi mengenal peasawat itu, sekonyong-konyong saya dengar suatu benda keras kira-kira 200 meter darimana saya berada jatuh ke tanah.

Nyatanya Belanda sudah mulai Aksi Kedua yang terkenal itu, semua orang menjadi panik dan tidak tahu apa yang hendak diperbuat, Semuanya kalang kabut, disana sini kami dengar letusan bom. Ada yang ingin menyingkir ketempat-tempat yang mereka perkirakan lebih aman. Suami saya menanyakan saya apa yang hendak kita perbuat.

Didalam hati saya, saya bersembahyang dan menyerahkan segala- galanya dalam tangan Tuhan. Kami tidak menyingkir, hanya diatas meja makan, kami tumpukkan sebanyak mungkin kasur - kasur. Bila kita dengar bunyian seperti air jatuh, atau air terjun, maka kami harus mencari perlindungan dibawah meja. Karena bunyi demikian menandakan adanya bom yang mendekati kami. Pintu dan jendela diseluruh rumah kami sudah tutup semua. Dengan sabar kami menunggu kejadian-kejadian selanjutnya.

Kira-kira jam 11 siang kami mendengar suara sepatu dan aba-aba dalam bahasa Belanda yang ditujukan kepada serdadu-serdadu mereka. Belanda telah menduduki ibu kota kita, dan dengan tenang kita menunggu apa yang akan terjadi atas diri kita. Pada suatu malam, kira-kira jam tujuh, anjing menggonggong dan selanjutnya terdengar suara memaki anjing itu dalam bahasa Belanda, pintu dibuka oleh seorang militer Belanda.

Ditangkap Lagi

Ia memasuki ruang makan kami dan menanyakan dimana Dr. Ratulangie berada. Itulah saatnya bahwa suami saya, untuk kesekian kalinya, dibawa oleh Belanda. Untungnya kali ini tidak kepenjara, tetapi ke istana presiden dimana telah terkumpul juga kawan-kawan lain.

Setelah beberapa hari sebagian dari mereka dibawa ke Jakarta dan ditempatkan disuatu gedung di Jalan Prapatan. Presiden Soekarno, Bung Hatta dan beberapa anggauta - anggauta lain dari pemerintah Republik Indonesia, dibawa langsung ke Bangka. Bersama suami saya yang ada di tahanan Jalab Prapatan, diantaranya Bapak-bapak Setia Budi (atau Dr. Douwes Dekker), Adam Malik, Gondokusumo, Moh. Nasir. Mereka semua sedang menunggu nasib mereka yang berada di tangan penjajah Belanda.

Dengan mendekatinya tanggal 21 April 1949 maka kaum "Republikein" (para pendukung Republik Indonesia) diantaranya Ibu Erna Djajadiningrat, yang telah menampung ibu-ibu janda-janda yang ia beri pekerjaan untuk mencari nafkah, bermaksud memperingati hari kelahiran Ibu Kartini. Mereka meminta saya untuk memimpin perayaan itu. Saya menanyakan mereka mengapa justru saya. Jawaban ibu-ibu ialah karena pada tahun 1946 di Makassar kami telah memperingati untuk pertama kali sejak perang duni kedua dan pendudukan Jepang Hari kelahiran Ibu Kartini, Pahlawan Nasional.

Saya menerima permintaan ibu-ibu ini. Pada suatu rapat, dimana kami membuat rencana acara dari perayaan itu disetujui bahwa akan diadakan resepsi di lokasi tempat renang Cikini yang sejak beberapa tahun tidak dipakai lagi yang disusul dengan suatu bazaar. Disamping itu akan diadakan pertunjukan di Gedung Komedi di Pasar Baru dan pelbagai acara lain.

Untuk penyelenggaran tersebut kami memerlukan izin. Beberapa ibu diutus untuk menemui Wali Kota yang pada waktu itu seorang berkebangsaan Belanda. Ternyata kami diperbolehkan memperingati dan merayakan hari lahirnya ibu Karini ini tetapi dengan syarat bahwa :

1. Kami tidak diperbolehkan menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
2. Tidak diperbolehkan adanya kombinasi merah dan putih dalam satu karangan bunga, atau dekorasi apapun juga.

Bila larangan ini tidak diindahkan semua acara akan dihentikan dan akan dibubarkan. Sudah tentu kami terpaksa memegang teguh pada syarat–syarat ini. Perayaan peringatan ini berjalan lancar dan meriah. Pertunjukan di gedung komedi dimana diperlihatkan tari–tarian dari seluruh Indonesia mendapat sambutan yang sangat besar sehingga kami diminta untuk mengulangi pertunjukan ini untuk kedua kalinya.

Kesehatan Suami Saya Semakin Menurun

Karena kesehatan suami saya dalam tahanan Perapatan mulai terganggu, bahkan beliau mendapat suatu serangan jantung, maka ia diperbolehkan pulang dan dirawat dirumah. Dengan demikian beliau masih sempat menghadiri perayaan hari lahirnya Ibu Kartini.
Bila saya menanyakan kepadanya apakah kami masih akan mendapatkan kemerdekaan kita, maka senantiasa jawabannya berbunyi : "Tentu kita akan merdeka akan tetapi mungkin saya tak akan dapat menikmati hasil perjuangan kita." Demikianlah yang telah dikatakannya kepada kami dan telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa bahwa pada tanggal 30 Juni 1949 ia meninggalkan tidak hanya keluarganya tetapi juga bangsa dan negara yang sangat ia cintai untuk selamanya.

Disusun oleh Ibu M.C.J. Ratulangi -Tambayong di Jakarta, sekitar akhir tahun 70-an
She was born in Amurang, Minahasa on March 2, 1901
and died in Jakarta on June 10, 1983

Terima kasih atas perhatian Anda pada tulisan Ibu saya. Tulisan ini lama berada di dalam map saya dan semakin hari kertasnya semakin menguning dan map itu semakin berdebu. Kini kami berharap tulisan ini dapat membawa kita kembali kesuatu alam pikiran yang sekarang ini terasa sangat jauh dari kita, namun demikian alam pikiran itu adalah sangat menentukan dalam sejarah tanah air kita .......
Jakarta 12 April 1998

Editor : Dr. M. Sugandi-Ratulangi

0 komentar: