HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 24 April 2009

Hari-hari Terakhir Bersama Rakyat

Oleh Denni Pinontoan

Kini, mereka-mereka yang mengumbar janji kepada rakyat semasa kampanye, dan telah menang Pemilu 9 April 2009 lalu, telah memasuki hari-hari terakhir bersama rakyat. Selama kurang lebih setengah tahun, mereka-mereka, para caleg itu, setiap hari bersama rakyat: bersosialisasi, menjual janji dan komitmen. Setelah rapat pleno di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selesai, nama-nama pemenang Pemilu sudah diketahui oleh publik. Meski memang, kekrisruan Pemilu belum selesai diatasi oleh pemerintah dan KPU, tapi mereka-mereka yang telah memperoleh suara terbanyak, dan secara de facto telah menjadi anggota dewan sudah mulai membayangi enaknya menjadi anggota dewan. Kalau tidak ada bayangan seperti itu, mana mungkin banyak orang bersusah-susah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu baru lewat itu.

Makanya sekarang ini, adalah hari-hari terakhir mereka bersama rakyat. Pesta keluarga, pesta kolega sampai pesta kampung mulai dilaksanakan oleh para caleg. Begitulah yang harus dilakukan sebagai tanda perpisahan dengan rakyat. Dan barangkali, sambutan-sambutan dalam pesta-pesta itu adalah juga kata-kata terakhir atau perpisahan, sebelum mereka pergi ke kantor dewan untuk mengurus kepentingan mereka sendiri. Ada sebuah eforia yang sedang melanda mereka, ketika suara yang diraih, sudah diketahui dapat mengantar mereka menjadi ”wakil rakyat”.

Tapi, sebenarnya bukan hanya para caleg yang meraih suara signifikan, yang sedang dalam masa-masa terakhir bersama rakyat. Yang gagalpun, barangkali telah terlebih dahulu pergi meninggalkan rakyat, setelah kepunyaannya dijual atau digadai untuk membiayai kampanye waktu lalu. Mereka juga akan meninggalkan rakyat, setelah merasa ”janji” dan ”komitmennya” tidak diperdulikan oleh rakyat. Mereka yang gagal itu, banyak yang akan kembali kepada pekerjaanya semula: sebagai pengusaha, pemimpin umat, ibu dan bapak rumah tangga, akademisi dan lain sebagainya. Yang lainnya, malah tidak kembali ke rumah, tapi ke rumah-rumah sakit jiwa, dan ada yang bahkan kembali ke asal kehidupan, dari debu kembali ke debu, alias mati.

Setelah mereka semua pergi, rakyat kembali lagi ke aktivitas dan kehidupannya masing-masing. Ada yang kembali menjadi tukang ojek, petani, pedagang, buruh, dan lain sebagainya, dengan kehidupan mereka seperti sediakala. Begitupun, setelah para caleg yang terpilih itu menjadi anggota dewan, rakyat kembali mengusahakan hidupnya sendiri. Tak akan banyak yang berubah dari mereka setelah keramaian kampanye dan pemilu usai. Tak terkecuali, para tim sukses yang telah menjadi suksesor di masa kampanye, atau yang terlibat dalam serangan fajar dan aksi potas (sebuah istilah baru yang menunjuk pada aksi money politics di hari-hari jelang pemungutan suara, dan cenderung lebih ekstrim dari istilah lama, untuk menunjuk hal yang sama, yaitu serangan fajar).

Saat-saat ini, adalah hari-hari terakhir para caleg yang akan melenggang ke kantor dewan bersama-sama dengan rakyat. Sebab, setelah mereka dilantik menjadi anggota dewan terhormat, mulai saat itu, adalah hari-hari hidupnya sendiri dengan segala kepentingannya. Memang, waktu bersama-sama rakyat, janji mereka akan bekerja untuk menjadi penyambung lidah rakyat, penyampai aspirasi dan kehendak rakyat yang memilih dia. Tapi itu hanya janji, dan manipulasi wacana. Sebab, setelah menjadi anggota dewan, yang mereka pikirkan bukan lagi rakyat, melainkan dirinya sendiri, terutama berapa gaji dan uang hasil sulap untuk mengembalikan modal yang digunakan untuk membeli hak suara rakyat waktu kampanye, dan di masa-masa tenang dengan aksi potas tadi. Bahkan, tak sedikit yang barangkali telah menargetkan bahwa dua tahun pertama adalah masa untuk mengumpul uang mengembalikan utang kepada teman, bank atau rentenir yang telah meminjamkan mereka sejumlah uang untuk digunakan membuat baliho, stiker, kartu nama, uang makan-makan dan minum-minum dan sekali lagi, uang potas. Sisanya adalah untuk memperkaya diri.

Para caleg yang terpilih karena mengandalkan aksi potas, ketika menjadi anggota dewan nanti, sudah pasti bakal disibukkan dengan pekerjaan memikirkan diri sendiri itu. Ketika ditanya oleh rakyat mana untuk mereka, pada para caleg yang telah menjadi anggota dewan itu, barangkali akan menjawabnya dengan kalimat: ”Jangan lagi kamu tanyakan apa yang akan kuberikan kepada kamu, sebab semua itu telah kuberikan padamu di hari-hari kampanye dan satu hari atau beberapa jam sebelum pemungutan suara. Sekarang, saatnya saya bekerja untuk mengembalikan semua modal yang telah kukeluarkan waktu lalu.” Sebuah jawaban yang masuk akal, dan sulit untuk dibantah.

Rakyat memang bakal tak punya bantahan atas jawaban itu. Sebab, memang begitu yang harus terjadi. Proses Pemilu, kampanye dan pemungutan suara, ada dalam sebuah simbiosis mutualis seperti itu. Bahwa, semua telah terjadi dalam hubungan dagang. Rakyat menjual suara, caleg membeli dengan uang. Adilkan? Adil dalam perhitungan ekonomis dan politis. Jangan kita bicara etika dan moral politik dalam konteks ini, sebab, semua itu hanya ada di rumah-rumah ibadah, yang juga telah kena potas. Inilah ritual demokrasi, di era ketika republik ini masih mentuhankan demokrasi.

Sehingga, rakyat mestinya harus segera bersiap-siap untuk menjalani hidupnya sendiri, tanpa wakil rakyat sebagai pejuang aspirasi untuk mengawal dan memperjuangkan kehendaknya menjadi kebijakan. Rakyat harus sudah siap untuk terasing dari pembangunan, dan segala macam propaganda kesejahteraan. Sebab, aspirasi rakyat hanya akan ditampung di rak-rak kewibawaan dan kehormatan para anggota dewan produk Pemilu 2009 itu. Karena, mereka, – para anggota dewan yang namanya telah dicontreng oleh rakyat di bilik-bilik TPS waktu pemungutan suara lalu itu – akan disibukkan dengan studi-studi banding yang merupakan istilah halus dari pesiar atau jalan-jalan itu. Para anggota dewan itu juga akan disibukkan untuk mengurus proyek-proyek, dan aksi berbagi jatah korupsi dengan eksekutif. Dan, karena kesibukan itulah, nasib rakyat akan terlupakan.

bukit inspirasi tomohon, 22 April 2009

0 komentar: