HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 27 Februari 2009

Yoseph yang Malang

Catatan Denni Pinontoan

Saya sedikit tersentak membaca judul berita Koran Manado Post edisi Rabu. 25 Februari 2009: “Manado Masih Miliki Penderita Gizi Buruk,” sub judulnya tertulis “Yoseph, Beratnya Tinggal 8 Ons.” Berita itu bercerita seputar ditemukannya seorang bayi berusia 2.5 tahun bernama Yoseph Kalaseran, yang menurut koran itu menderita gizi buruk sejak dua bulan terakhir.

Tulis koran itu:
“Yoseph sampai saat ini hanya mengkonsumsi susu. Itupun seringkali dimuntahkan akibat pencernaannya tidak sehat,” kata Lily Daud ibunda si bayi yang malang itu.

Frans Kalesaran, ayah si bocah juga berucap, “Nda pernah antar ke rumah sakit karena torang nda punya biaya kasiang. Tinggal saja hanya di di tempat kos.”

Memiriskan. Menyedihkan. Dan juga ironis. Kenapa di Tanah Minahasa ini, ada rakyatnya yang mengidap penyakit kemiskinan itu. Lagu tentang Minahasa yang membanggakan itu, salah satu syairnya menyebutkan, “Oh, Minahasa, tempat lahirku sungguh bangga rasa hatiku…” Kini kita kemudian harus bertanya, apakah realitas ini suatu kebanggaan?

Tentu, kita tak harus marah pada Tanah, tanah Minahasa tempat kita berpijak, dan bergerak. Tak juga harus marah kepada Tuhan, sebab dia telah memberi kita Tanah untuk diolah, tapi bukan untuk dieksploitasi.

Yoseph, ibu dan ayahnya, tentu tak mengerti tentang berbagai teori social, ekonomi atau juga teologi gereja. Mereka tak paham apa yang disebut oleh para sosiolog mengenai urbanisasi, istilah-istilah dari para ekonom tentang sosialisme dan kapitalisme, dan bahkan juga tak mengerti apa kata pendeta tentang teologi pembebasan. Barangkali yang mereka sering dengar di gereja apa yang pendeta sering khotbahkan, “berilah yang terbaik maka besar upahmu di sorga,” atau juga “berbahagialah orang miskin, sebab merekalah yang empuhnya kerajaan sorga.”

Bahkan, keluarga Yoseph, ayah dan ibunya, tak terlalu mengerti kenapa di sekitar mereka ada baliho berukuran besar dari para caleg. Baliho-baliho yang biaya pembuatannya, kalau dikumpul barangkali bisa mengobati sakit Yoseph. Tapi, barangkali, ayah dan ibu Yoseph, sempat tergoda dengan slogan-slogan para caleg di baliho-baliho itu, “Siap berjuang untuk kesejahteraan rakyat,” “Dari rakyat, untuk rakyat,” dan macam-macam bualan lainnya. Pemilu 9 April nanti, sudah jelas akan sangat terasing dari kehidupan mereka.

Apalagi segala macam term akademis tentang teori-teori ekonomi, social dan politik, Yoseph yang malang, masih bayi, tentu tak mau tahu dengan itu. Tapi, ketika WOC dan MKPD dikampanyekan secara massal, barangkali Frans Kalesaran dan Lily Daud, ayah dan ibu Yoseph pernah mendengarnya. Tapi, sampai saat ini belum terjawab dalam benak mereka, apa korelasi antara WOC dan MKPD bagi kehidupan mereka. Istilah menggiurkan “Pembangunan yang Pro Rakyat” pun tak akan memberi faedah apa-apa bagi ayah Yoseph yang bekerja sebagai buruh bangunan itu.

Sulit memang kita mengkait-kaitkan kehidupan keluarga Yoseph yang malang ini dengan segala proganda ilmu pengetahuan dan pemerintah tentang pengentasan kemiskinan. Sebab, bagi keluarga Yoseph dan banyak lagi yang senasib dan mereka, tidak membutuhkan semua jargon itu. Bagi mereka, kalau sakit mestinya ada biaya berobat murah, jaminan kehidupan ekonomi dari negara yang layak, dan perlindungan hak-hak dasar untuk hidup.

0 komentar: