Ditulis Ibu M.C.J. Ratulangie -Tambayong
(dikutip dari http://gssjratulangie.multiply.com/)
Masa Pembuangan
Akhirnya kami mengetahui bahwa kami berada di kota Serui, terletak di pulau Yapen di teluk Geelvink di Nieuw Guinea (kemudian Irian Jaya). Kemudian kami diceriterakan bahwa sebelum kami tiba di Serui, HPB telah mengeluarkan pernyataan bahwa di kota ini akan datang tujuh oknum berbahaya. Penduduk tidak diperbolehkan bergaul dengan mereka, dan bagi pegawai - pegawai ini adalah satu larangan.
Tiap hari seorang dari Veld Politie dengan bedil dipunggung datang mengontrol kami. Ternyata bahwa antara anggauta Veld Politie ini banyak orang- orang yang berasal dari Sulawesi Utara, dan meskipun tidak mengenal kami pribadi, akan tetapi telah banyak juga dengar tentang kami. Dan kalau hari malam telah tiba maka diam-diam mereka muncul dari belakang dapur kadang-kadang dengan memegang sebuah baki ditutup dengan serbet putih yang menutupi sesuatu barang makanan, kuwe-kuwe atau buah-buahan. Pertolongan orang-orang ini sangat kami hargai.
Di kota ini dua kali seminggu diadakan pasar. Seorang mandor berbelanja untuk kami. Untuk tiga hari bagi sekeluarga yang terdiri atas lima orang kami menerima sepotong ikan kecil dan sebuntel besar daun kates ( daun papaya) yang sangat pahit. Ini adalah makanan kami untuk tiga hari. Semua ini sangat menjengkelkan saya dan pada suatu hari saya memohon suami saya untuk menghadap HPB.
Mula - mula ia menolak permintaan saya karena takut nanti si HPB., akan berlaku tidak sopan terhadap saya, namun akhirnya ia luluskan juga permintaan saya tetapi dengan didampingi oleh dua orang Bapak-bapak yang berbadan besar dan kekar. Pesan suami saya berbunyi : Bila HPB berani berlaku tidak sopan terhadap istri saya kamu harus bertindak.
Saya memulai percakapan saya dengan berkata: "Tuan mungkin tidak mengenal kami. Dapat dikatakan umur Tuan seumur anak kami. Auditeur Militair di Makassar telah menjanjikan kepada saya bahwa kami akan mendapat perlakuan "naar rang en stand". "Apakah tuan mengira kami kambing yang mau makan daun kates sebanyak itu ?". Ia berpikir sejenak lalu berkata bahwa untuk tiap - tiap anggauta keluarga ia akan mengeluarkan sebulan f. 50,-. Disamping itu kami akan menerima pembagian ransum seperti seorang pegawai.
Ternyata kemudian bahwa uang yang kami terima sebulan melebihi pengeluaran kami. Setiap tanggal 16 kami berkumpul untuk memperingati hari kami tiba di kota Serui ini. Penduduk yang haus akan kabar - kabar dari luar datang bertemu dengan Bapak-Bapak kami. Oleh Bapak-Bapak ini diberikan keterangan kepada mereka dan penerangan mengenai banyak hal. Ternyata orang-orang ini haus akan pendidikan dan pengetahuan …
Kami berada di kota ini selama dua tahun dua bulan. Pada bulan Maret 1943, kami terima sebuah kawat mengenai kepulangan kami kedunia bebas dan merdeka. Bapak-Bapak akan diberangkatkan dengan pesawat terbang ke Surabaya, lalu melalui garis demarkasi akan langsung ke Yogyakarta. Sedangkan kami keluarga- keluarga mereka akan menyusul dengan kapal laut. Dalam perjalanan dengan kapal laut ini kami mendapat pelayanan yang sangat baik dari pimpinan sampai ke pelayan -pelayan yang sangat ramah, mermbuat perjalanan itu sangat menyenangkan.
Menuju Kebebasan
Dari kapal ini waktu kami berada di lautan antara Ambon dan Makassar saya kirim permohonan kepada Leutenant Generaal Dr. van Mook, juga atas nama para istri Bapak-Bapak yang lain untuk mengizinkan kami singgah untuk beberapa waktu di kota Makassar untuk mengurus barang-barang kami yang waktu kami diberangkatkan ke pembuangan dengan tergesa-gesa kami tinggalkan begitu saja di Makassar ini.
Sesampai di kota Makassar dan kapal telah berlabuh, namun kami tidak diperbolehkan turun dari kapal oleh pemerintah NIT (Negara Indonesia Timur) dimana pada waktu itu yang menjadi presiden adalah Tjokorde Sukowati. Kami diharuskan menunggu keberangkatan ke Jakarta diatas kapal itu. Hal ini sudah tentu bertentangan dengan peraturan - peraturan dari kapal itu. Jikalau ini tak mungkin maka kami diharuskan tunggu saja disalah satu gudang hal mana sudah tentu kami protes.
Datanglah kawan-kawan lama kami : Bapak dan Ibu Saelan. Dari atas kapal saya memberitahukan kepada mereka bahwa kami tidak diperbolehkan turun ke darat. Bapak Saelan langsung menuju ke kantor Gubernur dimana ia mengeluarkan protes keras terhadap tindakan ini.
Ia menuntut agar kami diberi izin untuk turun atas tanggung jawab beliau sendiri. Ia kembali kekapal memberitahukan hal ini kepada kami, dan kami harus menandatangani suatu pernyataan yang antara lain berbunyi : Kami tidak diperbolehkan menyelenggarakan atau mengikuti rapat. Kami tidak boleh menyelenggarakan demonstrasi atau dejenisnya.
Hal-hal ini sudah tentu dengan senang hati kami tanda tangani. Saya dan anak bungsu saya menginap di rumah keluarga Saelan, keluarga yang telah lama kami kenal dan dari situ saya mengurus alat-alat rumah tangga kami yang saya tinggalkan begitu saja kepada beberapa keluarga. Saya mengumpulkan dan mengangkut barang-barang kami, dengan kendaraan truk, beca, dan sebagainya ke beberapa ruangan dari perkumpulan orang-orang Minahasa untuk menyimpan barang-barang kami. Saya sendiri mengangkat barang - barang ini dan membawa ke gedung Societeit dimana akan diadakan pelelangan dari barang - barang kami.
Ternyata bahwa tidak ada seorang kecuali keluarga Saelan yang berani mendekati kami. Barang-barang dilelang dengan hasil yang memuaskan. Sekarang kami mempunyai uang NICA yang sudah beredar di Indonesia. Hasil ini kami bawa dan menumpang satu kapal besar dari Java China Japan Lijn untuk meneruskan perjalanan kami ke Jakarta.
Keluarga Kami Bersatu Kembali
Di Tanjung Priok kami dijemput oleh suami saya dan tiga orang putri kami. Kebetulan suami saya berada di Jakarta karena beliau adalah anggauta delegasi Republik Indonesia, dalam perundingan-perundingan dengan Belanda.
Kami tak diperbolehkan tinggal di Jakarta terlalu lama dan harus meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Waktu kami tiba di Jogya tepat tanggal 17 Agustus 1948. Dari gedung-gedung dan rumah- rumah berkibar sang Merah Putih. Betapa lega hati saya berada dialam bebas yang merdeka ini, dimana dengan suara-suaran nyaring anak - anak dari kompleks dimana kami mondok menyanyikan lagu kebangsaan kita.
Ternyata kami sekeluarga akan dikirim oleh Republik Indonesia ke Pilipina untuk mencari hubungan dengan negara - negara tetangga itu. Kami hanya menunggu kesempatan pesawat terbang. Pada suatu hari kami mendengar suara kapal terbang diatas kepala saya. Saya menoleh keluar keatas dari kamar dan melihat sebuah kapal terbang melayang-layang diangkasa, saya belum lagi mengenal peasawat itu, sekonyong-konyong saya dengar suatu benda keras kira-kira 200 meter darimana saya berada jatuh ke tanah.
Nyatanya Belanda sudah mulai Aksi Kedua yang terkenal itu, semua orang menjadi panik dan tidak tahu apa yang hendak diperbuat, Semuanya kalang kabut, disana sini kami dengar letusan bom. Ada yang ingin menyingkir ketempat-tempat yang mereka perkirakan lebih aman. Suami saya menanyakan saya apa yang hendak kita perbuat.
Didalam hati saya, saya bersembahyang dan menyerahkan segala- galanya dalam tangan Tuhan. Kami tidak menyingkir, hanya diatas meja makan, kami tumpukkan sebanyak mungkin kasur - kasur. Bila kita dengar bunyian seperti air jatuh, atau air terjun, maka kami harus mencari perlindungan dibawah meja. Karena bunyi demikian menandakan adanya bom yang mendekati kami. Pintu dan jendela diseluruh rumah kami sudah tutup semua. Dengan sabar kami menunggu kejadian-kejadian selanjutnya.
Kira-kira jam 11 siang kami mendengar suara sepatu dan aba-aba dalam bahasa Belanda yang ditujukan kepada serdadu-serdadu mereka. Belanda telah menduduki ibu kota kita, dan dengan tenang kita menunggu apa yang akan terjadi atas diri kita. Pada suatu malam, kira-kira jam tujuh, anjing menggonggong dan selanjutnya terdengar suara memaki anjing itu dalam bahasa Belanda, pintu dibuka oleh seorang militer Belanda.
Ditangkap Lagi
Ia memasuki ruang makan kami dan menanyakan dimana Dr. Ratulangie berada. Itulah saatnya bahwa suami saya, untuk kesekian kalinya, dibawa oleh Belanda. Untungnya kali ini tidak kepenjara, tetapi ke istana presiden dimana telah terkumpul juga kawan-kawan lain.
Setelah beberapa hari sebagian dari mereka dibawa ke Jakarta dan ditempatkan disuatu gedung di Jalan Prapatan. Presiden Soekarno, Bung Hatta dan beberapa anggauta - anggauta lain dari pemerintah Republik Indonesia, dibawa langsung ke Bangka. Bersama suami saya yang ada di tahanan Jalab Prapatan, diantaranya Bapak-bapak Setia Budi (atau Dr. Douwes Dekker), Adam Malik, Gondokusumo, Moh. Nasir. Mereka semua sedang menunggu nasib mereka yang berada di tangan penjajah Belanda.
Dengan mendekatinya tanggal 21 April 1949 maka kaum "Republikein" (para pendukung Republik Indonesia) diantaranya Ibu Erna Djajadiningrat, yang telah menampung ibu-ibu janda-janda yang ia beri pekerjaan untuk mencari nafkah, bermaksud memperingati hari kelahiran Ibu Kartini. Mereka meminta saya untuk memimpin perayaan itu. Saya menanyakan mereka mengapa justru saya. Jawaban ibu-ibu ialah karena pada tahun 1946 di Makassar kami telah memperingati untuk pertama kali sejak perang duni kedua dan pendudukan Jepang Hari kelahiran Ibu Kartini, Pahlawan Nasional.
Saya menerima permintaan ibu-ibu ini. Pada suatu rapat, dimana kami membuat rencana acara dari perayaan itu disetujui bahwa akan diadakan resepsi di lokasi tempat renang Cikini yang sejak beberapa tahun tidak dipakai lagi yang disusul dengan suatu bazaar. Disamping itu akan diadakan pertunjukan di Gedung Komedi di Pasar Baru dan pelbagai acara lain.
Untuk penyelenggaran tersebut kami memerlukan izin. Beberapa ibu diutus untuk menemui Wali Kota yang pada waktu itu seorang berkebangsaan Belanda. Ternyata kami diperbolehkan memperingati dan merayakan hari lahirnya ibu Karini ini tetapi dengan syarat bahwa :
1. Kami tidak diperbolehkan menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
2. Tidak diperbolehkan adanya kombinasi merah dan putih dalam satu karangan bunga, atau dekorasi apapun juga.
Bila larangan ini tidak diindahkan semua acara akan dihentikan dan akan dibubarkan. Sudah tentu kami terpaksa memegang teguh pada syarat–syarat ini. Perayaan peringatan ini berjalan lancar dan meriah. Pertunjukan di gedung komedi dimana diperlihatkan tari–tarian dari seluruh Indonesia mendapat sambutan yang sangat besar sehingga kami diminta untuk mengulangi pertunjukan ini untuk kedua kalinya.
Kesehatan Suami Saya Semakin Menurun
Karena kesehatan suami saya dalam tahanan Perapatan mulai terganggu, bahkan beliau mendapat suatu serangan jantung, maka ia diperbolehkan pulang dan dirawat dirumah. Dengan demikian beliau masih sempat menghadiri perayaan hari lahirnya Ibu Kartini.
Bila saya menanyakan kepadanya apakah kami masih akan mendapatkan kemerdekaan kita, maka senantiasa jawabannya berbunyi : "Tentu kita akan merdeka akan tetapi mungkin saya tak akan dapat menikmati hasil perjuangan kita." Demikianlah yang telah dikatakannya kepada kami dan telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa bahwa pada tanggal 30 Juni 1949 ia meninggalkan tidak hanya keluarganya tetapi juga bangsa dan negara yang sangat ia cintai untuk selamanya.
Disusun oleh Ibu M.C.J. Ratulangi -Tambayong di Jakarta, sekitar akhir tahun 70-an
She was born in Amurang, Minahasa on March 2, 1901
and died in Jakarta on June 10, 1983
Terima kasih atas perhatian Anda pada tulisan Ibu saya. Tulisan ini lama berada di dalam map saya dan semakin hari kertasnya semakin menguning dan map itu semakin berdebu. Kini kami berharap tulisan ini dapat membawa kita kembali kesuatu alam pikiran yang sekarang ini terasa sangat jauh dari kita, namun demikian alam pikiran itu adalah sangat menentukan dalam sejarah tanah air kita .......
Jakarta 12 April 1998
Editor : Dr. M. Sugandi-Ratulangi
Jumat, 27 Februari 2009
Kisah Hari-hari Terakhir Kehidupan Dr. GSSJ Ratu Langie
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Jumat, Februari 27, 2009 0 komentar
Label: sejarah
Kamis, 12 Februari 2009
Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946
Oleh Ben Wowor
PADA 7 Februari 1946 seluruh rencana telah rampung sampai pada tindakan-tindakan darutat serta pengamanan bilamana terjadi sesuatu kemacetan. Rencana ini telah pula diberitahukan kepada BW Lapian dalam suatu rapat rahasia yang diadakan pada hari itu di rumahnya di Singkil, Manado Utara. Juga turut dalam perundingan PM Tangkilisan, juga telah dihubungi No Ticoalu dan dr Tumbelaka. Situasi Markas Besar KNIL di Tomohon senantiasa diberitahukan oleh AS Rombot melalui FW Sumanti yang bertindak sebagai ordonans umum.
Pembagian tugas yang ditetapkan oleh Ch Taulu dan SD Wuisan sebagai berikut:
1. Kompi-VII dijadikan combat troop, dipimpin Mambo Runtukahu, Yus Kotambunan, Gerson Andris, Mas Sitam, Lengkong Item dan Niko Anes. Mereka menguasai dan mengamankan perwira-perwira Belanda KNIL dan NICA.
2. Yang pertama harus dikuasai bahan makanan, senjata, mesiu dan pakaian.
3. Kompi-148 dibawah pimpinan Wim Waney, dibantu Wim Tamburian, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga, Bert Sigarlaki, Samel Kumaunang, Oscar Rumambi, setelah dapat dikuasai tempat-tempat suplai tersebut, harus menjalankan -aksi penangkapan terhadap anggota tentara Belanda dan pejabat-pejabat NICA di rumah mereka.
4. SD Wuisan menguasai Kompi-143 dan akan mengawasi kamp tawanan Jepang di Girian-Bitung; Sigar Mende dan Polet Malonda Kompi-144 di Manado dan Suparmin Kompi-142 di Tomohon.
5. Pengamanan markas besar di Tomohon dan telekomunikasi ditugaskan kepada telegrafis-markonis AS Rombot yang selanjutnya akan menguasai semua dinas radio.
No Tooy menguasai semua dinas telepon dan Maurits Rotinsulu dinas pengangkutan.
6. Kurir-kurir istimewa untuk menghubungi pemuda-pemuda di Manado, Tondano dan pedalaman Minahasa adalah No Korompis, Gustaf Sumarauw, Jan Sambuaga dan Wim Tamburian.
Penangkapan di Kalangan Militer
Pada 28 Januari 1946, Freddy Lumanauw dan Mantik Pakasi dipanggil Komandan Garnisun, Kapten Blom, dan langsung dibawa ke penjara karena ada laporan bahwa mereka sedang mengatur komplot untuk menggulingkan kekuasaan KNIL di tangan Belanda. Pada 31 Januari Lumanauw dan Mantik dibawa di bawah pengawalan MP ke Tomohon dan langsung diperiksa oleh Oditur Militer Mr OE Schravendijck. Pada hari itu mereka dikembalikan ke penjara Manado karena mereka tidak bersedia mengungkapkan sebab dan latarbelakang sehingga mereka mulai berkomplot. Selama dalam tahanan ini mereka diberitahu oleh Frans Korah tentang perkembangan rencana persiapan kup yang diatur oleh Taulu, Wuisan dan Sumanti.
Pada 6 Februari 1946 mereka kembali diperiksa di Tomohon, dimana kepada mereka dinyatakan oleh Oditur Militer bahwa sudah diperoleh bukti yang jelas menunjukkan, bahwa mereka pada 1944 telah dikirim ke Sulut dengan tugas khusus dari Dr Ratulangi yang kini berada di Makassar untuk melaksanakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Lumanauw yakin bahwa mata-mata Belanda telah mengikuti pembicaraan dalam perundingan-perundingan rahasia dari pasukan Tubruk dan Schravendijck telah mengadakan pengecekan dengan atasannya di Jakarta. Proses pengusutan ini akan membawa mereka ke sidang mahkamah militer, namun mereka tidak bersedia menuturkan mission yang diberikan oleh Ratulangi pada waktu mereka diberangkatkan dari Jakarta itu.
NICA menjadi gelisah karena setelah gerakan-gerakan pemuda berhasil ditekannya, malah tubuh dan aparatnya sendiri, yakni KNIL, telah disusupi oleh musuh-musuh Republik yang berpemerintahan pusat di Jogyakarta.
Kemudian pribadi-pribadi Taulu dan Wuisan semakin besar mendapat perhatian dan sorotan dari pimpinan KNIL.
Opsir-opsir Belanda telah beberapa kali mengadakan pertemuan antara mereka sendiri, yakni Blom, Verwaayen, De Leeuw, Molenburgh, Brouwers dan lain-lain untuk menemukan jalan, cara bagaimana mereka dapat menumpas gerakan-gerakan bawah tanah dalam tubuh KNIL, supaya tidak menjalar ke seluruh jajaran KNIL. Mereka semakin bingung, karena setelah penangkapan pemuda-pemuda pada 9 Januari lalu dan kemudian pada 28 Januari Lumanauw dan Pakasi diamankan di penjara, sebenarnya sudah tidak ada lagi anasir-anasir Republik yang mereka harus takuti.
Pada 9 Februari pimpinan KNIL mengambil tindakan pengamanan di kompleks tentara Teling dengan menangkap anggota komplotan Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian. Mereka ini dikunci dalam sel Tangsi Putih. Bukti kegiatan mereka, termasuk menghubungi pemuda-pemuda ekstremis dan pejabat-pejabat tertentu yang dicurigai, sudah cukup jelas bagi NICA setelah dicek dengan laporan-laporan yang masuk.
Taulu dan Wuisan Masuk Sel
Namun, keadaan menjadi makin tegang. Pada 13 Februari, jam 9 pagi, Furir Taulu dipanggil komandan Kapten Blom dan setelah senjatanya dilucuti oleh sersan-mayor Brouwers, maka ia dimasukkan dalam sel tahanan.
Tidak berapa lama Sersan Bisman dipanggil oleh Kapten Blom, tetapi ia tidak ditahan, mungkin karena ia memiliki tanda jasa dari Tentara Sekutu. Bisman dalam Perang Dunia ke-2 mendapat latihan intelejen di Australia dan sering turut dalam kapal selam Sekutu untuk dilepaskan di perairan daerah musuh untuk mencari tahu kekuatan tentara Jepang, seperti yang dilakukannya di Tarakan dan di Manado pada 1944.
Selanjutnya Komandan Kompi VII, Carlier, dipanggil oleh Komandan Korps, Kapten Blom, yang menanyakan kepadanya bagaimana dengan keadaan Kompi VII. Dijawab oleh Letnan Carlier bahwa Kompi VII dapat mengamankan seluruh Sulut, karena prajurit-prajuritnya banyak berpengalaman dalam perang yang baru lampau, lagipula kompi ini adalah pemberani, namun patuh dan setia pada atasannya.
Mambi Runtukahu Memelopori Aksi
Yang memelopori aksi adalah Peleton I: Mambi Runtukahu, Wkl Kmd Regu I, Gerson Andris, Wkl Kmd Regu II, Mas Sitam, Wkl Kmd Regu III, Yus Kotambunan, Kmd Verkenner, Lengkong Item, Angg regu IV dan Wehantouw Verkenner.
