HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Minggu, 22 Maret 2009

ROBERT WOLTER MONGISIDI

Momentum Historis 5 September Bagi Suku Bantik

oleh: Max Edward Tontey
Jika engkau jatuh untuk pertama kali, berusahalah untuk berdiri. Jika engkau kembali jatuh, berusahalah untuk berdiri yang kedua kalinya. Jika engkau jatuh lagi, berusahalah untuk berdiri yang ketiga kalinya. Namun, jika engkau kembali jatuh untuk yang keempat kalinya, dan tidak dapat berdiri lagi, maka berusahalah sedapat mungkin untuk duduk. Selanjutnya, usahakanlah dirimu untuk berdiri kembali! (Robert Wolter Mongisidi, suatu ungkapan heroik sebelum dihukum mati)

Bagi orang Bantik tanggal 5 September, adalah momentum historis yang terkenang sepanjang masa sebagai bulan yang penuh makna, dimana secara khusus diperingati tentang nilai-nilai perjuangan yang telah diabadikan oleh seorang Robert Wolter Mongisidi, Sang Pahlawan Nasional Pembela Kemerdekaan dari Suku Bantik.

• Wolter Semasa Kecil
Tidak banyak orang yang menyangka bahwa dari sebuah keluarga kecil dan sederhana di desa Minanga (Malalayang) Bantik, akan terlahir seorang putra daerah yang pada zaman negeri ini didera dengan situasi penjajahan, putra daerah Bantik ini tampil mati-matian, dengan semangat tak kunjung surut, menyerukan keyakinan dan mengangkat senjata untuk menghapus penjajahan di bumi persada Indonesia.

Pada awalnya, semua orang di belahan nusantara ini tidak terlalu mengenalnya. Di kemudian hari, putra Bantik ini hadir menghiasi deretan panjang dari daftar nama Sang Fenomenal bangsa yang mentereng dikenal dengan istilah Pahlawan. Seluruh mata negeri pun tercelik haru dan berdecak kagum, oleh sebab figur Wolter yang sangat fenomenal itu.

Adalah sebuah keluarga kecil dan sederhana bermarga Mongisidi-Suawa yang melahirkan seorang anak pada tanggal 14 Februari 1925. Anak itu kemudian diberi nama Nasrani (agama Kristen sesuai kepercayaan kedua orang tuanya), yakni Robert Wolter Mongisidi. Wolter semasa kecil akrab disapa dengan nama panggilan kesayangan Bote’.

Bagi kedua orang tuanya, Bote’ adalah seorang putra yang gesit dan lincah, layaknya anak-anak kecil lain semasa usianya. Keluarga ini tinggal di daerah Bantik Minanga (Malalayang), sebuah tempat sejuk di pinggiran pantai Kota Manado. Menurut beberapa kakak-beradik yang masih hidup sampai sekarang, Bote’ semasa kecil adalah sosok pribadi yang memiliki segudang harapan dan keyakinan, juga kemauan keras untuk dapat mewujudnyatakan apa yang telah diharapkannya tersebut.

Tidak jarang bahwa Bote’ sering menyisihkan banyak waktu untuk belajar dengan giat, di samping itu juga, tidak melalaikan kewajibannya untuk membantu kedua orang tuanya, baik dalam pekerjaan di dapur sampai harus berkebun.

Bote’ semasa kecil benar-benar terbentuk dalam suatu ranah psikologis keluarga yang mengutamakan prinsip berusaha dengan disiplin dan giat bekerja, serta tidak kenal menyerah sampai mendapatkan hasil yang maksimal atas usaha yang telah dimulainya. Jelaslah bahwa Bote’ telah membentuk sebuah semangat dan karakter diri sebagai seorang pejuang sejak masa kecilnya.

• Wolter Hidup Dalam Falsafah Luhur Bantik
Wolter adalah seorang putra Bantik. Bagi Wolter yang memulai masa mudanya dengan mengamati dan mempelajari secara mendalam situasi Bangsa yang sedang terpuruk pada waktu itu, maka jiwa dan semangat muda Wolter dengan tanggap berusaha mendalami nilai-niali luhur dari suku Bantik sebagai modal utama dalam menjejakkan langkahnya ke depan.

Secara serius, Wolter sangat menyadari tentang semangat kedaerahan yang tertuang di dalamnya ciri khas budaya Bantik yang begitu bernas dengan pola-pola konstruktif bagi perjalanan bangsa ini keluar dari krisis ‘perbudakan’ bersenjata.

Suku Bantik sangat menghormati adat yang diyakininya sebagai pedoman penting dalam hidup bermasyarakat. Secara turun-temurun adat dijaga dan dilestarikan menjadi semacam mata rantai sejarah yang tidak pernah putus.

Adat yang paling mendasar, ialah falsafah hidup yang dalam bahasa bantik disebut Hinggilr’idang, Hintalr’unang dan Hintakinang. Pada dasarnya ketiga istilah ini memiliki makna yang sama, yaitu berkasih-kasihan atau saling baku sayang deng baku-baku bae. Hanya penekanan secara khusus dalam praktek hidup bermasyarakat yang kemudian membedakan ketiga istilah tersebut.

Misalnya, Hinggilr’idang adalah perlakuan kasih yang ditujukan kepada sesama anggota keluarga atau kerabat dekat. Hintalr’unang yakni pernyataan kasih kepada seseorang yang tidak secara langsung memiliki hubungan keluarga, tetapi masih terikat dalam komunitas suku yang sama, yaitu Bantik.

Sedangkan Hintakinang adalah semangat memberi dengan kerelaan hati (dermawan), tanpa memandang status kekeluargaan atau kesukuan. Semangat kekeluargaan ini sangat jelas pada waktu peristiwa kedukaan.

Demikianlah Wolter menjunjung tinggi nilai-nilai falsafah hidup Bantik itu dengan penuh ketulusan dan keyakinan, bahwa dirinya secara utuh dapat mengaplikasikan dan bereksistensi untuk secara penuh menyatakannya dalam situasi bangsa yang sedang diterpa pergumulan hebat di masa itu.

Maka, matang dan siaplah jiwa tempur seorang pemuda belia Wolter, sang pejuang dari daerah Nyiur Melambai yang benar-benar hidup dalam perjuangan dengan bermodalkan falsafah luhur orang Bantik.

• Wolter Berjuang Bagi Tanah Air Indonesia
Banyak sudah referensi literatur yang mengungkap tentang cerita kepahlawanan dari Bote’. Misalnya, dalam buku berjudul Album 90 Pahlawan Nasional (Bahtera Jaya : 1993) disebutkan dengan panjang lebar, bahwa Bote’ menempuh pendidikan umum di HIS dan kemudian melanjutkan ke MULO Frater. Sekolah ini hanya didudukinya sampai kelas dua, karena pecahnya perang pasifik. Setelah Jepang menduduki Indonesia, Bote’ memasuki sekolah bahasa Jepang.

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Bote’ bergabung dalam barisan bersama pejuang-pejuang pembela kemerdekaan di Ujung Pandang. Setelah pasukan NICA Belanda mendarat di Ujung Pandang dan beberapa kota lainnya di Sulawesi Selatan, maka pecahlah bentrokan senjata dengan para pejuang yang masih terbilang muda-muda itu.

Bote’ dan rekan-rekannya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dengan Bote’ selaku Sekretaris Jenderalnya. Selain itu, Bote’ bertugas sebagai perencana operasi-operasi militer. Ia sering menyamar sebagai Polisi Militer (PM) Belanda dan memasuki kota, guna menyelidiki keadaan musuh. Dalam menghadapi LAPRIS ini, pihak Belanda sering kewalahan dan banyak menderita kerugian. Pusat kekuatan pasukan Bote’ berada di Polombangkeng.

Untuk mengatasi kegiatan para pejuang itu, maka pada tanggal 28 Februari 1947, Belanda mengadakan razia besar-besaran. Bote’ ikut terjaring razia, dan ia pun ditangkap. Namun, 10 bulan kemudian ia dapat meloloskan diri. Belanda geger dan mereka kembali mengadakan razia yang ketat, sehingga 9 hari kemudian Bote’ dapat tertangkap kembali. Pada waktu itu, Belanda membujuk Bote’ untuk bekerjasama, namun bujukan itu ditolaknya dengan tegas. Akhirnya ia dihadapkan ke pengadilan kolonial Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Bote’ menolak untuk meminta ampun kepada pemerintah Belanda walaupun keluarganya, yaitu ayah dan kedua saudaranya telah berusaha membujuk Bote’.

Pada tanggal 5 September 1949, Robert Wolter Mongisidi menghadapi regu tembak di Pacinang. Hukuman itu diterimanya dengan tabah dan ia menolak untuk ditutup matanya dengan kain. Dengan tangan kirinya memegang Injil dan dengan tangan kanan mengepalkan tinju ia berseru : Merdeka! Ia gugur sebagai kesuma bangsa dalam usia 24 tahun. Usia yang masih sangat belia.

“Setia hingga terakhir dalam keyakinan”. Itulah kata-kata mutiara yang ditulis Bote’ pada sehelai kertas kecil sebelum ia dihukum mati. Ungkapan hati yang pada akhirnya meneguhkan keluarganya untuk dapat merelakan kepergian Bote’ sebagai seorang pejuang bangsa.

“Setia hingga terakhir dalam keyakinan”. Untaian kata pendorong kemauan hati agar mantap membuat dan melangkah dalam keputusan hidup yang telah ditentukan oleh diri kita. Untaian kata ini mempertegas jati diri kita. Jati diri yang senantiasa dinamis, kritis dan konstruktif bukan sebaliknya statis, pasif dan destruktif. Itulah sebenarnya jati diri yang harus dimiliki oleh para kaum muda.

• Wolter Dalam Memori Generasi Muda Bantik
Beruntung. Itu merupakan ungkapan kata yang bisa saya utarakan ketika mengetahui saya adalah seorang putra berkelahiran suku Bantik. Ada kebanggaan yang seringkali menjadi motivasi saya untuk memiliki dan mengekspresikan semangat juang seperti halnya yang telah ditorehkan oleh Bote’. Bote’ telah mengubah ‘haluan hidup’ dari orang Minahasa, secara spesifik suku Bantik, yaitu menjadi semangat hidup pribumi yang berkeinginan luhur untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Inspirasi Bote’ telah memberi perubahan ‘tersendiri’ bagi seorang generasi muda Bantik. Gelora hati ini terasa meledak-ledak dengan letupan-letupan keberanian untuk menyampaikan tentang kebenaran kepada siapa pun juga. Mata dan telinga menjadi tidak pernah bosan digunakan dalam setiap kesempatan guna merumuskan tentang hari depan bangsa ini ke depan. Kaki dan langkah bersahut-sahutan berpacu tak kenal henti demi merealisasikan cita-cita luhur itu. Semua ini karena terinspirasi dari semangat juang seorang Bote’.

Tantangan tersendiri ternyata bagi generasi muda masa kini, khususnya bagi generasi muda Bantik, paling tidak berusaha untuk dapat mempraktekkan sesuai dengan keahlian dan talentanya, lewat berbagai bidang kehidupan sebagai nilai nyata atas refleksi Bote’ yang melekat erat sebagai identitas luhur kepemudaan kita. Sayangnya, harapan tentang hal ini belumlah berdampak signifikan. Baru sebagian kecil yang dapat ‘menangkap’ dan ‘mendengarkan’ sukma juang dari Bote’.

Indikatornya sangat jelas. Sindrom ilmu pengetahuan yang dibelokkan maknanya oleh sebagian besar generasi muda, akhirnya telah menjadi racun bagi semangat nasionalisme mereka dalam membangun bangsa ini. Di mana-mana, secara kasat mata, kaum muda telah kehilangan jati dirinya.

Di sana-sini, pada segala aras kehidupan, kita bisa menemukan tidak sedikit kaum muda yang terjebak dalam perilaku kejahatan sosial dan masyarakat. Kaum muda telah dikalahkan secara tidak langsung oleh ‘sindrom modernisasi’, sehingga kehilangan arah dan tujuan hidup. Fenomena yang sama juga dialami oleh tidak sedikit generasi muda yang ada di Bantik.

Kini, maaf saja jika saya keliru, bahwa telah banyak generasi muda Bantik yang kehilangan jati dirinya. Maksud saya, ialah jati diri yang mengandung semangat juang Bote’. Semangat juang yang telah dibuktikan dengan pengorbanan tenaga dan harga diri, bahkan nyawa sampai tamat. Semangat yang telah mendobrak kelaliman penjajahan di tanah air Indonesia.

Banyak sudah generasi muda Bantik yang tidak lagi memiliki semangat dan keyakinan juang seperti seorang Bote’. Mungkin kita dapat berkilah, bahwa masa kini sangat berbeda dengan waktu Bote’ berjuang. Sebab bisa saja Bote’ menjadi seorang pahlawan disebabkan kondisi masa itu yang memaksanya. Artinya, alam penjajahan melawan musuh dari bangsa asing dengan menggunakan artileri militer membuat Bote’ menjadi seorang patriot yang gagah berani. Sekarang, Bote’ telah berhasil dan perjuangannya telah usai. Benarkah demikian?

Sungguh sangat naif dan tidak produktif jika para kaum muda zaman ini memiliki semangat yang pasif dalam mengisi kemerdekaan, dikarenakan tidak ada lagi musuh secara fisik atau kelihatan yang menghadang kita dengan senjata berat. Namun, akan sangat terpuji dan produktif jika para kaum mudah mengubah haluan berpikir, bahwa musuh zaman ini adalah kemiskinan, pengangguran dan keterpurukan bangsa yang harus dilawan dengan penuh keyakinan dan pengorbanan serius.

Kini saatnya, para generasi muda Bantik menjadi pelopor utama pembangunan bangsa sebagai reinkarnasi Bote’ zaman sekarang. Kini adalah waktunya bagi para kaum muda Bantik, meneguhkan semangat juang dengan kebulatan tekad yang menggores untain kata di dalam hati yang paling dalam : “Setia hingga terakhir dalam keyakinan”. Setia untuk berjuang dalam mengisi kemerdekaan dan senantiasa berada dalam keyakinan untuk tidak hanya membangun daerah Bantik Minanga (Malalayang), melainkan secara ekspansif dan eksplosif untuk pembangunan Indonesia tercinta. Yakinlah, Tuhan beserta kita semua!

Penulis, Tou Bantik dan alumni Fakultas Teologi UKIT.

0 komentar: