Mendekonstruksi Keindonesiaan Ideologis
Demi Emansipasi Sejati
Pengantar oleh Benni E.Matindas dalam Buku "Mianahsa dalam Indonesia"
Negara adalah, dan hanyalah, ilusi. Betapapun amat besar porsi kehadirannya dalam ruang kehidupan nyata setiap individu warga; betapapun amat besar dan nyata kekuasaannya atas setiap individu warganya. Begitu kata para sosiolog yang sudah insaf bahwa yang selama ini kita kenal dan perlakukan sebagai publik (termasuk dalam hal ini negara) sesungguhnya bukan entitas dasar, bukan zat konkrit, bukan subyek yang terlahir otonom. Publik, kata Simmel misalnya, cuma kelihatannya saja ada dan bahkan penuh kuasa atas individu, namun sebenarnya ia tiada. Ia hanya ada dan beraktivitas karena adanya kepentingan serta aktivitas para individu manusia.
Para arifin “kiri ilmiah” — dibedakan dari para nabi dan empu pra-Proudhon-Marx — membuat telaah itu lebih radikal dan holistik. Di mata mereka, ilusi itu sudah menjadi ideologi, yang tak lain adalah sejenis kesadaran palsu yang membelenggu segenap sistem mental setiap manusia.
Upaya emansipasi (pembebasan) dari belenggu itulah yang dilakukan Denny Pinontoan dengan pemikiran-pemikirannya dalam buku ini.
Dengan semangat tumani (merambah wilayah baru yang terus meluas di luar kampung halaman demi mengembangkan penghidupan dan penyejahteraan) sederet panjang individu berjiwa luhur dan waskita asal Minahasa — sejak FDJ Pangemanan, Sam Ratulangi, Paul Pinontoan, Sibold Ngion, Stien Adam, AA Maramis, lalu diteruskan No’ Mononutu, LN Palar, Daan Mogot, Ventje Sumual, Lex Kawilarang, AG Lembong, Welly Sumanti, dan sangat banyak lainnya — semuanya sudah berperan sangat penting dan strategis dalam membangun dan mempertahankan sebuah ilusi luhur yang bernama “Negara Indonesia”. Tapi kemudian yang ternyatakan adalah justru lebih banyak disilusi. Kecewa — setidaknya Denny Pinontoan mengamati demikian. Di luar soal kemungkinan kurang memenuhi prinsip cover both sides data historis yang ia teropong. Di luar soal kemungkinan bisa terlalu subyektifnya tafsir atas data itu. Tapi kekecewaan lantaran ketidakadilan sudah menjadi fakta, maka Denny pun bicara!
Minahasa, juga umumnya daerah serta suku bangsa lain di Nusantara, mengalami marginalisasi dalam pembangunan ekonomi maupun proses peradaban pada keseluruhannya. Tou dan peradaban tou Minahasa pun mengalami ketidakadilan yang nyaris permanen. Akibatnya sangat parah. Dalam rangkaian kereta Negara Indonesia yang diilusikan akan menuju “Masyarakat Adil dan Makmur, Bangsa yang Cerdas, Damai dan membawa Perdamaian Dunia”, ternyata sepotong kecil gerbong yang bernama Minahasa tercecer jauh di belakang. Padahal sebelum Bangsa Minahasa fusi ke dalam Bangsa Indonesia yang menegara pada 1945, Minahasa sudah mencapai tingkat kemajuan, dan terlebih lagi tingkat laju pemajuan, yang relatif jauh lebih tinggi daripada umumnya bangsa lain di Nusantara. Sekarang, jangan kata “makmur dan adil”, untuk bertahan hidup dalam hitungan hari saja sudah sedemikian banyaknya warga yang hanya dapat memperolehnya dengan cara menjual harga diri dalam semua pengertiannya. Dari pelacur politik, pelacur birokrat, pelacur budaya, pelacur rohani, sampai pelacur dalam arti harfiah dan dengan harga yang semurah-murahnya sekalipun. Di daerah ini, tentu saja tetap dan makin banyak orang kaya harta benda dengan harga tinggi, namun sudah sangat langka pemilik harga diri yang tinggi. Apalagi jatidiri. Dan kondisi budaya yang terlalu lemah ini akan membawa secara pasti ke arah kehancuran menyeluruh, bahkan bukan tak mungkin kepunahan.