Kota Manado Dikuasai
Di penjara Manado para tahanan nasionalis pada tengah malam itu dengan hati berdebar-debar menunggu saat dimulaikan aksi di Teling. Karena mereka juga telah diberitahu tentang saat dan awal aksi ini sebelumnya melalui titipan surat yang disembunyikan dalam makanan. Mereka amat cemas dan hampir saja putus asa ketika mendengar bahwa unsur-unsur pimpinan pemberontakan sudah tertangkap.
Ketegangan memuncak ketika pintu besi dari penjara berbunyi gemerincing: Apakah aksi telah gagal dan Belanda akan memperkeras tindakan-tindakan penekanan? Demikianlah Lumanauw dan Pakasi bertanya-tanya. Melalui trali-trali sel tampaklah pada mereka bukanlah Polisi Militer (PM) yang muncul melainkan kawan-kawan Frans Lantu dan Yus Kotambunan. Mereka memasuki halaman penjara dengan menyandang beberapa perlengkapan senjata serta didampingi oleh sipir yang membawa kunci-kunci. Semuanya lalu bersorak-sorak gembira. Lumanauw dan Pakasi diberikan masing-masing senapan dan pistol, karena mereka harus melanjutkan tugas untuk menyelesaikan aksi kup itu yang tengah berjalan dan masih berbentuk tanda tanya.
Kaum nasionalis yang selama ini meringkuk dalam tahanan semuanya dibebaskan. Tampak di antara mereka tokoh-tokoh perintis nasional seperti GE Dauhan, A Manoppo, OH Pantouw, Max Tumbel, Dr Sabu, FH Kumontoy, CP Harmanses, HC Mantiri, NP Somba dan juga pemimpin-pemimpin pemuda BPNI, John Rahasia dan Mat Canon.
Komandan Garnisun Manado, Kapten Blom, yang berdiam di Sario dibangunkan oleh ajudannya dengan kata-kata: ‘’Kapten diminta datang segera ke Teling karena keadaan agak berbahaya. Letnan Verwaayen mendesak agar segera datang!’’ Juga ditegaskan oleh ajudannya, bahwa para pengawal sudah siap menunggu di luar dengan sebuah jeep, bahwa perjalanan aman dan penjagaan cukup kuat.
Pada subuh hari semua tentara Belanda dimasukkan dalam tahanan di Teling dan selebihnya dibawa ke penjara untuk menggantikan para tahanan nasionalis yang telah dibebaskan.
Sang Saka Merah Putih Berkibar
Pada jam 03.00 di markas tentara di bukit Teling, sewaktu aksi penangkapan sedang berjalan, maka Wangko Sumanti yang memberikan perintah, mengambil bendera Belanda (merah-putih-biru) yang disimpan di rumah jaga, merobek helai birunya dan menyerahkan bagian dwi-warna kepada Mambi Runtukahu yang sudah siap sebagai inspektur upacara menunggu dekat tiang bendera. Secara hikmat bendera Merah Putih digerek oleh Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar pada saat fajar menyingsing di bumi Sulut.
Ternyata pasukan-pasukan KNIL yang ada di Tomohon dan Girian masih dikuasai oleh perwira-perwira Belanda dan perlu mendapat penyelesaian dari Manado. Perintah dan persiapan dilakukan oleh Wangko Sumanti untuk meneruskan aksi kup ini di Tomohon dan Girian.
Tomohon Diserbu: Korban di Kedua Belah Pihak
Segera Frans Bisman dan Freddy Lumanauw ditugaskan dengan dua peleton siap tempur untuk menuju Tomohon. Pada jam 04.30 14 Februari mereka berangkat dengan empat kendaraan, yaitu 2 jeep dan 2 truck/power. Jeep depan berbendera Merah-Putih dikendarai oleh Frans Bisman dengan beberapa pengawal penembak bren, menyusul jeep kedua dengan perlengkapan dan pengawalan yang sama; yang ditempati oleh Freddy Lumanauw.
Di luar Kota Manado konvoi ini sedikit mengalami hambatan karena jeep terdepan terjerumus dalam selokan, sehingga agak memakan waktu untuk menariknya, namun tak ada kerusakan apa-apa.
Gelaerts, demikian nama sersan Belanda itu, berada di Manado waktu terjadi kup tengah malam dan ia langsung mengendarai motornya ke Tomohon untuk memberitahukan kejadian ini kepada Komandan De Vries setelah hubungan telepon terputus.
Sewaktu mau kembali ke Manado pagi itu dan berada di pompa bensin untuk mengisi minyak ia berpapasan dengan pasukan penyerbu dari Bisman.
Ultimatum Kepada Komandan KNIL
Komandan Polisi Samsuri yang menjadi penghubung antara Pasukan Bisman dan Komandan KNIL De Vries, membawa ultimatum dari Bisman agar De Vries dengan seluruh pasukan-pasukannya di Tomohon ialah Kompi-142 dan satu kompi stafnya menyerahkan diri. Dengan dua tangannya diangkat ke atas, Samsuri menempuh jarak duaratus meter lebih menuju ke Markas De Vries, di mana komandan ini sudah siap dengan stellingnya.
Samsuri menjelaskan kepada De Vries bahwa pasukan dari Manado telah tiba di persimpangan jalan di depan kantor polisi Tomohon dan meminta Overste De Vries bersama pasukannya di Tomohon menyerahkan diri.
Samsuri kembali untuk menyampaikan jawaban ini dan untuk kedua kalinya Bisman memerintahkan Samsuri untuk memberitahukan De Vries bahwa pasukan dari Manado akan segera mengadakan serangan.
Mendengar akan ultimatum terakhir ini maka De Vries memutuskan dan menyampaikan kepada Samsuri bahwa ia akan menyerahkan diri bersama pasukan-pasukan di Tomohon, termasuk para penguasa sipil NICA kepada pasukan Bisman.
Kup Berhasil dan Penguasa-penguasa Belanda Tertawan
Upacara penyerahan berlangsung dengan pelbagai campuran perasaan bagi kedua pihak masing-masing. Komandan KNIL itu terharu dan bercucuran air mata ketika bendera merah-putih-biru disobek helai birunya dan dwi-warna Merah-Putih dinaikkan pada tiangnya. Atas permintaan Bisman maka De Vries menuju ke kendaraan yang tersedia dan bersama-sama mereka menuju ke kantor polisi untuk meneruskan perjalanan ke Manado.
Residen Coomans de Ruyter, Komandan NICA, diambil dari tempat kediamannya di rumah sakit RK Gunung Maria, begitu anggota-anggota Staf NICA lainnya yang berada di Kaaten-Tomohon dikumpulkan di kantor polisi dan dengan sebuah truk mereka langsung dibawa ke tempat penampungan di Manado.
Suatu pasukan kecil di bawah pimpinan Freddy Lumanauw masih harus meneruskan tugas operasi ke pedalaman Minahasa. Pengemudinya Oscar Pandeiroth menggantikan Alo Porayouw yang telah gugur sebagai seorang pahlawan kemerdekaan dan menjadi pahlawan 14 Februari 1946 yang pertama.
Suatu peristiwa yang menegangkan yang diceritakan Freddy Lumanauw kemudian, ialah ketika dalam persiapan untuk menyerbu markas De Vries, kedapatan olehnya bahwa peluru-peluru yang dibawa pasukan tidak cocok dengan senjata Lee Enfield, karena buatan Jepang. Wangko Sumanti di Teling Manado segera dihubungi melalui telepon dan ternyata memang ada kekeliruan dan diakui Sumanti sebagai keteledoran akibat kesibukan pada waktu pasukan disiapkan di malam buta untuk dikirim ke Tomohon. Seandainya ada terjadi penyerbuan dan pertempuran maka senapan-senapan yang dibawa akan tidak berdaya dan tidak ada gunanya.
Pengamanan di kota-kota kecamatan di Minahasa disertai dengan penurunan bendera Belanda dan diganti dengan penaikan bendera Merah-Putih, berlangsung di instansi-instansi pemerintah dan polisi setempat di bawah pimpinan Freddy Lumanauw. Berturut-turut di Tondano, Remboken, Kakas, Langowan dan Kawangkoan, selesai upacara bendera dilakukan penertiban seperlunya di kalangan pamong-praja dengan mendapat bantuan penuh dari pasukan-pasukan pemuda.
Penyelesaian di Kamp Tawanan Jepang
Pada subuh 14 Februari 1945, juga suatu pasukan dari Manado di bawah pimpinan Maurits Rotinsulu yang ditugaskan ke Girian untuk menguasai kamp tawanan Jepang, berhasil menangkap anggota-anggota tentara Belanda di asrama Girian dengan bantuan Samel Kumaunang dan Hans Lengkoan, namun komandan kampemen tawanan yang bermarkas di Wangurer, Letnan Van Emden, bertahan dan tetap menguasai seluruh kamp tawanan itu. Perwira ini tidak mengakui penyerahan pimpinan KNIL kepada pihak pemberontak, sedangkan ia adalah komandan dari Sekutu. Malah ia sempat menahan seorang anggota pasukan Rotinsulu yang bernama Makalew.
Setelah kegagalan ini dilaporkan kepada Taulu, maka Taulu bersama Sumanti pergi ke Sario untuk meminta perintah tertulis dari Kapten Blom buat Van Emden, agar ia segera menyerahkan diri kepada pasukan Sumanti yang akan dikirim ke Girian.
Bert Sigarlaki yang adalah ordonans tetap untuk Van Emden diterima untuk masuk ke dalam kampemen dan menemui Van Emden. Setelah surat dari Blom dibacanya, maka surat itu diludahinya dengan melemparkan kata-kata kotor kepada alamat Blom seraya menyentak bahwa semua mereka sebangsa di Manado adalah pengecut dan bukan militer.
Kumaunang dan Lengkoan yang menguasai asrama tentara di Girian memikirkan suatu siasat lain untuk menangkap Van Emden, yaitu menunggu saatnya mereka berdua memegang pos di kamp tawanan di lokasi Wangurer.
Begitulah pada 17 Februari 1946 pada jam 06.00 pagi kedua pejuang ini masuk dalam kelompok jaga, seluruhnya terdiri dari 8 orang. Mereka ini sepakat untuk menunjuk Samel Kumaunang yang akan menangkap Van Emden, mengingat tubuhnya yang besar dan kekar akan dapat menguasai perwira Belanda itu, bila terpaksa harus adu kekuatan.
Tidak lama kemudian muncul komandan itu dengan jeepnya, lengkap dengan senjata dua pistos pada masing-masing pinggangnya dan satu stegun yang disandang. Waktu ia turun dari kendaraannya menuju ke pos, Kumauang berseru: '‘Komandan, Green bizonderheden!’’ (tidak kurang apa-apa dalam penjagaan), namun disambungnya lagi: ‘’Letnan, kenapa kami tidak dapat jatah rokok dari Manado, apakah saya boleh merokok?’’ ‘’Oh, tentu saja’’, jawab Van Emden, dan tangannya sibuk memeriksa dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Ketika ia menyampaikan sebatang rokok sambil menyiapkan apinya kepada Kumaunang, maka secepat kilat tangan letnan yang diulurkan itu ditarik dengan sekuat-kuatnya, badannya condong jatuh ke depan dan setelah tangannya itu diputar, stegun jatuh ke tanah dan kedua pistolnya dapat dilucut oleh Kumaunang. Pada saat itu kawan-kawan lain menyergap perwira itu, mengikat kedua tangan kakinya dan menyeretnya ke dalam jeep. Ia dibiarkan dalam keadaan terikat dan di bawah pengawasan, sampai seluruh kampemen tawanan dan penjagaan telah ditertibkan dan dapat berjalan normal kembali, kini di bawah kekuasaan Tentara Nasional Indonesia.
Para anggota tentara Belanda lainnya sudah lebih dahulu diangkut secara terpisah dari komandan kampemen dengan adanya berita: ‘’Perintah dari korps komandan supaya para perwira dan perwira bawahan harus segera berkumpul di Manado tanpa membawa senjata’’.
Kemudian rombongan yang dipimpin oleh Kumaunang mengantar Van Emden ke Manado, disusuli rombongan dari Sumanti yang ditugaskan oleh Taulu dengan maksud yang sama.
Di sepanjang jalan rakyat menyambut kemenangan ini dengan sorak-sorakan ‘’Hidup Merah Putih’’. Dalam kup selama beberapa hari ini semua warga Belanda dari KNIL maupun dari NICA berhasil ditawan. Seorang pengusaha perkebunan Belanda, Van Loon, yang coba melarikan diri dengan perahu kecil ke Ternate, terpaksa harus kembali di pantai Likupang dan ia langsung menyerahkan diri.
Sumber http://opini-manadopost.blogspot.com/2008/02/peristiwa-merah-putih-pecah-sulut.html download Jumat, 14 Februari 2009
================
Profil B.W. Lapian
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Kamis, Februari 12, 2009 0 komentar
Label: sejarah