HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Februari 2009

Maria Walanda Maramis

Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – wafat di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Kehidupan Awal
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten [[Minahasa utara], dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.

Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.

PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.

Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.

Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

Hak pilih wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

Kehidupan keluarga
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.

Sumber
• Manus, M. (1985). Maria Walanda Maramis. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tulisan ini dikutip dari Wikipedia Indonesia

Minggu, 15 Februari 2009

Lambertus Nicodemus Palar

Lambertus Nicodemus Palar (lahir di Rurukan, Tomohon, 5 Juni 1900 – wafat di Jakarta, 12 Februari 1981 pada umur 80 tahun) menjabat sebagai wakil Republik Indonesia dalam beberapa posisi diplomat termasuk sebagai Perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia juga menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat. Ayahnya bernama Gerrit Palar dan ibunya bernama Jacoba Lumanauw.

Kehidupan awal dan pendidikan
Palar masuk sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tondano. Dia kemudian masuk Algeme(e)ne Middelbare School (AMS) di Yogyakarta, dan tinggal bersama Sam Ratulangi. Pada tahun 1922, Palar memulai pendidikannya di Technische Hoogeschool di Bandung, yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Di ITB, Palar bertemu dengan tokoh-tokoh kemerdekaan, seperti Sukarno. Karena dilanda sakit yang parah, Palar terpaksa menghentikan kuliahnya dan kembali ke Minahasa. Setelah beberapa waktu, Palar memulai kembali kuliahnya di Rechts Hoogeschool (cikal-bakal Fakultas Hukum UI) di Batavia, dan bergabung dalam Jong Minahasa. Pada tahun 1928, Palar pindah ke Belanda untuk kuliah di Universitas Amsterdam.

Karier politik di Belanda
Pada tahun 1930, Palar menjadi anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP) setelah SDAP melaksanakan Kongres Kolonial dan mengadakan pengambilan suara yang menyatakan beberapa posisi partai termasuk hak kemerdekaan nasional untuk Hindia Belanda tanpa syarat. Palar menjabat sebagai sekretaris Komisi Kolonial SDAP dan Nederlands Verbond van Vakverenigingen (NVV) mulai Oktober 1933. Dia juga adalah direktur Persbureau Indonesia (Persindo) yang ditugaskan untuk mengirim artikel-artikel tentang sosial demokrasi dari Belanda ke pers di Hindia Belanda. Pada tahun 1938, Palar kembali ke tanah airnya bersama isterinya, Johanna Petronella Volmers, yang dinikahinya pada tahun 1935. Dia mengunjungi berbagai daerah untuk menghimpun informasi. Dia menemukan bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia sedang giat dan dia menulis tentang pengalamannya pada saat dia kembali ke Belanda.

Pada saat pendudukan Jerman di Belanda, Palar tidak bisa bekerja untuk SDAP sehingga dia bekerja di laboratorium Van der Waals. Dia juga bekerja sebagai guru bahasa Malay dan sebagai gitaris orkestra keroncong. Sementara perang, Palar dan isterinya tergabung dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.

Setelah perang, Palar terpilih untuk masuk Tweede Kamer mewakili Partij van de Arbeid (PvdA), sebuah partai baru yang bermula dari SDAP. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Palar mendukung pernyataan ini dan mempromosikan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia. Hal ini tidak disambut baik oleh PvdA sehingga menyebabkan partai ini menjauhkan diri dari posisi yang sebelumnya mendukung hak kemerdekaan Indonesia. Setelah ditugaskan untuk mengadakan misi ke Indonesia, Palar sempat bertemu kembali dengan para pemimpin kemerdekaan Indonesia. Di Belanda, Palar berusaha untuk mendesak penyelesaian konflik antara Belanda dan Indonesia tanpa kekerasan, tetapi pada tanggal 20 Juli 1947 dewan perwakilan memilih untuk memulai agresi militer di Indonesia. Palar kemudian mengundurkan diri dari dewan perwakilan dan partai PvdA keesokan harinya.

Mewakili Indonesia
Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta and Ratu Juliana dari Belanda pada acara penandatangan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda di Den Haag

Palar bergabung dengan usaha pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Wakil Indonesia di PBB pada tahun 1947. Posisi ini dijabatnya sampai tahun 1953. Pada masa jabatannya peristiwa-peristiwa penting terjadi seperti konflik antara Belanda dan Indonesia, pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB.

Pada saat konflik antara Belanda dan Indonesia, Palar memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan walaupun pada saat itu dia hanya mendapat gelar "peninjau" di PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada saat itu. Setelah Agresi Militer II yang dikecam oleh Dewan Keamanan PBB[1], Perjanjian Roem Royen disetujui yang kemudian diikuti dengan Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

Indonesia menjadi anggota ke-60 di PBB pada tanggal 28 September 1950.[2] Pada saat berpidato di muka Sidang Umum PBB sebagai Perwakilan Indonesia di PBB paling pertama, Palar berterima kasih kepada para pendukung Indonesia dan berjanji Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB. Palar tetap di PBB sampai saat dia ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di India. Pada tahun 1955, Palar diminta kembali ke Indonesia dan ikutserta dalam persiapan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, yang mengumpulkan negara-negara di Asia dan Afrika di mana kebanyakan dari negara tersebut baru merdeka. Setelah pelaksanaan konferensi, Palar memulai kembali tugas diplomatisnya melalui jabatan Duta Besar Indonesia untuk Jerman Timur dan Uni Soviet. Dari tahun 1957 sampai 1962, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada dan setelah itu kembali menjadi Duta Besar di PBB sampai tahun 1965. Karena konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk masuk Dewan Keamanan PBB, Sukarno mencabut keanggotaan Indonesia di PBB. Palar kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Pada saat kepemimpinan Suharto pada tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui pesan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral PBB oleh Palar.

Palar pensiun dari tugas diplomatisnya pada tahun 1968 setelah melayani bangsanya dalam permulaan usaha dan konflik Indonesia dan setelah dia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dalam arena diplomatis. Palar kembali ke Jakarta, tetapi tetap giat melalui tugas mengajar, pekerjaan sosial, dan tugasnya sebagai penasehat Perwakilan Indonesia di PBB. Lambertus Nicodemus Palar meninggal di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1980. Dia meninggalkan isterinya, Johanna Petronella "Yoke" Volmers, dan anak-anaknya Mary Elizabeth Singh, Maesi Martowardojo, dan Bintoar Palar.

Sumber:

• Drooglever, P., Schouten, M., and Lohanda M. (1999) Guide to the Archives on Relations between the Netherlands and Indonesia 1945-1963. Institute of Netherlands History
• Hansen, E. (1977) The Dutch East Indies and the Reorientation of Dutch Social Democracy, 1929-40. Indonesia, 23.
• Kahin, G. (1981) In Memoriam: L. N. Palar. Indonesia, 32.
• Saxon, W. (1981) Lambertus N. Palar Dead at 80; Battled for Indonesia's Freedom. New York Times, February 15, 1981.
• "Biografie van Palar, Lambertus Nicodemus". Accessed 20 September 2008. (nl)
• "Lambertus Nicodemus Palar". Accessed 20 September 2008. (nl)
• "History of the Indonesian Mission to the United Nations". Accessed 20 September 2008.

Jumat, 06 Februari 2009

tokoh

SARON, Politisi Mawar dari Perbatasan


Laporan: Rikson Karundeng


Di balik wajahnya yang tegas terdapat hati yang penuh dengan kasih sayang. Paling tidak itulah yang terpancar sekilas bila bertemu dengan Sandra Rondonuwu yang akrab disapa SARON.Tak heran banyak yang menjulukinya sebagai politisi mawar berduri, hatinya indah seperti mawar yang sedang mekar, tetapi sikapnya bisa menusuk seperti duri apabila perasaaan rakyat disakiti. Tak tanggung-tanggung kalau untuk membela kebenaran ia akan berperang mati-matian dengan tidak melihat siapa pun yang akan dilawannya.

Memang perjalanan hidupnya boleh dibilang keras dan penuh dengan tantangan.


Terlahir sebagai seorang anak petani, Sandra kecil memang harus berjuang keras bahkan harus menjadi penjual kue berkeliling kampung untuk mengongkosi sekolahnya ketika masih duduk di bangku SD.


Bakat politiknya mulai nampak saat ia masuk bangku SMP, ketika itu ia dipercayakan untuk ikut lomba pidato di berbabagai tingkat hingga menanjak SMA, ia gagal dikirim ke tingkat nasional karena alasan ekonomi. Seusai pendidikan SMA, ia terpaksa harus menunda kuliahnya selama dua tahun sambil mengumpulkan dana dan baru setelah dua tahun itulah ia masuk ke perguruan tinggi UKIT Fakultas teologia. Memang cocok dengan cita-citanya untuk menjadi Pendeta kelak setelah selesai kuliah.Tapi jalan hidup orang tenyata tidak seperti yang dicita-citakannya. Menjelang reformasi, sebagai seorang mahasiswa yang kritis, ia bahkan harus disembunyikan di bawah kasur di kamar salah satu dosen karena pernyataan kritis yang ia lontarkan ketika Syarwan Hamid berkunjung ke UKIT di tahun 1996.


Dan pada tanggal 20 Mei atau satu hari sebelum Suharto lengser, Sandra yang kala itu menjabat sekretaris BEM UKIT berada bersama puluhan ribu mahasiswa se-Indonesia yang berdemo di Senayan. Atas inisiatif beberapa temannya, ia pun didaulat berorasi di depan puluhan ribu mahasiswa mewakili mahasiswa Indonesia Timur. Tak berhenti di situ, di awal reformasi, ketika Habibie datang untuk meresmikan KAPET dan Tahun Bahari Internasional pada Sabtu, 26 September 1998, Sandra bersama sejumlah aktivis menggelar aksi damai mendapat perlawanan represif yang berakibat pada pemukulan dan tindak anarkis dari aparat dan preman yang diorganisir untuk mengusir pendemo. Ia pun menjadi korban pentungan preman yang harus dilarikan ke rumah sakit saat aparat yang mengusir para mahasiswa yang sedang berdemo.

Di situlah titik perubahan total pada dirinya, karena itu iapun berkata, “Tuhan kalau aku akan dipakai untuk melayani rakyat, meneriakkan suara penderitaan rakyat, maka saya berkomitmen untuk berjuang dan menjadi pendeta rakyat, bukan pendeta di mimbar gereja,”kenangnya dengan penuh arti.


Setelah selesai kuliah di Teologi UKIT ia pun melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum untuk meraih gelar sarjana hukum dan memulai kerja sosial sebagai bukti komitmenya. Mantan aktivis mahasiswa ini pun merambah dunia pergerakan sosial, dan aktif dibeberapa LSM, seperti Suara Nurani Tomohon dengan aktivitas menolak tambang, melakukan voter education dan pada tahun 2004 silam, menjadi pelopor Forum Bersama Lawan Politis Caberes disingkat FORBES LPC. Ia juga menjadi salah satu ketua Persatuan Minahasa yang bergerak dibidang pendidikan politik Minahasa di bawah pimpinan Letjen (Purn) Johny Lumintang, dan sejumlah organisasi sosial di Sulawesi Utara. Ia dipercayakan menjadi sekretaris HKTI Minahasa Selatan dan menjadi Deputi Humas Dewan Rempah Minsel serta aktif berjuang untuk kepentingan petani. Terakhir beberapa waktu lalu ia dilantik menjadi Sekrataris Umum Merdeka Suara Perempuan (MSP) oleh Ibu Puan Maharani.


Sambil berbisnis kecil-kecilan, SARON mencoba memulai karir politik di PDI Perjuangan dan menjadi Wakil Ketua DPC PDI-Perjuangan. Dan pada pemilu kali ini ia menjadi Calon legislatif DPRD Propinsi SULUT Dapil IV Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara. Untuk itu iapun berani membuat kontrak politik. Kontrak politik itu sudah ia luncurkan november silam di blognya, www.sandrarondonuwu.blogspot.com. Dalam blog itu ia juga menyatakan komitmen tanpa akhir untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Terinspirasi oleh kalimat bijak Sam Ratulangi, Si Tou Timou Tumou Tou, SARON makin mantap menjadi politisi. Bagi istri tercinta dari Veldy Umbas ini, menganggap politik juga bagian dari pelayanan. Yang paling berat adalah bagaimana memberi teladan bahwa politik itu harus beretika, bermoral, dan bermartabat.


Pada pemilu legislatif kali ini SARON yang dibesarkan di perbatasan tanah Minahasa dan Bolmong yakni Poigar kecamatan Sinonsayang, berharap bahwa pelajaran demokrasi yang paling berharga harus bisa menjadikan sikap kita lebih cerdas dan lebih dewasa untuk merubah nasib bangsa Indonesia yang terus menerus larut dalam krisis multidimensional yang tidak berkesudahan. Karena itu, harapannya adalah, kita butuh perubahan untuk masa depan yang lebih baik. “Perubahan itu pasti!” kata mama Endosoren & Evra Marxiano ini mengakhiri.