(sebuah pengantar untuk ’ber-filsafat’ Minahasa)
Oleh: Denni Pinontoan
Secara umum yang kita kenal mengenai istilah ”filsafat” diartikan sebagai usaha mencari kebenaran sedalam-dalamnya. Berasal dari kata Yunani: ”philosophia”. Terdiri dari kata ”philo”, yang berarti ”cinta” dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan ”sophia” mempunyai arti ”hikmah”, ”kebijaksanaan”, dan ”kebenaran”. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).
Selama ini yang dikenal adalah filsafat Barat, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran filosofi yang dirumuskan mulai dari filsuf-filsuf alam Yunani klasik, kemudian Sokrates, Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf Barat modern. Akal, atau rasio menjadi pusat atau instrumen utama dalam pencarian dan perumusan kebenaran-kebenaran tersebut. Berikut, dikenal juga filsafat Timur, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran metafisis, religius dan etika China, India, dan Islam. Akal dan intuisi menjadi instrumen dalam usaha menggali dan merumuskan kebenaran dalam filsafat Timur.
”Filsafat” dalam pengertian filsafat Barat tersebut telah cukup mendominasi studi-studi tentang filsafat sejagad. Kriteria mengenai sesuatu disebut filsafat atau tidak kerap mengacu dari rumusan atau definisi istilah tersebut. Dengan dijadikannya pemikiran-pemikiran filsafat Barat, mulai dari para filsuf klasik hingga filsuf-filsuf Barat modern sebagai standard untuk penggalian dan perumusan filsafat, maka yang terjadi adalah dominasi pengetahuan. Secara tradisional, kita, ketika belajar filsafat kompetensinya hanya sampai di mengetahui nama, dan sejarah para filsuf serta rumusan-rumusan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Kita hanya belajar tentang ”filsafat”, bukan belajar ’tahu berfilsafat”. Dan dengannya, seolah-seolah, pengetahuan atau kegiatan berpikir kritis, dan radikal itu hanya milik peradaban Barat. Padahal, jauh sebelum peradaban Barat maju dan berkembang yang antara lain ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofi klasik Yunani, di Timur, misalnya China dan India telah berkembang peradaban yang maju, yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran kritis, radikal dan religius. Pemikiran-pemikiran para arifin China dan India disebut sebagai filsafat Timur, meski para orientalis sempat memperdebatkan dan meragukannya. Ini karena para orientalis mengacu dari standard filsafat Barat, yang akan menganggap sebuah konsepsi filsafat jika memenuhi syarat antara lain rasional, kritis, logis dan sistematis. Sementara, pemikiran-pemikiran kritis dan radikal peradaban Timur berkembang bersama aktivitas beragama dan tata hidupnya.
****
Barangkali yang universal dari apa yang disebut ”filsafat” yang dirumuskan di di Barat itu adalah tentang usaha pencarian kebenaran. Soal instrumen, motodologi apalagi isinya tidak terutama harus mengacu dari apa yang dirumuskan oleh filsafat Barat tersebut. Sebab keyakinan kita bahwa Minahasa adalah juga sebuah peradaban yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran tentang kebenaran yang dirumuskan secara radikal dan kritis. Mitologi Lumimuut-Toar, sebagai sebuah mitos misalnya, tentu lahir dari usaha untuk menjelaskan asal-usul orang Minahasa yang di dalamnya juga mengungkap kebenaran-kebenaran hidup.
Kita tidak perlu membayangkan, bahwa yang disebut filsafat Minahasa adalah sesuatu yang sudah disebut sebagai filsafat atau sudah tersusun secara sistematis seperti rumusan-rumusan filsafat yang kita kenal selama ini di buku-buku tentang filsafat. Filsafat Minahasa terkandung dalam mitologi, simbol-simbol, nilai dalam tata cara hidup, juga pemikiran-pemikian agama tuanya.
Sebagai bukti, pemimpin Minahasa di zaman dulu disebut sebagai ”tonaas” yang artinya ”orang kuat” atau juga ”orang berilmu, berintelektual”, tou ngaasan. Intelektualitas dalam diri para ’tonaas” Minahasa itu menunjuk pada kemampuan dalam hal wawasan, pengetahuan tentang alam dan kerja, serta memiliki kecakapan menata hidup komunitas. Walian, sebagai pemimpin ritual atau yang berurusan dengan keagamaan, juga dipilih dari orang-orang yang memiliki pengetahuan metafisis karena dialah yang berperan sebagai mediator antara manusia dengan Opo Empung, makhluk adikodratinya orang Minahasa.
Dengan adanya para tonaas dan walian tersebut, Fredy Wowor, teman kita selalu berkata, bahwa peradaban Minahasa dulu dipimpin oleh para filsuf. Artinya, peradaban ini tidak semata-mata hanya dibangun dari naluri untuk berkembang saja, tapi dari proses penalaran rasio yang seimbang dengan refleksi dari intuisi untuk selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban atas tantangan hidup. Hasil dari proses itu adalah sistem nilai pengetahuan. Sampai di satu masa, entah kapan itu, sistem Mapalus ditemukan. Dalam mapalus ini, dalam sistem kerja bersamanya yang memadukan kekuatan bersama untuk tujuan bersama, kita menemukan nilai pengetahuan, nilai kebenaran tentang hidup yang sesungguhnya. ”Kebenaran” mapalus ada dalam konsepsi mengenai keterpaduan kekuatan alam dengan kekuatan kolektif manusia. Maka, mapalus, misalnya selain megnenai sistem kerja, dia adalah juga sistem nilai filosofi Tou Minahasa. Itulah antara lain sistem filsafat Minahasa.
Di dalam sistem Mapalus ini kita menemukan kecerdasan pada tou ngaasan Minahasa menggali makna sedalam-dalamnya tentang hakekat hidup. Belakangan, kita mengenal pemikiran filosofi, yang konon dikembangkan oleh Om Sam Ratulangi, yaitu, ”Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia hidup untuk menghidupan (sesama) manusia. Atau versi Girot Wuntu, disebut: ”Si Tou Timou, Tumo’u To’u, yang berarti, ”Orang hidup harus belajar sampai tahu”. Ventje Sumual bahkan menelorkan konsep filosofi, ”baku beking pande”. Lepas dari perbedaan arti tersebut, tapi prinsip-prinsip ini sebenarnya mengungkapkan usaha pencarian kebenaran oleh tou Minahasa yang bermakna kehidupan. Jika filsafat Barat seolah-seolah melampaui yang fisik atau metafisis, filsafat Minahasa justru sebaliknya, rumusan filosofinya kongkrit dan fungsional. Filsafat Minahasa bertumpuh pada kesadaran kolektif, hidup bersama dalam kesetaraan.
***
Kerja kita selanjutnya adalah menyusun metode, dan denganya berlanjut dengan perumusan-perumusan yang diawali dengan kerja penggalian dan selanjutnya adalah pengembangan serta dokumentasi. Di mana nilai-nilai filosofi Minahasa terkandung? Jelas, dia adalah mutiara-mutiara pengetahuan dan kehidupan yang tersemai dalam sistem nilai budaya Minahasa. Dan nilai-nilai itu selalu hidup, karena dia fungsional.
Akhirnya, catatan ini hanya pengantar atau mungkin lebih tepat sebagai rangsangan untuk kita merumuskan bagaimana dan apa ”ber-filsafat” Minahasa itu.
Tomohon,
9/8/2010
Rabu, 11 Agustus 2010
Filsafat Minahasa, Adakah?
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, Agustus 11, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Sabtu, 05 Juni 2010
Melawan dengan Kearifan Lokal (sebuah rangsangan diskusi)
Tulisan ini disampaikan dalam diskusi budaya “Membongkar Sentralisme dan Imprealisme Kebudayaan” di hotel Tou Dano Jumat, 7 Mei 2010 dalam rangka Peluncuran Majalah Waleta Minahasa
Oleh Denni Pinontoan
Prolog
Tatanan masyarakat dunia yang saling terintegrasi sementara berlangsung. Kemajuan ilmu pengetahuan dengan penemuan perangkat teknologi menghasilkan sistem komunikasi dan transportasi yang semakin cepat dan akurat. Masyarakat dunia yang saling berbeda ruang kini seolah hanya dibatasi sekat tipis. Internet membuat masyarakat dunia yang saling terpisah ruang terhubung dalam kata-kata, suara, dan gambar. Inilah dunia kita sekarang. Dunia yang oleh sebagian orang menganggapnya sementara menawarkan masa depan yang cerah, tapi dianggap ancaman yang mencemaskan oleh sepihak lain.
Imperialisme yang Menggoda
Mencemaskan! Kita berucap demikian. Ketika globalisasi, sebuah proses pengintegrasian masyarakat dunia dengan kata-kata, suara dan gambar, atau dengan sistem ekonomi global, yang oleh George Ritzer menyebutnya sebagai sebuah kehampaan, memaksa masyarakat yang paling sudutpun untuk ikut masuk ke dalamnya. Sebuah masyarakat yang bertahan hidup dengan nilai-nilai lokal “terancam”, ketika perangkat hidupnya perlahan mulai dipaksa diganti dengan perangkat-perangkat import produksi dunia modern. Kecanggihan modern dilawankan dengan kekolotan tradisional.
Kalau dulu, ketika imperialisme dan kolonialisme hadir dengan ekspansi militer yang menundukkan tubuh dan mengkapling tanah yang dilakukan adalah melawan dengan senjata. Namun, tidak begitu dengan sekarang. Penundukkan tubuh dan pikiran terkadang sulit diindentifikasi ketika ekspansi kebudayaan hadir dalam rupa-rupa wajah yang menggoda. Mesin-mesin hasrat, seperti mall, restoran cepat saji, perangkat komunikasi, semisal handphone yang murah tapi lengkap, dan juga iming-iming kebebasan, pluralisme, demokrasi dan kesetaraan tanpa disadari membawa juga agenda tersembunyinya, yaitu sentralisme gaya hidup, cara pikir dan tindak. Inilah imperialisme dan kolonialisme dalam wajahnya yang menggoda. Semua itu memang menggoda. Kampanye melalaui iklan di media cetak dan elektronik mampu membawa kita ke dunia imajinasi yang tanpa batas. Kepuasan cita rasa hidup seolah hanya bisa dijawab dengan terpenuhinya kebutuhan material. Kita butuh kecerdasan dan spirit serta tentu sistem nilai yang tangguh dalam menghadapinya.
Masyarakat kita pun terobsesi dengan segala tawaran yang memang menggoda itu. Kerja keras bukan lagi sekadar untuk makan, berpakaian atau untuk tempat tinggal, melainkan lebih daripada itu. Tujuan lain yang dominan adalah terpuasnya hasrat pribadi untuk kenikmatan kuantitas yang sering hanya sesaat. Kini, kebanyakan masyarakat kita fokus pada perebutan kekuasaan dan pamer diri untuk popuralitas. Hubungan sosial terjadi secara ekonomis berdasarkan untung rugi. Hedonisme, materalisme dan individualisme menggejala. Hubungan kekerabatanpun menjadi terancam. Aktivitas bersosial, berpolitik, berekonomi sampai beragama: berkebudayaan menjadi tidak khas lokus, tidak memberi makna yang lebih bagi konteks lokal. Kita seolah sedang sedang tergantung pada sesuatu yang hanya hadir dalam gambar, kata, suara atau materi yang sebenarnya asing. Itulah imperialisme kebudayaan. Kita sedang terjajah oleh iming-iming wacana yang diproduksi oleh para pengendali ekonomi dan politik global. Minahasa agaknya sedang mengalami itu.
“Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.” (wikipedia.org).
Menggali Kearifan Lokal Minahasa, Membangun Kekuatan
Ada sebuah ungkapan yang ditinggalkan oleh para leluhur kita. “Si tete timete witu tinetean ni tete ni tete", begitu bunyi ungkapan itu. “Para leluhur telah mengikuti jalan dari leluhurnya,” setidaknya secara harafiahnya demikian kita bisa mengartikannya. Sebuah ungkapan yang memberi makna betapa pentingnya kita, Tou Minahasa sekarang untuk belajar dari cara hidup para leluhur. Inilah proses berbudaya yang aktif. Menggali dan menginterpretasi warisan nilai masa lalu dalam menghadapi tantangan kehidupan kekinian demi melanjutkan kehidupan sampai di masa depan.
Tapi, tak mudah memang untuk menggali warisan nilai masa lalu itu, ketika perubahan dan pembauran telah menjadi sesuatu yang nyata dalam peradaban Minahasa sampai hari ini. Peradaban ini telah melewati berbagai masa. Para kolonial, bukan saja telah menundukkan tanah ini dalam pengertian fisiknya, namun juga cara pikir, dan mungkin sampai gaya hidup, dan sudah tentu cara bertindak tou Minahasa. Perjumpaan itu memang tidak terjadi secara imbang. Meski memang, dari proses perjumpaan itu beberapa nilai positif telah memberi sumbangan bagi tanah ini.
Bersamaan dengan masa kolonial itu, agama Kristen, terutama Kristen Protestan dari Barat dengan teologinya yang bercorak piestis datang memperkenalkan sistem nilai keagamaan dan kebudayaan yang baru. Penghakimanpun terjadi. Tou Minahasa yang hidup dengan nilai-nilai keminahasaannya dicap kafir, terkebelakang, bodoh, kolot dan tidak beradab. Konversi nilai-nilai budaya terjadi secara paksa. Monisme moral bangsa Barat dan juga kekristenan telah menyebabkan kebudayaan ini terdegradasi.
Di masa kemerdekaan pergeseran nilai-nilai budayapun berlanjut. Penyeragaman semua hal memaksa Tou Minahasa untuk menjadi “Indonesia”, dan hampir menanggalkan keminahasaannya. Istilah-istilah seperti “primodialisme” dan “separatisme” menjadi momok di masa orde baru ketika ekspresi kebudayaan lokal melebihi apa yang dimau oleh para pemegang kekuasaan. Hampir tiada ruang untuk menjadi “tou Minahasa”, menjadi manusia yang berbudaya Minahasa yang berpikir dan bertindak dari nilai-nilai lokal. Bersamaan dengan itu politik sentralistis dan sistem ekonomi yang kapitalistis menggeser corak hidup tou Minahasa khas lokal yang komunal dan sosialis.
Tapi kita belum terlambat. Menggali nilai-nilai pra modern, nilai-nilai tradisional bahkan menjadi sesuatu yang mendesak ketika logika modern yang tanpa rasa itu telah melahirkan sejumlah dampak yang menyeramkan. Nilai-nilai warisan leluhur itulah yang oleh para arifin menyebutnya kearifan lokal (local wisdom). Minahasa memiliki segudang nilai kebajikan yang masih dapat ditelusuri dari berbagai simbol dan ingatan yang tersebar secara lisan maupun tulisan.
Dalam pengertian umumnya, kearifan lokal sering diartikan sebagai, “gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya,” (Sartini, 2004). Istilah lain untuk kearifan lokal ini disebut juga “local genius”. Haryati Soebadio, seperti dikutip Sartini, mendefinisikan “local ‘genius sebagai cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Kecerdasan leluhur kitalah yang membuat nilai-nilai baru dari luar bisa diinterpreasi dan dikembangkan bersama nilai-nilai setempat. Memang, nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur tidak melulu dari kebudayaan setempat, tapi juga bisa dari hasil sebuah proses dialog dengan nilai-nilai dari luar. Dan itulah kecerdasan mereka.
Kearifan lokal dihasilkan dari sebuah perenungan manusia. Ketika dia hadir bersama komunitas, bersama alam dan interaksi dengan dunia luar, maka nalar dan rasapun mengolah segala yang dia tangkap untuk menjadi sistem nilai. Sistem nilai itulah yang kemudian diterjemahkan dalam wujud material: teknologi, perilaku, kerja, karya seni, dan lain-lain. Semuanya itu adalah untuk merespon dan menghadapi tantangan-tantangan hidup. Itulah proses berkebudayaan manusia. Para leluhur kita juga melakukan itu. Dan kita kini, diwajibkan untuk melanjutkan itu dalam suasana dan waktu yang berbeda tentu. Penggalian, interpretasi, dan revitalisasi terhadap warisan nilai-nilai itu adalah penting untuk menghadapi serbuan nilai kebudayaan lain yang tidak semua benar dalam konteks Minahasa.
Dalam konteks Minahasa, kita bisa melacak dan menemukan nilai-nilai kebajikan itu melalui mitos (legenda atau cerita-cerita rakyat), simbol-simbol yang ditinggalkan, karya seni, ungkapan-ungkapan dan praktek hidup, baik yang masih hidup maupun yang pernah ada. Banyak sekali sumbernya. Sebuah ziarah kultural, sebagai upaya menjejaki ulang kebesaran peradaban ini perlu dilakukan. Sebab dari ziarah kultural itu kita bisa menemukan banyak sistem nilai atau kearifan para leluhur yang, baik langsung maupun tidak langsung telah memberi pengaruh bagi perkembangan peradaban Minahasa.
Kita perlu melakukan interpretasi terhadap praktek bertani para petani di Minahasa, seperti ketika mereka menanam padi atau jagung yang harus memperhatikan benda-benda langit seperti bulan atau bintang. Ada istilah “bulan bagus” dan “bulan jaha” pada petani kita ketika mereka hendak menebang pohon, menyemai bibit tanaman atau ketika melaksanakan panen. Jangan terburu-buru mengatakan itu tahyul, sebab ilmu pengetahuan modern telah menerangkan kepada kita bahwa ada hubungan langsung antara gravitasi atau gaya tarik menarik benda-benda angkasa, seperti antara bumi, bulan dan matahari dengan keadaaan alam ini. Begitulah sehingga negeri Kiowa (Wanua Kiawa Kec. Kawangkoan), dalam pengetahuan-pengetahuan peninggalan para leluhur mempunyai istilah-istilah untuk benda-benda angkasa seperti bintang. Misalnya mereka menyebut “Wiru’re-Indang” (Bintang Merah), untuk menunjuk cahaya bintang yang muncul di sebelah Timur, yang diartikan di sebelah itu orang-orang tidak boleh bepergian karena di arah itu akan timbul penyakit atau bencana. Kemudian ada juga istilah “Wiru’ Sera’” (Bintang Ikan) untuk bintang yang dapat menunjukkan kepada nelayan dimana lokasi ikan bermukim di laut atau di danau (J.A. Worotitjan, 1999). Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa para leluhur kita telah mengenal ilmu perbintangan, dan pengetahuan itu telah mereka pakai untuk memahami makna dirinya dalam alam semesta ini. Alam adalah tempat pijakan kehidupan yang dengan demikian maka hubungan organik harus dibangun agar alam senantiasa dapat menopang kehidupan manusia.
Kita masih bisa mendengar atau membaca dalam beberapa literatur sejarah mengenai sistem sosial dan politik masyarakat Minahasa tradisional. Seperti halnya sistem pemilihan ukung atau kepala wanua yang dilakukan secara demokratis. Dan itu sudah dilakukan di Minahasa jauh sebelum revolusi Perancis yang kemudian menghadirkan sistem demokrasi modern itu. Bahkan, itu tak ada hubungan sama sekali dengan demokrasi yang dikembangkan di Yunani. Apalagi dengan sistem pemilihan langsung Presiden, Gubernur, walikota/bupati yang baru di Indonesia.
Begitupulan dengan peran Tonaas dan Walian yang berperan di bidang pemerintahan dan kegamaan. Ini bukti bahwa institusi sosial, politik dan keagamaan sudah cukup tua. Sebuah tanda bahwa para leluhur kita adalah cerdas dalam mengatur, menata kehidupan komunitasnya. Kita perlu belajar dari sistem demokrasi khas Minahasa yang tidak mengutamakan uang dan kekuasaan tetapi menekankan kualitas intelektual, moral dan spiritual.
Kita juga memiliki ungkapan-ungkapan yang bernilai kehidupan. Misalnya, ungkapan “Wahu nae, wahu un keroan”, yang secara harafiah berarti “kaki basah, kerongkongan juga basah”. Artinya, orang dapat makan bila ia bekerja. Ungkapan lain berkata, “Sau lutu tamburi mata”, yang secara harafiah berarti “menghadap bila sudah masak, membelakangi bila masih mentah”. Ungkapan ini sering dipakai sebagai sindiran kepada orang-orang yang hanya suka makan tetapi tidak mau bekerja (K.A. Kapahang-Kaunang, 1997). Ungkapan-ungkapan semacam ini semakin relevan ketika konsumerisme dan hedonisme semakin menggejala akibat penetrasi kapitalisme yang membuat banyak orang semakin konsumeris dan seolah tak lagi menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Tou Minahasa juga makhluk religius. Nicolaus Graafland ketika datang ke Minahasa, sebelumnya dominan dengan asumsi-asumsi negatif terhadap Tou Minahasa. Namun, setelah melihat dari dekat kehidupan di Minahasa, dia kemudian jujur mengakui bahwa Tou Minahasa adalah manusia-manusia yang religius. Sebab, dari apa yang dia lihat ternyata tou Minahasa di masa dulu itu, sejak lahir, menikah, dalam kerja, sampai mati dipenuhi dengan ritual-ritual (poso) yang memusatkan penyembahannya kepada Opo Empung. Hal ini tentu sebuah catatan sejarah yang memberi pengesahan kepada kita generasi sekarang bahwa, dalam hal agama Minahasa dengan bangsa lain tidak berbeda dalam soal tingkat religiusitasnya. Perbedaan terutama hanya cara atau bentuk pengungkapan ekspresi. Demikian, Tou Minahasa adalah juga manusia beradab, seperti manusia-manusia di peradaban lain. Masih kita perlu eksplorasi lagi nilai-nilai religius asli Minahasa untuk memperkaya nilai keagamaan modern. Fakta bahwa model beragama yang fundamentalis dan konservatif yang semakin menggejala dalam kehidupan beragama dewasa ini telah memunculkan dampak kehancuran tata kehidupan bersama. Selain itu, hal ini terutama menegaskan mengenai nilai religiusitas Tou Minahasa yang mestinya memberi pengaruh positif dalam praktek politik, ekonomi dan aksi hidup apa saja.
Legenda Lumimuut-Toar, lepas dari keragaman versinya, legenda ini secara baik menceritakan peran perempuan dalam meletakkan dasar peradaban Minahasa. Diskriminasi terhadap perempuan, baik secara fisik maupun verbal semakin menggejala dalam ruang publik kita. Cerita ini senantiasa mengingatkan Tou Minahasa tentang kedudukan dan kewibawaan perempuan. Ada nilai kesetaraan yang dikandung dalam legenda itu. Menariknya, legenda ini telah lama hadir dalam kesadaran dan ingatan Tou Minahasa jauh sebelum semangat egaliter didengungkan oleh pemikiran-pemikiran modern.
Beberapa nilai budaya warisan leluhur di atas, hanyalah sebagian kecil dari yang kita punya. Makanya, perlu ada usaha terus menerus untuk menggalinya. Selain itu, kita bisa tambah dengan beberapa yang sudah umum, seperti ungkapan” “Si Tou Timou Tumou Tou”, “I Yayat U Santi”, atau juga kerja bersama dalam spirit kebersamaan, “mapalus”.
Masih banyak lagi sistem nilai dan praktek budaya Minahasa yang perlu kita gali, interpretasi dan revitalisasi untuk dimaknai dalam konteks modern ini. Hal ini penting. Sebab, ketika pemikiran modern mendominasi cara pikir dan tindak kita, rasionalisme, sekularisme dan menyusul beberapa ideologi modern seperti kapitalisme, komunisme, ateisme yang dominan mengandalkan logika, rasio dan cenderung mengabaikan intuisi atau perasaan, maka manusia dan kehidupannya terpisah dengan alam, dan juga renggangnya hubungan-hubungan antar individu dalam komunitas. Satuan individu-individu dalam masa ini dominan terikat oleh perhitungan untung rugi yang sifatnya ekonomis dan politis, makanya dia disebut “masyarakat”, bukan lagi “komunitas”. Kita perlu kembali menghayati nilai-nilai yang penuh kebajikan itu untuk mendasari praktek hidup dalam dunia yang penuh hiruk pikuk dan dinamis ini. Ini bukan romantisme terhadap masa lalu, melainkan sebuah penggalian ulang sistem nilai ketika persoalan kekinian kita ternyata tak bisa lagi dijawab hanya dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran modern yang tersentral dan tidak khas konteks kita.
Tou Minahasa punya modal, untuk bukan hanya saja bisa bertahan berhadapan dengan imperialisme kebudayaan global, melainkan memiliki kekuatan untuk maju. Kearifan lokal Minahasa yang banyak dan masih perlu digali, adalah kekayaan peradaban ini untuk dimaknai dalam konteks sekarang. Nilai-nilai budaya Minahasa yang sebenarnya memiliki kekuatan luar biasa untuk melawan hegemoni kebudayaan global, dan juga terutama untuk membangun kekuatan intelektual, moral dan spiritual. Dari segudang kearifan lokal itu, masyarakat bisa bertransformasi untuk menjadi otonom, karena berpengetahuan, bermoral dan berspiritual. Dari kearifan lokal ini Tou Minahasa bisa merancang aksi, membangun gerakan, menghasilkan karya, memajukan sistem ekonomi yang hunamis, mempraktekkan politik yang demokratis yang manusiawi demi hidup yang lestari. Juga dengan sistem nilai tersebut, Tou Minahasa benar-benar kembali menjadi manusia yang beridentitas Minahasa dalam memajukan tanah ini, dan dalam pergaulan dengan masyarakat global.
Epilog
Perubahan adalah sesuatu yang hakiki dalam proses kehidupan ini. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi, perubahan yang didorong oleh nilai-nilai kebudayaan sendiri, atau dialektika seimbang dengan nilai-nilai dari luar bukan saja benar dan baik, tapi kuat serta terarah. Sebab, ke mana kita pergi, apa capaiannya dan apa yang harus kita lakukan tentu yang lebih tahu adalah kita, Tou Minahasa yang memiliki peradaban. Kita bukan baru akan berproses. Kita sedang berproses, dan di tengah jalan penetrasi kebudayaan asing yang hadir menggoda telah memperlambat proses atau memaksa kita menyimpang dari jalan yang sedang dilalui. Maka, kita perlu berteriak “I Yayat U Santi”!!! “Angkatlah pedangmu, dan acungkanlah ke arah musuh”. Musuh kita tak selamanya berbentuk fisik atau material. Wacana yang samar produksi para imperialis sedang mengancam kita. Mari kita lawan itu dengan kearifan lokal, nilai-nilai luhur dari peradaban ini.
Bukit Inspirasi Tomohon,
6 Mei 2010
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Sabtu, Juni 05, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Minggu, 28 Februari 2010
Gereja Berhadapan dengan Kekuatan Global Amerika
Oleh: Denni Pinontoan
1. Amerika Sebagai Imperium Global
Amerika, Pasca Perang Dunia II tiba-tiba menjadi penguasa dunia. Muto Ichiyō penulis Jepang dan juga profesor sosiologi menegaskan pendapatnya bahwa pasca Perang Dunia ke-II Amerika telah tampil sebagai penguasa dunia yang menghegemoni bangsa-bangsa di dunia, baik di bidang politik, militer maupun ekonomi (Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, p. 348.) Era ini, oleh J. Milburn Thompson menyebutnya sebagainya fase ketiga sejarah kolonialialisme dunia. Di era inilah Amerika Serika tampil sebagai kekuatan Neo-Kolonial abad ke-20 (Thompson: 2009, 23). Imprealisme dan kolonialisme dalam sejarah dunia pra imperium global Amerika, menurut Ichiyo dicirikan oleh tiga hal, yaitu: (1) Kekuatan yang dipakai untuk menundukkan kekuatan mayoritas populasi dunia di bawah mereka sebagai wilayah koloni, (2) Terjadi perang antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan konflik bersenjata, dan akhirnya perang besar seperti dalam kasus kedua Perang Dunia, dan (3) dari perjuangan ini, salah satu dari mereka akan selalu muncul sebagai kekuatan hegemonik meletakkan aturan bagi semua orang (Ichiyo dalam Reformed World: 2006, 348).
Imperialisme dalam pengertian ini berakhir dengan munculnya Amerika Serikat yang memegang posisi hegemonik menjelang akhir Perang Dunia II. Tapi ciri imprealisme Amerika berbeda dengan imprealisme Inggris. Amerika agaknya tidak tertarik untuk perluasan wilayah teritorial, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara penjajah Eropa sebelumnya, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Amerika berusaha untuk mengintegrasikan seluruh dunia di bawah satu kekuasaan dan kontrol, melalui kekuatan militer, ideologi dan pasar bebas (Ichiyo dalam Reformed World: 2006, 349).
Hal ini menurut Ichiyō dikarenakan oleh: (1) Keanehan pemahaman orang Amerika, bahwa negara hanya didefinisikan oleh batas-batas yang pernah maju (bukan batas-batasnya dengan pasti batas-batas nasional yang telah disepakati dengan negara-negara tetangga); (2) modus produksi Amerika (produksi massal) yang menghasilkan dalam jumlah sangat besar kebutuhan barang-barang konsumsi massa oleh banyak orang di luar pasar nasional; (3) Muncul gerakan di negara-negara koloni untuk melawan imperialisme teritorial, yang membuat penguasaan wilayah tidak dapat dipertahankan, dan (4) ideologi orang Amerika, bahwa Amerika mempunyai misi untuk menyebar ke seluruh dunia melalui nilai-nilai pasar bebas dan kebebasan yang dianggap sebagai nilai universal (Reformed World: 2006, 349).
Mengangkat kasus penaklukan Amerika terhadap Pilipina, Thompson mengatakan, “Orang-orang Amerika menganggap dirinya sebagai penjajah yang baik, yang mencoba mencetak profil Pilipina sesuai citra Amerika melalui pendidikan dan ekonomi pasar” (Thompson: 2009, 25). Memang, seperti kata Thompson yang juga sejalan dengan pemahaman Ichiyō bahwa ciri imprealisme Amerika berbeda dengan ciri imprealisme bangsa-bangsa Eropa, yang tidak tertarik dengan penaklukan wilayah. “Karena Amerika membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan kolonial, orang selalu menganggap bahwa Amerika bersimpati dengan sentimen anti-kolonial, dan solider dengan mereka yang berusaha melepaskan belenggu kolonial masa lalu” (Thompson: 2009, 24).
2. Amerika dan Usaha Menghegemoni Dunia
Amerika pernah tampil bersama Uni Soviet sebagai adikuasa dunia. Tapi begitu Rusia runtuh di sekitaran tahun 1990-an akibat krisis ekonomi dan menguatnya gerakan-gerakan pemisahan dari beberapa negara bagian, maka tampilah Amerika sebagai satu-satunya kekuatan global. Amerika, kemudian menjadi negara adidaya dunia. Oleh karena besarya kekuatan Amerika di level global, Ninan Koshy, spesialis dalam urusan internasional dan mantan Direktur Hubungan Internasional, Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Jenewa, menyebut imperium Amerika ini sebagai “The New Rome”, “Roma Baru”. Menurut Koshy, hal itu tampak di wajah Amerika hari ini, pendudukan militer, pergantian rezim, dan kontrol langsung terhadap sumber daya ekonomi” (Koshy dalam Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, p. 339). Sehingga, bentuk kerajaan baru tidak bisa lagi disebut non-teritorial.
Pembangunan kekuatan imperium global Amerika setidaknya melalui kekuatan militer, ekonomi neoliberalisme dan doktrin demokratisasi dan kebebasan. Kekuatan militer Amerika tampak dari intervensi-intervensi militer Amerika di negara-negara konflik seperti Afghanistan, Palestina, Irak, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu adalah doktrin demokratisasi yang menjadi pembenar bagi penyerangan atau intervensi-intervensi militer itu (Artikel Koshy banyak mengulas tentang kekuatan militer AS tersebut. Dia bahkan mengutip pendapat dari beberapa pejabat sipil maupun militer AS. Reformed World...p. 343.).
Di bidang ekonomi melalui beberapa lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Perusahaan-perusahaan Multinasional (Multi-national Corporation/MNC) atau dalam bahasa lain disebut Perusahaan-perusahaan Transnasional (TNCs/Trans-National Corporations) Amerika melancarkan usaha menghegemoni sistem ekonomi dunia. Amerika juga menggunakan Organisasi Perdagangan Global (World Trade Organization/WTO) untuk mendukung sistem ekonomi neoliberalismenya (Mansour Fakih, “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Dapat?”, pengantar dalam Wacana, Edisi 5 tahun II, 2000, (Yogyakarta: Insist Press, 2000), hlm. 3-16.).
Globalisasi atau penyebarluasan ideologi serta kekuatan militer dan ekonomi negara-negara kapitalis yang maju seperti Amerika telah memunculkan dampak semakin lebarnya jurang kemiskinan antara negara-negara Dunia Pertama, Dunia Kedua dengan Ketiga. (catatan: Istilah “Dunia Ketiga” pertama kali diperkenalkan oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy pada tahun 1952 untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin (sumber: wikipedia.org). Thompson mengatakan istilah “Dunia Ketiga” untuk menunjuk ke negara-negara miskin di Asia dan Afrika sudah usang (Thompson, op.cit., hlm. 56).
Perbedaan-perbedaan antara ketiganya terletak pada masalah ekonomi, yaitu kekayaan versus kemiskinan. Dunia Pertama menunjuk pada negara-negara maju yang menganut sistem kapitalisme di Eropa dan Amerika. Sementara Dunia Kedua menunjuk pada negara-negara komunis, seperti Rusia. Tapi, Dunia Kedua ini agaknya tak ada lagi semenjak tumbangnya kekuatan komunis Rusia. Sementara Dunia Ketiga adalah negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika yang dominan dengan realitas kemiskinan. Thompson mengingatkan bahwa, perbedaan-perbedaan ini hanyalah pada persoalan ekonomi, bukan pada pembangunan kebudayaan atau manusia (Thompson: 2009, 53).
Amerika dengan neoliberalismenya kemudian menjadi sasaran tuduhan sebagai penyebab kesenjangan tersebut. Tentang kaitan langsung antara Amerika dengan pemiskinan dunia, Khosy mengatakan: “The implication is clear. There is an integral relationship between Americanstyle free market economics and American security in the world. Globalization and imperial security go together” (Khosy…,p. 344). Globalisasi pada banyak hal telah menyebabkan konsekuensi negatif bagi ekonomi dunia. Kapitalisme cenderung memusatkan kekayaan dan memperlebar jurang antara kaya dan yang miskin. Globalisasilah yang telah menjadi perangkat penyebarluasan ideologi dan kekuatan ekonomi Amerika dan beberapa negara kapitalis Barat.
3. Respon Gereja-gereja
Gereja-gereja sedunia, lebih khusus gereja-gereja Calvinis yang tergabung dalam World Alliance of Reformed Churches (WARC), sejak beberapa tahun terakhir ini menggumuli dan bereaksi terhadap fenomena kekuatan global yang telah menyebabkan penderitaan manusia. Pada persidangan ke-24 di Accra, Ghana tahun 2004, WARC mendeklarasikan apa yang mereka sebut dengan Accra Confession, yang memberi respon dengan suara lantang terhadap ancaman ekonomi neo-liberal, yang telah menyebabkan tidak seimbangannya antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin (Reformed World, Volume 59, No 1, January 2009, (Geneva: WARC, 2009), p. 1.)
Accra Confession (diringkas dari http://www.warc.ch/documents/ACCRA_Pamphlet.pdf) ini berlatar belakang pertemuan beberapa gereja di Afrika Selatan di Kitwe pada tahun 1995, dan menyadari meningkatnya urgensi ketidakadilan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Sejak itu, sembilan gereja anggota WARC berkomitmen pada pendirian iman; beberapa dalam proses perjanjian; dan yang lain telah melakukan studi dan mengakui betapa dalamnya krisis itu. Selanjutnya, dalam kemitraan dengan DGD, LWF dan organisasi-organisasi ekumenis regional, WARC terlibat dalam konsultasi-konsultasi di semua wilayah dunia, dari Seoul/Bangkok (1999) ke Stony Point (2004). Konsultasi tambahan berlangsung dengan gereja-gereja dari Selatan di Buenos Aires (2003) dan dengan gereja-gereja dari Selatan dan Utara di London Colney (2004).
Ketika berkumpul di Accra, Ghana, untuk bersidang raya WARC, para peserta telah mengunjungi sel-sel tahanan bawah tanah para budak di Elmina dan Cape Coast, di mana jutaan orang Afrika di perdagangkan, dijual dan dijadikan korban kekejaman penindasan dan kematian. Kenyataan ini melahirkan kesadaran untuk mengambil keputusan iman bersama.
Berdasar pada kesaksian Alkitab bahwa ciptaan terus merintih, dalam perbudakan, menantikan pembebasan (Rm 8.22) para anggota WARC merasa ditantang oleh ratap tangis orang-orang yang menderita dan oleh keterlukaan ciptaan sendiri.
Disimpulkan bahwa kebijakan pertumbuhan tanpa batas di kalangan negara-negara industri dan dorongan cari untung perusahaan-perusahaan transnasional telah menghancurkan bumi dan merusak lingkungan. Pada tahun 1989 satu species hilang setiap hari, dan di tahun 2000 satu hilang setiap jam. Perubahan iklim, mengurangnya persediaan ikan, penggundulan hutan, erosi humus, dan ancaman pada air tawar antara lain adalah akibat dari penghancuran bumi itu. Komunitas jadi kacau, mata pencaharian hilang, wilayah-wilayah pantai dan pulau-pulau Pasifik terancam tergenang, dan badai meningkat. Tingkat yang tinggi radio aktif mengancam kesehatan dan ekologi. Bentuk-bentuk kehidupan dan pengetahuan budaya dipatenkan untuk keuntungan finansil. Krisis ini disimpulkan terhubung langsung dengan pengembangan globalisasi ekonomi neoliberal, yang didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
• kompetisi yang tak terbatas, konsumerisme dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas serta akumulasi kekayaan adalah yang terbaik bagi seluruh dunia; pemilikan kekayaan pribadi tidak punya kewajiban sosial;
• spekulasi modal, liberalisasi dan deregulasi pasar, privatisasi sarana publik dan sumber-sumber nasional, akses tanpa batas investasi dan impor asing, pajak yang rendah dan pergerakan modal tanpa batas akan mewujudkan kekayaan bagi semua;
• kewajiban sosial, perlindungan orang miskin dan yang lemah, koperasi, dan hubungan antara manusia kurang pentingnya dibandingkan proses pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal.
Berdasarkan realitas global tersebut maka dirumuskanlah pengakuan iman berhadapan dengan Ketidakadilan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Di dalam pengakuan tersebut diungkapkan mengenai kesadaran pada ancaman dan bahaya ekononi neo-liberal yang mengancam kelanjutan hidup manusia dan alam. Berikut juga ditegaskan bahwa, bereaksi terhadap hegemoni dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi masyarakat adalah tanggung jawab iman setiap orang Kristen yang percaya kepada Injil Yesus Kristus yang membebaskan.
4. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka disimpulan beberapa hal:
1. Amerika telah berhasil tampil sebagai imperium global yang melakukan kontrol dan penguasaan dunia melalui militer, sistem ekonomi dan pewacanaan doktrin demokratisasi.
2. Dampak dari imprealisme Amerika tersebut adalah munculnya kesenjangan ekonomi di antara negara-negara maju yang kaya dengan negara-negara miskin.
3. Gereja (dalam hal ini yang tergabung dalam WARC), dalam pengakuan imannya menyatakan bahwa sistem ekonomi neoliberal telah menyebabkan kemiskinan bagi umat manusia dan kerusakan lingkungan hidup. Maka, memberi respon dan reaksi terhadap ancaman dan bahaya tersebut adalah tanggungjawab iman yang tidak boleh diabaikan sebagai ekspresi kepercayaan kepada Injil Yesus Kristus.
Kepustakaan:
Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, (Geneva: WARC, 2006)
Thompson, J. Milburn., Keadilan dan Perdamaian: Tanggungjawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, terj. Jalilin Sirait, P. Hutapea dan Steve Gaspersz. Jakarta: BPK, 2009.
Jurnal Wacana, Edisi 5 tahun II, 2000. Yogyakarta: Insist Press, 2000.
Internet:
http://www.warc.ch/documents/ACCRA_Pamphlet.pdf
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Minggu, Februari 28, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Globalisasi: Dari Pizza, Pisang Goreng sampai Korupsi
Orang takut dengan globalisasi. Sebab, katanya globalisasi adalah imprealisme kebudayan. Dari aktivis sampai analisis, kritikus, akademisi bahkan politikus banyak yang menentangnnya. Kecuali yang nda mo ambe pusing adalah ‘tikus-tikus kantor”.
Johan Norberg membelanya. Tesis utamanya, bahwa banyak negara yang dulunya terkebelakang dan terisolir sekarang ini bisa maju karena menerima globalisasi dan sudah tentu kapitalisme globalnya. “Itu sebabnya saya mencintai apa yang sering secara agak kerontang dinamakan ‘globalisasi,’ proses di mana manusia, informasi, perdagangan, investasi, demokrasi, dan ekonomi pasar cenderung semakin melampaui batas-batas nasional. Internasionalisasi semakin membebaskan kita dari batas-batas ciptaan pembuat peta,” begitu keyakinan Norberg, seorang peneliti di Timbro, sebuah organisasi think-tank di Swedia.
Thomas L. Friedman sedikit banyak sama dengan Norberg dalam membela globalisasi. Dia memang mengakui bahwa ketakutan banyak orang pada globalisasi adalah soal bahaya “Amerikanisasi” atau imprealisme kebudayaan Amerika. Tapi, Friedman membalas kekhawatiran itu dengan mengatakan bahwa justru dengan semakin mendatarnya dunia malah akan lebih berpotensi untuk menumbuhkan suburkan keanekaragaman budaya. “Mengapa? Pertama-tama adalah karena uploading. Uploading membuat proses ‘globalisasi akan sesuatu yang sifatnya lokal menjadi mungkin.’”, katanya.
Friedman memberi contoh tentang pizza. Mengapa pizza bisa lebih mendunia ketimbang Big Mac? Jawabnya, “Pizza hanyalah selembar adonan rata, tempat setiap kebudayaan dapat menambahi dan membumbui dengan rasa yang berbeda. Karena itu, Jepang memiliki pizza sushi; Bangkok memiliki pizza Thai; dan Lebanon memiliki pizza mezze. Tatanan dunia yang datar hampir mirip dengan adonan pizza. Ia mengijinkan berbagai kebudayaan yang berbeda untuk membubuhi dan menambahkan rasa sesuai keinginan mereka…” jelas Friedman.
Lalu, Minahasa punya pizza apa? Tole mungkin akan bilang Minahasa punya pizzang goreng. He..he..Kita hanya membayangkan seandainya pisang goreng goroho bisa menjadi salah satu adonan rata, dan kebudayaan lain bisa menambah kreasinya. Atau, Cap Tikus, sebagai alcohol murni yang bisa ditambah dengan bumbu-bumbu dari kebudayaan lain sehingga bisa menjadi minuman dari Minahasa yang mendunia. Tapi apakah, misalnya cap tikus yang ditambah dengan ginseng dari China dan diminum di hotel-hotel mewah Amerika masih bisa kita sebut itu sebagai Cap Tikus dari Minahasa yang mendunia? Mungkin yang paling bisa adalah minuman alcohol murni dari Indonesia. Maka Minahasa tersubordinasi di bawah nama Indonesia. Seandainya bisa seperti Bali, yang mungkin lebih muda di sebut di Las Vegas ketimbang Indonesia, maka Minahasa benar-benar telah mendunia.
Bagaimana dengan Bunaken yang katanya taman laut yang dapat membuat Minahasa menjadi popular sedunia? Potensinya tak terlalu menggembirakan. Bukti yang paling muda adalah dengan mengklik kata “Bunaken” di mesin pencari google. Sekali mengklik kata itu, kita hanya mendapat sebanyak 295,000 hasil telusur. Sementara kata “Kuta Bali” mencapai 1,290,000 hasil telusur. Masih lebih banyak kata “Cap Tikus” yang berjumlah 2,060,000 hasil telusur dibanding kata “Bunaken”. Menariknya, hasil telusur untuk kata “Bunaken”, “Kuta Bali”, dan “Cap Tikus” kalah banyak jumlahnya dengan hasil telusur dengan kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 5,850,000. Artinya, di dunia maya yang menembus batas itu, masih lebih populer korupsi di Indonesia dibanding potensi-potensi lokal, yang sebenarnya harus mendunia, melampaui Jakarta. Namun, yang menggembirakan kata “Minahasa” melampaui lebih setengah kata “Korupsi di Indonesia” yang mencapai 12,900,000 hasil telusur. Tapi, semua itu sangat jauh dari hasil telusur kata “Indonesia” yang mencapai 341,000,000. Jangan-jangan kata “Indonesia” menjadi banyak hasil telusurnya karena kata “korupsi”-nya, ya? Mudah-mudahan ini bukan berarti kata “Indonesia” identik dengan kata “korupsi”. Hmm…
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Minggu, Februari 28, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Rabu, 13 Januari 2010
Politik Baliho Pilkada Sulut
Denni Pinontoan
Baliho-baliho yang dirancang sebagai media kampanye bagi para calon kepada daerah di Sulawesi Utara ikut mewarnai perayaan Natal dan Tahun Baru yang baru lewat. Baliho-baliho tersebut berisi foto sang calon dan kalimat-kalimat iklan politik. Slogan-slogan kesejahteraan dirangkai dalam kalimat-kalimat yang memang menggoda publik. Agaknya, inilah momen tepat untuk berkampanye, mengingat pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di level kabupaten/kota dan provinsi akan dilaksanakan pada tahun 2010 ini. Selain baliho, media dan cara kampanye lainya juga semakin kreatif, misalnya dengan iming-iming beasiswa, bagi-bagi uang, bantuan modal usaha, dan lain sebagainya.
Baliho sebagai salah satu media kampanye, rupanya menjadi pilihan terkini setelah daya kreasi dan perangkat pendukungya berkembang pesat seiring perkembangan alat-alat modern. Politik kita memang sedang dan sudah berada di era liberal dan komersial. Bahwa, masing-masing orang merasa memiliki hak dan kebebasannya untuk mencalonkan diri, dan mau tak mau persaingan ala dagangpun menjadi bagian dalam politik Pilkada daerah ini. Politik kini tak ubahnya seperti strategi pemasaran produk, yang membutuhkan strategi pemasaran yang jitu. Kampanye yang telah sangat mirip dengan iklan-iklan produkpun akhirnya menjadi sepaket dengan strategi politik masing-masing calon.
Menarik bila kita mengamati isi materi dari baliho-baliho politik tersebut. Secara garis besar yang bisa kita amati bahwa yang menjadi penting untuk ditonjolkan adalah gambar atau foto dari si calon. Seperti iklan produk, ini adalah gambar bentuk dari produk tersebut yang sejatinya harus ditampilkan semenarik mungkin, yang barangkali antara lain adalah untuk menyamarkan tampilan fisik sebenarnya dari si calon. Ahli design grafis sangat memegang peranan penting untuk hal ini. Berikut adalah kalimat-kalimat provokatif yang memang sengaja dirancang untuk menarik perhatian publik. Para pengkreasi kalimat ini agaknya kebanyakan jatuh pada pilihan menjadikan akronim nama calon untuk menyingkatkan slogan atau moto politik. Beberapa di antaranya, memang mencantumkan secara singkat visi dan misi politiknya. Dengan demikian, fenomena ini akhirnya sedang menggambarkan kepada kita betapa politik kita sudah sangat liberal dan komersil, dalam pengertian politik yang memakai mekanisme dan sistem dagang (pasar) yang penuh persaingan (siapa kuat dia dapat).
Sebenarnya, dengan demikian fenomena baliho-baliho politik ini sedang menyamarkan siapa sesungguhnya si calon dengan slogan-slogan dan foto-foto yang merupakan hasil rekayasa teknologi. Maka, maksud dari sistem ini adalah untuk membius dan menggiring publik pada mimpi-mimpi politik melalui baliho politik masing-masing calon. Artinya, media gambar dan permainan bahasa di baliho-baliho tersebut sedang bermaksud membuat rakyat tergoda pada janji-janji manis. Dan hal ini tak ubahnya iklan produk yang disaksikan melalui tv, papan-papan reklame atau juga baliho-baliho, yang memang dimaksudkan membangkitkan daya tarik calon pembeli untuk membeli produk tersebut.
Pada hal bahwa era liberal dan komersil sedang menggejala dalam ketidaksadaran dan kesadaran public, dan akhirnya politik juga harus mengambil cara dan bentuk seperti itu, fenomena baliho politik adalah sesuatu yang harus terjadi dan akhirnya menjadi wajar adanya. Suksesi dari dulu selalu mencari cara kreatif bagi yang terlibat di dalamnya untuk menampilkan diri dan menarik dukungan dari audiens. Maka, cara dan bentuk modern dari usaha menarik perhatian tersebut adalah melalui baliho politik. Namun, terkini mungkin kita harus menyoal terutama isi baliho-baliho tersebut.
Soal gambar atau foto calon, saya kira sudah jelas, bahwa memang adalah wajar jika gambar atau foto si calon harus dirancang dominan. Namanya saja untuk memperkenalkan diri. Namun, persoalan berikut adalah kalimat-kalimat atau slogan-slogan yang ditampilkan bersama-sama dengan foto atau gambar dalam baliho tersebut. Kebanyakan yang dapat kita amati bahwa kalimat-kalimat tersebut, selain memang bersifat sloganistik, namun juga pada umumnya memperlihatkan bahwa si calon selalu menempatkan diri sebagai subjek. Misalnya dengan penggunaan kata “saya berjanji…” atau “jika saya diberi kesempaatan, maka saya akan….”, atau juga “Bersama …(nama calon)….rakyat akan sejahtera…”
Jarang kalimat-kalimat yang sloganistik tersebut menjadikan rakyat sebagai subjek. Dalam pengertian bahwa si calon sebenarnya dalam kesadaran bahwa dia sebagai seorang manusia yang sama dengan publik dan mereka hanya berbeda pada kesempatan dan penguasaan di bidang tertentu dengan rakyat, bermaksud menjadikan rakyat sebagai fokus. Rakyat yang banyak itu, dalam slogan-slogan politik tersebut belum dilihat sebagai kekuatan yang massif dalam sebuah proses yang bernama pembangunan, dan dengan demikian rakyat mestinya dijadikan sebagai subjek proses tersebut. Fungsi kepala daerah sebenarnya lebih kepada fasilitator untuk memadukan keragaman potensi dan kekuatan yang ada pada rakyat yang banyak itu.
Maka, baik foto atau gambar calon di baliho-baliho yang “narsis” tersebut, maupun slogan-slogan politiknya sudah sangat jelas memperlihatkan kepada kita bahwa sentralisme kekuasaan yang nantinya akan melahirkan “raja’raja kecil” di daerah ini masih akan menjadi kenyataan dalam politik pemerintahan daerah kita. Rakyat, nantinya hanya akan dijadikan sebagai objek dalam perda, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan di hampir semua dimensi kehidupan. Rakyat, untuk kesekian kalinya hanya akan menjadi penonton dalam proses pembangunan. Dengan demikian, pemiskinanpun akan terus berlanjut ketika rakyat hanya dilibatkan dalam kampanye-kampanye dan pemungutan suara. Setelah semua itu usai rakyat akan kembali terasing di kebun, di sawah, di laut, di pabrik-pabrik tempat dia berusaha untuk bisa terus hidup. Sebab, kantor-kantor pemerintahan dan kantor dewan ditutup dengan tembok-tembok “narsisme” dan “sentralisme” politik, yang memisahkan kehidupan rill rakyat dengan persekongkolan politik para elit. Inilah hasil dari Politik Baliho atau Baliho Politik itu. Maka, jangan sekali-kali percaya dengan baliho-baliho politik tersebut!
Motoling, 3 Januari 2010
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, Januari 13, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Orang Muda Minahasa Bergerak
Catatan dari diskusi “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Orang Muda Minahasa”)
Bagikan
Denni Pinontoan
Kamis, 17 Desember 2009, bertepatan dengan HUT saya, teman-teman Mawale Cultural Center, dan juga beberapa kelompok jaringannya berkumpul di rumah tempat saya dan keluarga tinggal (bukan rumah milik pribadi, melainkan fasilitas fakultas). Teman-teman yang hadir tidak terlalu banyak, tapi diskusinya fokus dan menarik. Dan, seperti biasa, sebagai juru foto dalam diskusi ini adalah Bodewyn Talumewo. Sementara Sylvester Ompi Setlight mengikuti dengan seksama proses diskusi tersebut. Topik diskusi kami di sore hingga malam itu adalah “Dari Mana dan Mau Kemana Gerakan Muda Minahasa”? Saya bilang di awal diskusi, memilih topik ini bukan berarti kita baru akan menggagas sebuah gerakan, namun katakanlah topik ini sebagai refleksi jelang akhir tahun kita atas apa yang telah dibuat oleh Mawale Cultural Center dengan jaringan-jaringannya.
Diskusi dimulai dengan pernyataan menarik dari Ivan Kaunang, yang sekarang ini sedang menyelesaikan S3nya di Udayana, Bali. Dia menyoal tentang penggunaan kata “muda” atau “orang muda” dalam gerakan ini. “Ini sangat dikotomis, tidak mencirikan posmo. Padahal melakukan kerja budaya tidak boleh dikotomis”, kata lelaki yang biasa kami sapa mner Ivan ini.
Rikson Karundeng, menanggapi pernyataan mner Ivan tersebut. Katanya, misalnya mengapa Gerakan Minahasa Muda (GMM) menggunakan kata “muda”, ini karena ada suatu masa di Kab. Minahasa terjadi kelesuan dalam gerakan kebudayaan. Nah, yang kebetulan muncul waktu itu, kata dia adalah pemikiran dari beberapa orang muda untuk melakukan sesuatu dalam kebudayaan Minahasa. Maka lahirlah GMM. Artinya, orang-orang muda yang peduli dengan kebudayaan Minahasa dalam kekiniannya berusaha mencari cara dan melakukan usaha untuk kemajuan cara pikir dan bertindak dengan basis kultur Minahasa menghadapi beberapa tantangan dan peluang.
Saya memberi tanggapan dengan mengatakan, bahwa kata ‘muda’ atau ‘orang muda’ ini sebenarnya tidak terutama menunjuk pada segi usia, namun lebih menunjuk pada semangat atau spirit berpikir dan beraksi. Orang-orang yang sudah tidak masuk dalam kategori orang muda dari segi usiapun, kata saya, bisa menjadi bagian dalam gerakan ini. Tapi, menurut saya bahwa, misalnya dari beberapa kesempatan berdiskusi dengan para tua-tua ini, yang tampak adalah pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung tidak mengikuti zaman. “Mereka, memang tidak semua, cenderung lebih banyak bernostalgia dengan masa lalu. Bahkan, kecenderungan untuk seolah-olah melimpahkan tanggung jawab terhadap usaha memajukan Minahasa sering muncul dalam ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan mereka. Dan, di sini orang muda cenderung dilihat sebagai objek,” kata saya.
Fredy Wowor kemudian angkat bicara dengan mengungkap diskusi di waktu lalu mengenai topik “tua” dan “muda” ini. Menurut dia, hal ini memang pernah menjadi topik diskusi menarik. Dalam diskusi di waktu itu, kata Fredy, akhirnya disimpulkan bahwa kata “muda” ini memang tidak terutama menunjuk pada segi usia, melainkan lebih ke spirit dan dinamisasi gerakan serta pemikiran. “Tapi, memang sebagai sebuah gerakan budaya, kita orang muda harus mengambil garis pilihan. Bukan karena kita tidak menghormati lagi peran orang-orang tua, tapi bahwa inilah kita yang mengambil pilihan garis gerakan dengan memakai pendekatan yang progresif, bersifat kebaruan dan dinamis,” kata dosen sastra ini.
Greenhill Weol mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan gerakan muda ini lebih menunjuk pada sebuah usaha dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran muda, baru dan mungkin memiliki pendekatan dan cara padang yang berbeda dengan ‘tua-tua’ tersebut. Tapi, katanya, ini bukan bermaksud untuk membuat “pembedaan”. “Perbedaan”, ya, jelas dan itu wajar-wajar saja. “Menariknya, yang khas pa torang meski kita terlibat debat atau beda pendapat dengan kaum tua misalnya, tapi selalu diakhiri dengan pendekatan kultur,” kata Green “Gondrong” Weol.
Saul Ering, pendiri Teater Roda di Manado memberi penekanan soal semangat atau “roh” muda atau orang muda dalam gerakan kultural Minahasa. Artinya, yang dimaksud dengan gerakan orang muda Minahasa menunjuk pada adanya pemikiran dan aksi yang dilakukan oleh orang-orang muda atau yang berpikiran muda. “Jadi, mungkin yang lebih tepat kita menyebut gerakan ini sebagai gerakan orang-orang muda Minahasa. Roh atau semangat orang-orang muda yang melakukan gerakan itu,” kata alumni Fakultas Teologi UKIT ini.
Satu pertanyaan menarik diungkap oleh Jack Wullur, dari Komunitas Kreatif ’06, Fakultas Teologi UKIT yang hadir bersama dua rekannya, Eka Egeten dan Rivo Gosal. Dia bertanya tentang siapa sebenarnya yang disebut tou Minahasa itu. Ini kemudian memunculkan respon yang menarik pula. Diskusi pun semakin hangat. Dari beberapa orang yang menanggpi pertanyaan Jack itu kebanyakan sampai pada titik yang sama, bahwa yang disebut tou Minahasa itu bisa dilihat dari segi geneologis, dan kemudian dari segi ikatan sosial, politik dan ekonomi dengan tanah Minahasa. “Dasarnya adalah komitmen. Jadi siapapun dia yang hidup dan mati di tanah ini yang mendasari gerakhidupnya pada komitmen pada Tanah Minahasa, maka dialah Tou Minahasa,” begitu kesimpulannya.
Keragaman Corak dan Paradigma Berminahasa
(Beberapa pokok pikiran saya yang tidak tertuang dalam diskusi itu)
Di tahun 2009 ini, saya mengamati secara umum ada semacam gairah baru bagi kaum muda Minahasa dalam memberi sikap dan pemikiran serta aksi yang berbasis budaya Minahasa terhadap beberapa persoalan dalam konteks kekiniannya. Kaum muda Minahasa yang saya maksudkan tentu tidak semua. Namun, dari sekelompok orang muda Minahasa yang bergerak melalui gerakan dan pemikiran ini, sebagai orang muda, saya melihat ada semacam semangat untuk memberi perhatian terhadap kebudayaan Minahasa. Hal tersebut tampak dari gerakannya, baik itu dalam bentuk diskusi, seminar atau sejenisnya yang mengangkat tema “ke-Minahasa-an” di Facebook, di acara-acara yang melibatkan banyak orang, publikasi tulisan, dan kegiatan-kegiatan seni dan sastra. Terakhir yang saya rekam adalah usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa, seperti yang dilakukan oleh Mawale Cultural Center (MCC), Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Pinawetengan Muda di Watu Pinawetengan pada tanggal 9 Desember lalu.
Berdasarkan pengamatan saya, yang mungkin subjektif, dari berbagai macam bentuk gerakan dan pemikiran yang terlihat dipublik, tampak ada paling kurang tiga pendekatan ketika membicarakan Minahasa. Pertama, memahami Minahasa sebagai bagian yang tidak terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga kepedulian terhadap persoalan kebudayaan Minahasa selalu berusaha diletakkan dalam konteks Indonesia. Kadang pendekatan ini rawan menjebakkan orang-orang muda Minahasa pada usaha mempolitisir dan mengkomersialisasikan budaya Minahasa. Atau hanya membuat gerakan itu berjalan di tempat karena tidak kritis dalam memahami apa yang sudah mapan, sudah begitu adanya. Tapi, saya kira pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin nasionalisme orde baru dengan penyeragamannya dan juga usaha politik negara mensubordinasi Minahasa sebagai sebuah bangsa dalam komunitas politik besar yaitu negara. Tapi dari beberapa diskusi dengan teman yang saya identifikasi masuk dalam pendekatan ini, bahwa alasanya lebih kepada bahwa Minahasa, secara histories adalah bagian dari sejarah pergerakan Indonesia. Makanya, adalah suatu keharusan untuk membicarakan Minahasa dalam konteks ke-Indonesia-an.
Kedua, orang-orang yang memahami Minahasa sebagai sebuah suku bangsa yang identik dengan Kekristenan, sehingga ketika mendiskusikan masalah-masalah Minahasa selalu diletakkan pada pada nilai-nilai kekristenan, yang denganya maka ketika berbicara fenomena tentang berbagai hal yang memprihatinkan di Minahasa jawabanya ada pada iman Kristen. Bahkan ada kecenderungan untuk menyamakan begitu saja antara kekristenan sebagai agama dengan ke-Minahasa-an sebagai bangsa secara kultur. Sejarah penginjilan atau kristenisasi di Tanah Minahasa yang bersamaan dengan kolonialisme ternyata pada banyak hal telah membentuk pemikiran dan sikap bagi orang-orang Minahasa untuk menyimpulkan bahwa eksistensi Minahasa kontemporer sebagai bagian yang tidak terlepas dari proses perkembangan agama Kristen di tanah ini. Padahal, pada banyak hal gereja-gereja Kristen di Minahasa belum berhasil melakukan kontekstualisasi teologi dan praktek kekristenannya dengan kebudayaan Minahasa.
Ketiga, memahami Minahasa sebagai bangsa yang entitas dan identitasnya tidak identik dengan Indonesia dan Kekristenan. Bahwa, berdasar pada catatan sejarah, Minahasa adalah bangsa yang di dalamnya terdiri dari suku-suku. Sehingga, usaha menjawab keprihatinan terhadap berbagai persoalan Minahasa hari ini tidak kemudian diletakkan dalam konteks NKRI dan kekristenan, malah justru secara kritis mencari akar-akar persoalan itu dari dominasi NKRI dan juga persoalan belum tuntasnya gereja-gereja membumikan teologinya dalam konteks Minahasa.
Orang-orang ini memahami Minahasa sebagai organisme hidup, yang dinamis dan selalu mengambil pilihan pada zamannya. Ciri dari orang-orang yang memahami Minahasa seperti ini adalah secara kritis tidak menyamakan begitu saja antara yang disebut Minahasa sebagai entitas dan identitas kultur dengan kekristenan sebagai agama. Berikut, memahami kebudayaan Minahasa sebagai sesuatu yang dinamis, dan dengannya selalu berusaha melakukan interpretasi terhadap sejarah, nilai dan simbol Minahasa peninggalan leluhur. Kemudian, secara kritis memahami kolonialisme dan kekristenan sebagai yang antara lain penyebab dari sejumlah persoalan Minahasa kontemporer. Bahwa, kolonialisme dan kristenisasi di Tanah Minahasa telah menyebabkan hilangnya beberapa nilai budaya Minahasa. Dalam mendefinisikan siapa Tou Minahasa, pendekatan ini cenderung terbuka. Bahwa yang disebut tou Minahasa kontemporer tidak terutama hanya bisa dilihat dari segi geneologisnya, namun juga komitmen dari orang-orang (siapa saja dia) yang hidup dan mati di atas tanah Minahasa.
Pada soal politik, oleh pendekatan ini memahami bahwa NKRI tidaklah identik dengan Minahasa, sebab Minahasa adalah bangsa dengan identitas dan entitasnya yang khas yang berbeda dengan NKRI yang baru berdiri pada tahun 1945 itu. Pada hal-hal tertentu, secara kritis memahami bahwa struktur dan kebijakan politik NKRI telah mendominasi dan menghegemoni Minahasa. Pendekatan ini percaya, bahwa salah satu cara untuk memajukan Minahasa adalah dengan perubahan cara pikir dan paradigma.
Tapi yang perlu digaris bawahi bahwa ketiga kategori pendekatan ini tidak serta merta menunjuk pada lembaga atau kelompok gerakan orang-orang muda tersebut. Dalam satu kelompok gerakan orang Muda Minahasa, ketiga corak dan paradigma berpikir tersebut bisa tercampur. Masing-masing individu di dalamnya bisa saling berbeda pendekatan. Makanya, ketiga pendekatan ini barangkali tepatnya kalau disebut sebagai corak dan paradigma berpikir dalam memahami dan mendekati Minahasa sekarang ini secara umum yang tampak dalam diskusi-diskusi di berbagai macam ruang sebagai media untuk membicarakan Minahasa. Lepas dari persoalan perbedaaan pendekatan dan paradigma tersebut, hal yang positif dari fenomena ini adalah munculnya semacam semangat baru dalam memaknai Minahasa dalam kekiniannya. Para orang muda Minahasa sekarang ini dan mudah-mudahan akan semakin berkembang, sementara melakukan gerakannya dalam berbagai bentuk ekspresi, seperti: seni sastra (sanggar-sanggar teater, band-band indie) kajian intelektual (lewat diskusi, penelusuran jejak-jejak sejarah, penelitian, penerbitan buku, dll) dan kelompok-kelompok yang fokus pada minat tertentu.
Kami, di Mawale Cultural Center misalnya mengambil posisi pada pendekatan yang terbuka, kritis dan berusaha mendialektikan secara aktif antara nilai budaya di masa lalu dengan melakukan interpretasi kritis terhadapnya dengan konteks Minahasa kontemporer. Meski pada level praksisnya, di antara kami masih sering terlibat dalam diskusi yang mendalam mengenai beberapa hal yang menjadi perhatian bersama. Prinsip dasarnya adalah komitmen membangun kembali rumah bersama Minahasa ini yang mungkin pada beberapa hal masih sangat terbebani dengan paradigma warisan kolonial, paradigma sentralistik orde baru, belum tuntasnya usaha menkontekualisasikan teologi agama Kristen dengan Minahasa yang telah memunculkan keterbelahan pada orang-orang Minahasa. Dengan berbagai bentuk gerakan yang ada di Mawale Cultural Center yang bergerak bersama dengan berbagai jaringannya, misi kita adalah melakukan perubahan paradigma atau mindset di kalangan muda Minahasa.
Bukit Inspirasi, Jumat, 18 Desember 2009
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, Januari 13, 2010 0 komentar
Label: Artikel
MENGGLOBALKAN LOKALITAS*
Fredy M.S.B. Wowor**
I
9 November 1989. Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur yang Komunistik dan Jerman Barat yang Kapitalistik berhasil diruntuhkan. Peristiwa ini menjadi titik tolak paling mendasar dari munculnya gelombang perubahan yang bukan cuma mengubah wajah Eropa tetapi juga dunia. Perang Dingin yang telah menghantui dunia dengan ancaman perang nuklir selama puluhan tahun akhirnya berhasil dimenangkan oleh kaum kapitalis.
Kemenangan ini melandasi ekspansi besar-besaran kapital dan komoditi ke Negara-negara dan wilayah-wilayah yang dahulu berada di dalam wilayah komunis dan dunia ketiga. Ekspansi inilah yang sekarang kita kenal dengan dalih “Liberalisasi Pasar” atau dalam bahasa kerennya “Neoliberalisme”.
11 September 2001, Menara kembar World Trade Center (WTC) hancur ditabrak oleh pesawat yang dikendalikan oleh “Para Teroris”. Peristiwa ini memicu tindakan kekerasan berwujud perang besar-besaran terhadap kaum teroris dan Negara-negara tertentu yang dianggap menjadi pelindung organisasi-organisasi terororis tersebut. Hasilnya : Afganistan dan Irak hancur. Islam jadi tertuduh.
Munculnya “Islam” sebagai salah satu peradapan yang menjadi lawan Amerika yang Kristen dan bangkitnya Cina – Sang Naga yang Konfusianis– dari tidur panjangnya seolah-olah menjadi pembenar dari Tesis Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa pasca perang dingin, dunia akan terbelah akibat benturan antar peradaban (The Clash of Civilizations).
Di berbagai wilayah Repoblik Indonesia terjadi sengketa antar bangsa dan agama yang telah mengakibatkan kehancuran infrakstruktur yang tidak dapatlagi dihitung nilainya dan pada sisi lain telah mengakibatkan kematian dan degenerasi.
II
Sulawesi Utara berada pada posisi yang sangat strategis karena berada di tepian Pasifik dan langsung berbatasan dengan Philipina yang menjadi salah satu pangkalan militer Amerika di Asia Tenggara. Selain itu jarak antara Sulawesi Utara dengan jepang dan cina tidak terlalu jauh. Kenyataan ini bermakna bahwa Sulawesi Utara langsung berada di pusat pertarungan kepentingan politik-ekonomi dan kebudayaan dunia.
Bila kita melihat kembali ke belakang maka kondisi kita pada hari ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi kurang lebih 500 tahun yang lalu.
Pada sekitar tahun 1500-an, Sulawesi Utara juga telah menjadi pusat pertarungan politik global yaitu Spanyol yang berpangkalan di Philipina, Portugis yang berpangkalan di ternate dan malaka, serta VOC yang berpangkalan di Batavia dan setelah berhasil mengalakan Kerajaan Islam Gowa-Tallo berpangkalan di Makasar.Inggris juga pada akhirnya terbukti ikut memperebutkan Sulawesi Utara seiring terjadinya perubahan politik di eropa, ini bisa dibuktikan dengan keterlibatan mereka yang intens melawan VOC dan Pemerintah Hindia Belanda di Perang Tondano dengan menjadi pemasok senjata bagi para gerilyawan Minahasa.
Berada di titik pusat pertarungan kekuatan global ini ternyata tidak menjadikan Sulawesi Utara lenyap dari pusaran sejarah karena dilindas berbagai kepentingan, sebaliknya sejarah membuktikan bahwa bangsa Asia pertama yang berhasil menaklukan salah satu kekuatan global yang sangat dominan pada waktu itu yaitu Spanyol adalah salah satu bangsa yang ada di Sulawesi Utara. Bangsa itu adalah bangsa Minahasa. Peristiwa ini dalam sejarah Minahasa dikenal dengan Perang Kali, terjadi sekitar pertengahan tahun 1600-an.
Terlepas dari adanya konfrontasi terhadap kekuataan politik global ini, bangsa-bangsa di Sulawesi Utara juga terbukti melakukan proses transformasi budaya dengan mengambil unsur-unsur yang berarti dari bangsa-bangsa seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan bangsa-bangsa Eropa lainnya.Unsur-unsur tersebut antara lain mencakup religi, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencarian hidup dan teknologi. Unsur-unsur yang sekarang kita kenal sebagai unsur-unsur kebudayaan yang universal. Proses pengambilan unsur-unsur kebudayaan universal ini terbukti bisa menjadikan bangsa-bangsa yangada di Sulawesi Utara sanggup bertahan dari hantaman gelombang zaman. Proses transformasi budaya ini bisa dilakukan karena kondisi masyarakat Sulawesi Utara yang bersifat terbuka dan kritis.
Tentu saja proses ini tidak senantiasa berjalan lancer, sebab di era orde baru terbukti juga bahwa Sulawesi Utara ternyata mengalami kemunduran. Kemunduran ini terutama nampak dalam kebudayaan dengan menurunnya daya cipta manusia. Pembangunan orde baru yang lebih memusatkan pada pembangunan ekonomi ternyata mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Dan dalam bidang politik, proses sentralisasi politik justru mengakibatkan terjadinya degenerasi.
III
Tapi situasi ini ternyata juga tidak bertahan selamanya, beberapa tahun sebelum kekuasaan orde baru berakhir, Sulawesi utara mengalami perkembangan yang begitu berarti bukan saja pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi tapi terlebih dalam bidang kebudayaan.
Gerakan kontra kultura yang muncul di kampus pada sekitar akhir tahun 1994, telah mengajarkan bahwa kita harus bisamemilih untuk melakukan perlawanan dari pada terus berdiam diri-tertindas. Sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan ini tidak keliru. Perubahan itu ternyata mungkin.
Agama bukan cuma soal sorga tapi juga kepedulian di dunia, kekuasaan tidak selalu terpusat bisa terbagi, kapital tidak selamanya berupa tanah atau barang tetapi juga bisa berwujud manusia dengan segala kemampuan kreatifnya. Bahasa bisa verbal bisa juga bahasa biner. Teknologi akan membanti kita menembus segala pembatasan.
Tahun 1995 di Sulawesi Utara menurutku adalah titik berangkat mulai terjadinya pergeseran secara khusus dalam seni dan kebudayaan. Dalam bidang Teater bisa dilihat bagaimana panggung telah bergeser dari dalam gedung pertunjukan ke jalanan. Dalam karya sastra, juga telah terjadi pergeseran sikap dan keberpihakan dalam tema-tema tertentu. Sebuah karya sastra tidak lagi ditulis untuk malanggengknan status quo tapi untuk perubahan. Dalam organisasi telah muncul basis-basis kebudayaan yang baru yang kemudian terbukti menghasilkan kader-kader seniman yang konsisten untuk menjalani proses kreatif dan mencapai hasil kreasi yang bernilai. Munculnya Fakultas Sastra Unsrat sebagai sebuah barometer kebudayaan alternatif misalnya. Dari Fakultas Sastra Unsrat muncul teater kronis, kontra, teater club, bengkel musik dan band-band pelopor lainnya.
Dalam rentang tahun 1995-Sekarang di sulut, telah muncul gerakan-gerakan alternative yang telah bermuara menjadi gerakan budaya yang sekarang dikenal dengan nama MAWALE MOVEMENT : GERAKAN MEMBANGUN TAMPA TINGGAL .
Gerakan budaya ini mencakup gerakan teater performance , gerakan musikalisasi puisi yang memadukan sastra dan musik rock, blues dan regge, gerakan sastra berbahasa melayu manado- sastra tepian pasifik, gerakan penerbitan buku dan media alternative, gerakan pembangunan basis kebudayaan diseluruh wilayah Sulawesi Utara dan gorontalo,dan gerakan internetisasi sastra dengan pembuatan blog sastra di internet serta pembuatan windows minahasa.
Apa yang telah dilakukan sejak tahun 1995 ini didasarkan terutama pada pilihan strategi menunggangi gelombang globalisasi. Dengan langsung berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik-ekonomi dan budaya dunia, Sulawesi Utara mau tidak mau harus meningkatkan diri melampaui batas-batas yang selama ini dipilihkan padanya oleh penguasa. Menjadikan potensi local kita mengglobal. Mengglobalkan lokalitas.
* Makalah disampaikan pada Seminar Lingkar Belajar Aksi (LIBERASI) 1
Diselenggarakan oleh Rumah Belajar Lipu’ Kobayagan pada senin, 28 juli 2008 di
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Tuminting Manado
**Sastrawan dan Peteater. Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra Unsrat
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, Januari 13, 2010 0 komentar
Label: Artikel
Jumat, 28 Agustus 2009
“Yang Lain”
Film Front of The Class, bercerita tentang seorang laki-laki, yang sejak umur 6 tahun menderita tourette syndrome. Sindrom ini adalah salah satu penyakit akibat kelainan pada saraf. Brad Cohen, begitu namanya. Ia, ketika masih di sekolah dasar banyak mengalami diskriminasi, baik dari gurunya, maupun teman-teman sekelasnya. Betapa tidak, selagi sekelas serius belajar, Cohen mengeluarkan suara-suara aneh. Kepalanya juga ikutan bergerak. Suara-suara aneh ditambah dengan gerakan-gerakan leher Cohen, membuat teman-temannya tertawa. Kelas menjadi ribut. Guru yang berada di depan kelas tak merasa senang.
Bagi teman-temannya, atau siapa saja yang melihat dia – kecuali orang tua dan adiknya - Cohen adalah manusia aneh. Dia adalah ”yang lain” bagi mereka. Tapi, yang mengharuhkan bahwa ternyata Cohen punya kenginan kuat untuk menjadi seorang guru. Ibunya yang paling mendukung cita-cita Cohen itu.
Setelah lulus sarjana pendidikan, Cohen dewasa, dengan penuh kegigihan berusaha mencari pekerjaan untuk menjadi seorang guru. Tapi, sudah 24 sekolah ia datangi, puluhan kepsek telah mewawancarainya, belum satupun yang bisa menerimanya. Bukan karena Cohen bodoh, melainkan karena suara-suara aneh yang tiba-tiba keluar dari mulutnya dan goyangan lehernya yang membuat orang terganggu. Hampir di semua tempat publik, ia juga ditolak, dianggap aneh. Cohen dianggap ”yang lain” bagi banyak orang.
Tapi, Cohen tak putus asa. Ia terus berusaha menjadi guru. Dia pun mendatangi sebuah sekolah. Diwawancarai hampir dua jam oleh kepala sekolah dan guru senior di sekolah itu. Yang terakhir ini agaknya sedikit berbeda dengan sekolah-sekolah yang pernah dia datangi. Meski harus melewati seleksi sama dengan guru-guru yang lain, tapi agaknya sekolah ini tertarik dengan Cohen. Cohen pun menjadi guru kelas 2. Menariknya, di kelas ini Cohen diterima oleh murid-muridnya. Selain karena Cohen pinter, tapi juga sejak hari pertama mengajar, dia telah jujur dengan tourette syndrome-nya. Keterbukaan itu yang membuat murid-muridnya mejadi terbiasa dengan suara aneh dan goyangan lehernya. Cohen pun sampai mendapat penghargaan sebagai guru terbaik.
Film tentang kisah Cohen ini aku tonton di HBO TV. Tapi, Brad Cohen memang ada di Amerika. Ia benar-benar hidup, dan memang sebagai guru yang berhasil menerima tourette syndrome dan akrab dengannya. Dia menjadi guru di Mountain View Elementary School in Cobb County, Georgia.
Brad Cohen, selain guru, juga sebagai pembicara dan penulis yang sekarang hidup berkeluarga di Atlanta Amerika. Cohen menjelaskan pengalamannya tumbuh dewasa dengan kondisi seperti itu dalam buku yang dia tulis bersama Lisa Wysocky. Buku itu berjudul Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had (St. Martin's Griffin, New York) terbit tahun 2008.
Cohen dibesarkan di St Louis, Missouri, dalam sebuah keluarga Yahudi. Orangtuanya bercerai ketika dia masih kecil. Cohen lulus dari Parkway Central School pada tahun 1992.
KISAH hidup Cohen, yang pernah mengalami diskriminasi akibat “kelainannya” sebetulnya menunjukkan model kehidupan yang banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk di sini dan kini. “Yang lain”, yang hadir di antara kita, pada banyak hal memang dianggap aneh. Terutama, jika ”kelainan” itu adalah sesuatu yang dalam gambaran masyarakat kita sebagai ”keburukan”, atau ”kekurangan”.
Fakta, bahwa memang kehidupan ini tersusun dari berbagai pola, model, corak, warna, sikap, keyakinan dan bentuk fisik yang berbeda. Tapi, adalah juga fakta, bahwa, pembedaan berdasarkan konstruksi pikiran, sistem nilai sosial dan budaya telah ikut meminggirkan, mendiskriminasi ”yang lain” itu. Dan, kebanyakan ”yang lain”, yang dianggap sebagai ”yang buruk” ”yang tidak benar”, ”yang lemah”, ”yang tidak wajar” adalah minoritas dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Padahal, tidak semua yang masyarakat kita sebut”yang baik”, ”yang cantik”, yang wajar”, ”yang benar” adalah sebagai yang benar-benar ”baik”, ”cantik”, ”wajar,” ”kuat” dan ”benar”. Sebab, sebuah sistem nilai dan rujukan penggambaran dan penilaian terhadap sesuatu terbentuk dari proses ”evolusi” yang panjang. Dan, kebanyakan rujukan-rujukan untuk mengatakan benar dan salah, adalah berasal dari ideologi yang berkuasa, pemenang dalam evolusi itu.
”Yang lain”, yang kerap dipandang sebelah mata itu, terbentuk dari rekayasa untuk mengatakan bahwa ada subjek ada objek. Ada penguasa ada jelata. Ada yang merasa diri paling benar dan ada didikte sebagai yang salah. Dan, ’yang lain” bagi subjek, bagi sebagai yang merasa pemegang norma, adalah objek, dan kerap dipandang sebagai ”sesuatu” bukan ”aku”. Sejarah dunia, sebetulnya berproses dalam rekayasa-rekayasa itu. Dan, barangkali begitulah sehingga selalu ada yang termarjinal, terdiskriminasi, menjadi korban, dan menderita.
Padahal, ”yang lain” bukan siapa-siapa. ”Yang lain” sebenarnya subjek, karena dia adalah ”kita”. ”Yang lain” mestinya bukan soal ”benar-salah”, ”cantik-buruk”, ”kuat-lemah” dan ”penguasa-jelata”, melainkan adalah subjek-subjek yang memiliki keunikan. Subjek-subjek inilah yang mestinya saling mendukung dalam mengusahakan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraaan bersama. Juga subjek-sujbjek ini yang harus terus menerus mengusahakan kelestarian keberagaman hidup dalam kesederajatan. Inilah masyarakat multikulturalisme.
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Jumat, Agustus 28, 2009 0 komentar
Label: Artikel
Kamis, 02 Juli 2009
Mencurigai Lembaga Agama
Oleh: Denni Pinontoan
Beragama dalam lembaga agama akhirnya menjadi pilihan hidup kebanyakan manusia di planet bumi ini. Beragama adalah kegiatan untuk mengikatkan diri dengan kepercayaan yang penuh kepada yang trasendental. Beragama awalnya adalah kegiatan yang mempribadi sebagai sebuah sistem kepercayaan kepada Sang Khalik. Tapi karena ada kepentingan untuk melanggengkan pesan, tradisi dan doktrin dari pendiri atau yang memberi inspirasi lahirnya agama itu maka kemudian agama akhirnya melembaga. Agama sebagai lembaga (yang di dalamnya ada struktur, hirarkis dan juga kekuaasaan) kemudian menjadi urusan publik karena itu ia adalah salah satu intitusi sosial.
Agama pada akhirnya bersoal dengan urusan privat dan publik. Dalam ketegangan itu agama kadang tak lagi mendamaikan tetapi justru menjadi pemicu permusuhan dan konflik. Kepentingan lembaga agama yang harus banyak anggotanya, sistemnya harus ketat, doktrin dan tradisi yang harus dipertahankan, dan cenderung menjadi superior, kadang harus saling berbenturan. Pemusuhan dan konflik tak jarang berawal dari kegiatan beragama sebagai lembaga.
Proses sejarah memang telah merubah bentuk agama dan kegiatan beragama manusia. Dari agama sebagai sistem kepercayaan yang mempribadi (privat) kemudian berubah ke agama sebagai lembaga (public) atau kedua-duanya. Kadang orang melihat itu sebagai kodrat sejarah agama, sebagai dialektika agama dan beragama. Sebenarnya harus seperti itu. Tapi kadang kejahatan zaman kadang mengalahkan cita-cita mulia agama. Kekalahan agama itu antara lain menunculkan konsekuensi komersialisasi agama atau beragama. Agama akhirnya menjadi bahan komoditi bisnis. Cuma 30 menit mengucap kata-kata yang diulas dari kitab suci bisa menghasilkan uang ratusan ribu rupiah bahkan jutaan rupiah. Agama akhirnya tidak ubah seperti lembaga profit yang memiliki sistem manajemen pemasaran yang profesional. Meski memang, untuk sekelompok orang agama masih menjadi lembaga spiritual untuk melepaskan segala kepenatan hidup dari segala macam tekanan ekonomi, sosial dan politik yang dirasakan dalam keseharian.
Potret agama atau kegiatan beragama orang masa kini adalah suram. Agama kini tidak lagi memiliki kekuatan dahsyat untuk mendamaikan, membebaskan dan memberdayakan manusia. Agama atau kegiatan beragama hanya justru menjadi kegiatan rutin, sekedar untuk menunjukkan diri bahwa kita manusia religius. Masa depan agama memang sedang ditantang oleh godaan kekuasaan dan materi. Kita memang melihat hampir setiap hari banyak manusia berbondong-bondong ke tempat-tempat ibadah. Di sana mereka berdoa, membaca kitab suci dan bahkan banyak yang sampai menangis menyebut nama Sang Khalik. Tapi, ini kemudian menjadi kontras dengan kenyataan sehari-hari. Pembunuhan, perbuatan mesum, korupsi, perang, dan bentuk kejatahan lainnya terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang beragama itu. Ternyata semua yang tampak itu hanya kuantitas beragama, bukan kualitas.
Agama dan beragama kemudian pantas dcurigai. Kecurigaan kita kepada agama sebagai lembaga adalah kepada sistem, struktur dan doktrinya yang kadang hanya mengkorupsi kebebasan manusia. Sistem kepercayaannya memang sudah final, bahwa dengan ide pembebasan dan pemerdekaan, agama sebenarnya baiknya adanya. Tapi ketika agama didominasi oleh kepentingan lembaga maka agama kemudian menjadi korup juga. Agama mengkorupsi kebebasan individu untuk berkreasi karena ia harus patuh, sepatuh-patuhnya pada doktrin dan tradisi yang banyak di antaranya tidak kontekstual. Umat memberi persembahan uang dengan kepasrahaan tanpa pernah ingin tahu uang miliknya dipakai untuk apa. Yang umat tahu bahwa uang itu, kata agama, untuk Tuhan.
Kecurigaan kita kepada beragama lebih kepada apa yang diperbuat oleh manusia setelah ia patuh pada kelembagaan agama. Apakah setelah seseorang menjadi anggota suatu lembaga agama lantas ia langsung menjadi menjadi agen pembebasan, pemerdekaan dan pembaharuan? Jarang! Kebanyakan adalah menjadi fanatik buta, militan, fundamentalis yang akhirnya tidak jarang menjadikan manusia menghalalkan kekerasan demi tegaknya doktrin dan kedaulatan lembaga agama.
Kalau sudah begini kecurigaan kita akhirnya menjadi beralasan. Bahwa agama dan beragama seperti sekarang ini, tidak lagi mendamaikan, membebaskan dan membaruhkan manusia. Semua ini terjadi karena agama kita sekaranh orientasinya lebih kepada urusan kekuasaan, komersil, dan popularitas. Saya mengusulkan bagaimana kalau kita mengembalikan agama itu pada semangatnya yang semula, sebagai urusan pribadi antara individu dengan yang trasendental. Tidak usahlah kita memutlakan kelembagaan agama (atau kalau perlu dihilangkan saja), karena lembaga agama hanya mengaburkan semangat agama dan beragama yang sebenarnya mulia. Yesus pun yang dipercayai oleh agama Kristen, di masa-Nya itu tidak mencita-citakan sebuah kerajaan Kristen yang mutlak. Justru yang Yesus lakukan adalah mengkritik habis-habisan cara orang Yahudi, terutama para elitnya yang memutlakan kelembagaan agama Yahudi. Kritik itu juga barangkali dialamatkan kepada kita kini dan di sini. Yesus telah melakukan perjuangan gerakan pembaharuan yang holitisk (meliputi social, politik, ekonomi dan budaya juga spiritual) dengan semangat spiritualitas yang membebaskan, memerdekakan dan memberdayakan.
Tomohon, Jumat 12 Januari 2007
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Kamis, Juli 02, 2009 2 komentar
Label: Artikel
Jumat, 24 April 2009
Hari-hari Terakhir Bersama Rakyat
Oleh Denni Pinontoan
Kini, mereka-mereka yang mengumbar janji kepada rakyat semasa kampanye, dan telah menang Pemilu 9 April 2009 lalu, telah memasuki hari-hari terakhir bersama rakyat. Selama kurang lebih setengah tahun, mereka-mereka, para caleg itu, setiap hari bersama rakyat: bersosialisasi, menjual janji dan komitmen. Setelah rapat pleno di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selesai, nama-nama pemenang Pemilu sudah diketahui oleh publik. Meski memang, kekrisruan Pemilu belum selesai diatasi oleh pemerintah dan KPU, tapi mereka-mereka yang telah memperoleh suara terbanyak, dan secara de facto telah menjadi anggota dewan sudah mulai membayangi enaknya menjadi anggota dewan. Kalau tidak ada bayangan seperti itu, mana mungkin banyak orang bersusah-susah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu baru lewat itu.
Makanya sekarang ini, adalah hari-hari terakhir mereka bersama rakyat. Pesta keluarga, pesta kolega sampai pesta kampung mulai dilaksanakan oleh para caleg. Begitulah yang harus dilakukan sebagai tanda perpisahan dengan rakyat. Dan barangkali, sambutan-sambutan dalam pesta-pesta itu adalah juga kata-kata terakhir atau perpisahan, sebelum mereka pergi ke kantor dewan untuk mengurus kepentingan mereka sendiri. Ada sebuah eforia yang sedang melanda mereka, ketika suara yang diraih, sudah diketahui dapat mengantar mereka menjadi ”wakil rakyat”.
Tapi, sebenarnya bukan hanya para caleg yang meraih suara signifikan, yang sedang dalam masa-masa terakhir bersama rakyat. Yang gagalpun, barangkali telah terlebih dahulu pergi meninggalkan rakyat, setelah kepunyaannya dijual atau digadai untuk membiayai kampanye waktu lalu. Mereka juga akan meninggalkan rakyat, setelah merasa ”janji” dan ”komitmennya” tidak diperdulikan oleh rakyat. Mereka yang gagal itu, banyak yang akan kembali kepada pekerjaanya semula: sebagai pengusaha, pemimpin umat, ibu dan bapak rumah tangga, akademisi dan lain sebagainya. Yang lainnya, malah tidak kembali ke rumah, tapi ke rumah-rumah sakit jiwa, dan ada yang bahkan kembali ke asal kehidupan, dari debu kembali ke debu, alias mati.
Setelah mereka semua pergi, rakyat kembali lagi ke aktivitas dan kehidupannya masing-masing. Ada yang kembali menjadi tukang ojek, petani, pedagang, buruh, dan lain sebagainya, dengan kehidupan mereka seperti sediakala. Begitupun, setelah para caleg yang terpilih itu menjadi anggota dewan, rakyat kembali mengusahakan hidupnya sendiri. Tak akan banyak yang berubah dari mereka setelah keramaian kampanye dan pemilu usai. Tak terkecuali, para tim sukses yang telah menjadi suksesor di masa kampanye, atau yang terlibat dalam serangan fajar dan aksi potas (sebuah istilah baru yang menunjuk pada aksi money politics di hari-hari jelang pemungutan suara, dan cenderung lebih ekstrim dari istilah lama, untuk menunjuk hal yang sama, yaitu serangan fajar).
Saat-saat ini, adalah hari-hari terakhir para caleg yang akan melenggang ke kantor dewan bersama-sama dengan rakyat. Sebab, setelah mereka dilantik menjadi anggota dewan terhormat, mulai saat itu, adalah hari-hari hidupnya sendiri dengan segala kepentingannya. Memang, waktu bersama-sama rakyat, janji mereka akan bekerja untuk menjadi penyambung lidah rakyat, penyampai aspirasi dan kehendak rakyat yang memilih dia. Tapi itu hanya janji, dan manipulasi wacana. Sebab, setelah menjadi anggota dewan, yang mereka pikirkan bukan lagi rakyat, melainkan dirinya sendiri, terutama berapa gaji dan uang hasil sulap untuk mengembalikan modal yang digunakan untuk membeli hak suara rakyat waktu kampanye, dan di masa-masa tenang dengan aksi potas tadi. Bahkan, tak sedikit yang barangkali telah menargetkan bahwa dua tahun pertama adalah masa untuk mengumpul uang mengembalikan utang kepada teman, bank atau rentenir yang telah meminjamkan mereka sejumlah uang untuk digunakan membuat baliho, stiker, kartu nama, uang makan-makan dan minum-minum dan sekali lagi, uang potas. Sisanya adalah untuk memperkaya diri.
Para caleg yang terpilih karena mengandalkan aksi potas, ketika menjadi anggota dewan nanti, sudah pasti bakal disibukkan dengan pekerjaan memikirkan diri sendiri itu. Ketika ditanya oleh rakyat mana untuk mereka, pada para caleg yang telah menjadi anggota dewan itu, barangkali akan menjawabnya dengan kalimat: ”Jangan lagi kamu tanyakan apa yang akan kuberikan kepada kamu, sebab semua itu telah kuberikan padamu di hari-hari kampanye dan satu hari atau beberapa jam sebelum pemungutan suara. Sekarang, saatnya saya bekerja untuk mengembalikan semua modal yang telah kukeluarkan waktu lalu.” Sebuah jawaban yang masuk akal, dan sulit untuk dibantah.
Rakyat memang bakal tak punya bantahan atas jawaban itu. Sebab, memang begitu yang harus terjadi. Proses Pemilu, kampanye dan pemungutan suara, ada dalam sebuah simbiosis mutualis seperti itu. Bahwa, semua telah terjadi dalam hubungan dagang. Rakyat menjual suara, caleg membeli dengan uang. Adilkan? Adil dalam perhitungan ekonomis dan politis. Jangan kita bicara etika dan moral politik dalam konteks ini, sebab, semua itu hanya ada di rumah-rumah ibadah, yang juga telah kena potas. Inilah ritual demokrasi, di era ketika republik ini masih mentuhankan demokrasi.
Sehingga, rakyat mestinya harus segera bersiap-siap untuk menjalani hidupnya sendiri, tanpa wakil rakyat sebagai pejuang aspirasi untuk mengawal dan memperjuangkan kehendaknya menjadi kebijakan. Rakyat harus sudah siap untuk terasing dari pembangunan, dan segala macam propaganda kesejahteraan. Sebab, aspirasi rakyat hanya akan ditampung di rak-rak kewibawaan dan kehormatan para anggota dewan produk Pemilu 2009 itu. Karena, mereka, – para anggota dewan yang namanya telah dicontreng oleh rakyat di bilik-bilik TPS waktu pemungutan suara lalu itu – akan disibukkan dengan studi-studi banding yang merupakan istilah halus dari pesiar atau jalan-jalan itu. Para anggota dewan itu juga akan disibukkan untuk mengurus proyek-proyek, dan aksi berbagi jatah korupsi dengan eksekutif. Dan, karena kesibukan itulah, nasib rakyat akan terlupakan.
bukit inspirasi tomohon, 22 April 2009
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Jumat, April 24, 2009 0 komentar
Label: Artikel
Jumat, 17 April 2009
Nuwu’ I Tu’a: Kajian Terhadap Nilai-Nilai Moral Budaya Minahasa
Oleh : Rikson Karundeng
(Penulis, redaktur Majalah Waleta Minahasa, pegiat di Gerakan Minahasa dan Muda dan Mawale Cultural Center)
Secara teoritis-filosofis, etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku moral seseorang ataupun masyarakat. Sedangkan moral adalah nilai-nilai ideal yang diyakini oleh seseorang atau masyarakat sebagai landasan dan tolak ukur sikap etis. Jadi, etika merupakan aktualisasi nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari lewat tingkah laku seseorang atau masyarakat. Berdasarkan nilai-nilai ideal yang ada, orang belajar tentang hal apa yang sebenarnya penting bagi kehidupan, belajar apa yang mesti atau tidak, atau belajar apa yang baik dan apa yang tidak baik.
Bagi masyarakat tradisional, standar moral dan etis itu terungkap lewat kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun. Kebiasaan, cara (kelakuan dsb.) yang sudah menjadi kebiasaan ini, disebut adat. Bagi masyarakat tradisional Minahasa, kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun disebut “nuwu’ I tua”. Secara khusus, adat atau nuwu’ I tua di masyarakat tradisional Minahasa, itulah juga etika asli orang Minahasa.
Adat merupakan bagian penting kebudayaan manusia dan sangat mempengaruhi (kalau bukan menentukan) cara dan bentuk kehidupan komunitas masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal menunjuk pada “sesuatu” yang berada di atasnya, yang “menguasai” dan “menentukan” keberadaan serta masa depannya. Secara horisontal menunjuk kepada relasi dan tempatnya dalam tatanan sosial kemasyarakatan.
Dalam kajian-kajian ilmiah tentang kebudayaan masyarakat etnis, maka orientasi nilai budaya masyarakat etnis berkisar pada masalah hubungan seseorang dengan sesama dan dengan kosmis. Dalam kaitan ini, ditemukan paling kurang lima orientasi nilai yang merupakan landasan moral etis masyarakat tersebut, yakni :
• Sikap seseorang terhadap sesama;
• Apa (kewajiban) yang hendaknya dilakukan seseorang terhadap sesamanya ? ;
• Wawasan dan kesadaran akan kebersamaan (solidarity) ;
• Pewujudan nilai kebersamaan dalam kerja ;
• Konsep kehidupan politik
Dengan kerangka ini dapatlah disistematisasikan lima orientasi nilai budaya Minahasa atau lima nilai moral dasar yang berhubungan dengan kehidupan orang Minahasa yang menunjukan tentang adat.
1. Sikap terhadap sesama (social behaviour)
Orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap seseorang terhadap sesama dapat kita temukan lewat ungkapan-ungkapan, misalnya : masigi-sigian (saling menghormati). Masigi-sigian selalu disingkronisasikan dengan maupus-upusan (mengasihi satu dengan yang lain) dan maleos-leosan (jujur terhadap yang lain atau menjadi pemimpin yang baik/benar terhadap orang lain). Ungkapan-ungkapan ini semestinya tidak hanya dipahami dalam kerangka “luaran” yang harafiah, melainkan dalam kerangka orientasi nilai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap budaya serta religius orang Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia.
Dalam masyarakat Minahasa, penerimaan dan penghormatan adalah nilai yang dipikirkan dalam kerangka kerja dari masigian. Kerangka kerja dari seseorang dalam hubungan “muka dengan muka” dengan masyarakat yang lain. Masigi-sigian, maupus-upusan dan maleos-leosan harus dimengerti dalam kerangka kerja dari perkumpulan yang bersifat totalistik. Dalam pandangan ini, keberadaan manusia atau realitas selalu dilihat dalam hubungan dengan perintah yang suci dan perintah kosmis. Sebagai penerimaan terhadap sesuatu yang kudus, manusia juga harus menerima “orang lain”. Dengan kata lain, menghormati dan mengasihi sesama manusia adalah juga merupakan sikap hormat terhadap yang ilahi atau Tuhan (biasa disapa dengan sebutan-sebuatan, antara lain: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo Wailan, dst).
Dalam persekutuan total orang Minahasa, tetangga atau anggota manusia dilihat dalam hubungan dengan yang sakral yang disebut Opo Wailan Wangko. Penerimaan mereka terhadap Opo Wailan Wangko juga direfleksikan ke dalam tindakan atau prilaku sosial mereka. Masigi-sigian juga dipikirkan dalam kerangka kerja dari sebuah hubungan yang kebetulan, yang merupakan elemen dasar dari kepercayaan religius. Kepercayaan orang Minahasa bahwa jika prilaku seseorang baik (leos), dikarenakan penerimaan dari sebuah berkat yang baik. Maksudnya, jika prilaku seseorang itu benar, hal itu karena ia tidak menerima sebuah hukuman moral (katula). Jika kesakitan atau kecelakaan menimpa seseorang, maka diyakini bahwa dia telah melakukan tindakan yang “immoral” atau “ireligius” kepada orang lain.
2. Kewajiban moral terhadap sesama (Obligation to serve)
Kalau dalam orientasi nilai yang pertama kita menemukan kesadaran untuk saling menghormati, maka pada orientasi nilai yang berikut ini kita menemukan adanya kesadaran akan kewajiban moral untuk melayani sesama manusia. Hal ini terungkap misalnya, lewat apa yang dalam masyarakat Tountemboan (salah satu sub etnis yang ada di Minahasa) disebut Masaali. Memang istilah ini pertama-tama menjelaskan suatu sikap dan tingkah laku anak-anak terhadap orang tua, yaitu suatu kewajiban anak-anak untuk merawat orang tua disaat lanjut usia. Dengan kata lain, kewajiban ini mengungkapkan pelayanan anak-anak terhadap orang tua yang membutuhkan pelayanan anak-anak. Jadi, apa yang terdapat pada kelompok-kelompok etnis atau bangsa yang lain tentang obligasi untuk melayani orang tua, terdapat pula pada orang Minahasa. Dalam analisis sosio-kultural, kewajiban pelayanan seperti ini merupakan juga ungkapan mengenai kesadaran etis-religius orang akan penghormatan terhadap yang ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan yang diberikan kepada Tuhan, diungkapkan pula lewat kehidupan moral-praktis, yalni melayani sesama manusia. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa masali adalah respons terhadap hubungan “muka dengan muka”. Hal ini merupakan respons atas pertanyaan “apa yang harus saya lakukan terhadap sesama ?” Konkritnya, ini merupakan sebuah respons atas pertanyaan “apa tanggungjawab moral saya terhadap orang lain ?”, “apa yang harus saya lakukan dalam komunitas ?” Tanggungjawab moral diterjemahkan ke dalam pelayanan konkrit terhadap tetangga atau sesama yang membutuhkan pertolongan. Jadi, praktek pelayanan seperti yang terlihat pada masaali mengandung nilai etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang terhadap sesama manusia.
3. Kesadaran akan kebersamaan (Solidarity and equality)
Nilai-nilai kebersamaan ternyata sangat penting dalam kebudayaan Minahasa, bahkan menjadi tolak ukur bagi kehidupan social. Hal ini sangat nyata terlihat lewat peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi disekitar kehidupan komunal Minahasa, misalnya: kedukaan, persta kawin, dst. Dalam peristiwa ini, masyarakat membawa “rukup” mereka (biasanya berupa barang-barang yang menjadi kebutuhan material orang atau keluarga yang berduka, berpesta, dst ). Pemberian kebutuhan material merupakan perintah moral dalam pengertian demi persatuan dan harmoni. Orang yang tidak melakukan hal itu adalah “immoral”. Kepercayaan orang Minahasa bahwa prilaku immoral bisa menghancurkan hubungan seseorang dengan lingkungan.
Praktek ma-rukup dalam masyarakat Tountemboan, hal yang sama juga terdapat pada kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat dikategorikan pada orientasi nilai kebersamaan ini. Semua cara dan upacara dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas, tidak semata rutinitas, melainkan mengungkap nilai-nilai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa kebersamaan dan kesamaan derajat.
4. Wawasan tentang kerja (ethos kerja atau work ethic)
Masyarakat asli Minahasa memiliki etos kerja yang diinstitusikan lewat pranata “mapalus”. Pranata ini sering diasosiasikan dengan praktek gotong royong di Jawa atau di daerah-daerah lain, yang mengungkapkan semangat dan praktek saling tolong-menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berakar pada budaya agraris di desa-desa, karenanya dapat dibedakan dengan gotong royong, walaupun gotong royong menjadi bagian hakiki dari mapalus. Perbedaannya ialah, gotong royong berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir ke dalam suatu system kerja, sedangkan mapalus merupakan kegotong-royongan yang telah “diorganisasi” atau “dilembagakan” dalam suatu sistim kerja. Jadi secara etis sosial dan kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Ini dapat pula dianggap sebagai wawasan tentang sistim kerja dan karenanya, dapat dilihat sebagai etos kerja orang Minahasa.
Menurut Josef Saruan, azas-azas mapalus meliputi: azas kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, azas kerja sama, azas keagamaan serta azas persatuan dan kesatuan. Kemudian, prinsip-prinsip pengelolaan suatu mapalus, yaitu: prinsip tolong menolong, prinsip keterbukaan, prinsip disiplin kelompok, prinsip kebersamaan serta prinsip daya guna dan hasil guna.
Etos kerja orang Minahasa, disamping dalam rangka memenuhi kebutuhan azasi manusia untuk hidup, tetapi juga dalam rangka melakukan kewajiban kultural-religius.
5. Musyawarah mufakat (unanimous concensus)
Dalam orientasi nilai yang terakhir ini, dapat dilihat bagaimana sebernarnya orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial. Konsep dan praktek dari “masuat peleng” atau “paumung” merupakan cara aktual orang-orang Minahasa untuk membuat kesepakatan dalam konflik dan pluralitas sosial (Indonesia: Musyawarah dan mufakat). Hal ini diekspresikan dengan jelas dalam sejarah pertemuan “Watu pinabetengan” (yang bermacam-macam versi), dimana semua pihak yang berkonflik bertemu. Dalam pertemuan tersebut tidak ada seorangpun dari mereka yang dilarang masuk dan ditaklukan. Setiap pihak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan mereka, mereka membuat keputusan atau kesepakatan (mufakat). Setiap pihak berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Mereka membuat kesepakatan: Esa, esa kita peleng, esa wia se Opo-opo Lumimuut wo si Toar (Kita semua menjadi satu dan harmonis, disatukan oleh Opo dari Lumimuut dan Toar). Kriteria mereka bukanlah antara benar dan salah, tetapi kesadaran untuk menjadi “anak Allah, Opo”. Kriteria mereka adalah pengenalan terhadap solidaritas dan harmoni. Konflik merupakan ketidakhadiran dari esa (kesatuan) dan harmoni. Kesadaran ini membuat mereka sanggup untuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka, untuk berbicara satu dengan yang lain, dan untuk saling menerima satu dengan yang lain. Lebih dari pada itu, hal ini membuat orang-orang Minahasa sanggup untuk tidak menaklukkan yang lain atau untuk menjadi eksklusif, melainkan bisa beradaptasi. Orang Minahasa mengadaptasikan diri sendiri atau bisa mengadaptasikan diri sendiri dengan pandangan-pandangan orang lain. Dalam sikap ini, keberadaan dari pihak-pihak yang berbeda tidak menghasilkan sebuah konflik melainkan saling melengkapi. Masuat peleng atau paumung merupakan cara berpikir inklusif yang membuka toleransi, dialog, pluralis dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Melihat lima orientasi nilai budaya Minahasa ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tou Minahasa adalah adalah orang-orang yang berpikir, bersikap serta bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral dasar tou Minahasa tersebut. Tetapi dalam perjalanan masa hingga saat ini, adakah nilai-nilai moral tersebut masih nampak dari tou Minahasa ?
Kalau mau berefleksi dari lima orientasi nilai budaya Minahasa ini dalam hubungan dengan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini, sepertinya kita boleh katakan bahwa masigi-sigian, maupus-upusan dan maleos-leosan telah berubah menjadi sikap yang cuek aja tidak peduli dan suka berdusta atau membalikkan fakta. Orang-orang tidak suka lagi melayani sesama dan kalaupun ia melayani itu bukan karena ketulusannya melainkan karena suatu kepentingan tertentu. Marukup mulai dilupakan dan kalaupun ada itu dilakukan bukan karena kesadaran akan kebersamaan tetapi demi gengsi dan harapan ada imbalan. Mapalus yang adalah etos kerja tou Minahasa mulai ditinggalkan, dan bagaimana tou Minahasa menyelesaikan persoalan saat ini ? Masuaat Peleng atau paumung yang di dalamnya ada kebebasan mengemukakan pandangan, ada rasa solidaritas dan kesadaran untuk menciptakan kesatuan dan harmoni, kini telah berubah menjadi tidak menghormati, tidak menghargai pendapat dan pandangan orang lain, tidak mengutamakan musyawarah, bahkan lebih parah adalah sikap “baku cungkel”, memecah belah dan menghancurkan kebersamaan yang telah ada.
Kenyataan ini memang bukan tanpa sebab, menurut E.K.M. Masinambow perubahan ini terjadi jelas karena pengaruh peradaban barat. Lebih lanjut Veldy Umbas mengatakan bahwa perubahan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini terjadi setelah melewati beberapa tahap mulai dari Periode pra sumerar, periode ikrar Pinabetengan, periode kolonisasi, periode integrasi nusantara hingga periode perang saudara di zaman PRRI/Permesta. Dan menurut Umbas, dalam perjalanan tou Minahasa selanjutnya, hingga saat ini, tou Minahasa terus berubah apalagi ketika mereka berhadapan dengan makin berkuasanya kapitalisme global dengan penguasaan informasi global yang kemudian menggiring prilaku sosial tou minahasa kearah materialistis kapitalisme dengan spirit hedonisme yang kental.
Nilai-nilai moral budaya yang ideal dari tou Minahasa sangat indah. Jika ia tenggelam, siapakah yang bertanggung jawab ? Kenyataan tentang tou Minahasa saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya nilai-nilai moral budaya yang indah itu masih ada walau sedikit. Itu tentu menjadi harapan bagi kita untuk bisa mengangkat kembali yang sudah mulai tenggelam dan terus mempertahankan yang masih ada. Nuwu I Tu’a yang telah diamanatkan harus dijalankan dengan baik akad se tu’us tumow tow {agar (=tekad) semua anak keturunan (=se Tu’us) menjadi manusia (=tomow) dan memanusiakan keturunan selanjutnya (=o tumow tow)}. Semua itu demi satu tujuan dan harapan, Ma-esa-esa-an wo Maleos-leosan (Menjadi satu, harmonis dan baik satu dengan yang lain).
Datar Bacaan
Masinambow, E.K.M. et. al., (Edit.) Si Tou Tomou Tumou Tou. Jakarta. : KKK Jakarta, 1991
Moningka, J. Ch., Adat dan Kekristenan di Minahasa. Tomohon : Percetakan “Eben Heazer”, 2001
Saruan, J.M., Masa Awal Pertumbuhan Gereja. Tomohon : 1999
Siwu, R.A.D., Kebenaran memerdekakan: Etika Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama era Globalisasi. Tomohon. Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 2000
Tulaar, D.H., “Opoisme” : Teologi orang Minahasa. Tomohon : Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 1993
Umbas, V.R., Menata Budaya Sebagai Modal Sosial Masa Depan Minahasa (Makalah yang disampaikan pada Kongres Adat Minahasa, …..
Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1993
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Jumat, April 17, 2009 0 komentar
Label: Artikel