Gejala menyedihkan ini sudah lama diamati orang. Sudah banyak pula ragam reaksi yang dimunculkan; suara-suara tentang ilusi baru bernama “Negara Minahasa Merdeka” termasuk dalam barisan reaktif yang tak tepat sasaran ini. Sedang refleksi serta gagasan yang dikedepankan Denny Pinontoan dalam bukunya ini merupakan yang termaju pada arah benar. Menyingkap tabir kesadaran palsu, membebaskan dari belenggu ideologi yang mengerdilkan dan yang membuat kita gampang terjajah oleh segala paham serta kepercayaan. Belenggu yang membuat kita gampang terjajah oleh bangsa sendiri maupun oleh suku sendiri; dan pula membuat kita niscaya jadi penjajah atas orang lain maupun diri sendiri.
Itulah yang sesungguhnya kita butuhkan, dan itulah yang diberi buku ini. Bukan segala sikap reaktif yang melantur.
Menegara adalah keputusan dan tindakan sejumlah individu manusia untuk bersatu memperbesar daya demi mempercepat dan mengoptimasi pencapaian tujuan kemanusiaan sejati. Asasnya: memperbesar dan makin besar. Segala yang bertentangan dengan itu, gerak pengecilan, adalah kekeliruan obyektif. Keputusan dan langkah luhur para tona’as untuk mewujudkan spirit tumani melalui tonggak-tonggak utama Kebangsaan dan Negara Indonesia — Kebangkitan Nasional sejak akhir abad XIX, Persatuan Nasional 1926-1928, Kemerdekaan Nasional 1945-1949, Kesatuan Negara-negara Indonesia 1950 — jelas sudah benar asasi.
Membaca buku yang antara lain mendekonstruksi Nasionalisme Indonesia yang sudah menjadi kesadaran palsu dan memang penuh salah kaprah ini akan membawa kita pada: Pertama, kesadaran struktural. Negara dan ideologi Nasionalismenya, yang selama ini sudah menjadi struktur yang membelenggu kesadaran, akan terlihat secara lebih jernih, lebih benar. Walau kita adalah generasi yang lahir setelah negara itu berdiri dan kita masuk dalam ruang dan waktu negara yang sangat besar melampaui kita, tapi negara bukanlah ruang dan waktu abadi itu sendiri. Kita tidak dilahirkan untuk hanya mengabdinya dan menyembahnya; Negara maupun Nasionalisme bahkan tak boleh jadi sekadar berhala. Negara adalah hasil bentukan kita sendiri, dan kita pula yang menjaganya. Kedua, kesadaran struktural tou Minahasa mengenai keindonesiaannya itu akan menyadarkannya tentang hak-hak asasinya yang sebenarnya di satu sisi dan tentang fungsi negara yang sebenarnya di sisi lain. Kesadaran inilah yang menjadi bekal abadi setiap kita sebagai komponen negara untuk menyelenggarakan negara secara tetap adil dan setiap rakyat tetap berkedaulatan tertinggi. Keadilan dan kedaulatan yang seyogianya tidak terenggut ataupun terkurangi sedikit jua oleh apa dan siapa saja. Tidak oleh akal manipulatif kaum elit. Tidak oleh paksaan kaum mayoritas. Tidak oleh kekuasaan segala parpol. Tidak oleh ofensif kekuatan kaum militerisme. Tidak oleh serbuan money-politics. Tidak pula oleh cengkeraman budaya konsumerisme yang sangat sukar terlawankan — bila bisa ditumbuhkan kembali akar semangat tumani yakni kreativitas dan keperdulian bagi sesama.
*] Benni E. Matindas, filsuf dan budayawan.
INGIN MENDAPATKAN E-BOOK INI, HUBUNGI sytsyt2001@yahoo.com
Rabu, 13 Januari 2010
E-Book
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, Januari 13, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar