SARON, Politisi Mawar dari Perbatasan
Laporan: Rikson Karundeng
Di balik wajahnya yang tegas terdapat hati yang penuh dengan kasih sayang. Paling tidak itulah yang terpancar sekilas bila bertemu dengan Sandra Rondonuwu yang akrab disapa SARON.Tak heran banyak yang menjulukinya sebagai politisi mawar berduri, hatinya indah seperti mawar yang sedang mekar, tetapi sikapnya bisa menusuk seperti duri apabila perasaaan rakyat disakiti. Tak tanggung-tanggung kalau untuk membela kebenaran ia akan berperang mati-matian dengan tidak melihat siapa pun yang akan dilawannya.
Memang perjalanan hidupnya boleh dibilang keras dan penuh dengan tantangan.
Terlahir sebagai seorang anak petani, Sandra kecil memang harus berjuang keras bahkan harus menjadi penjual kue berkeliling kampung untuk mengongkosi sekolahnya ketika masih duduk di bangku SD.
Bakat politiknya mulai nampak saat ia masuk bangku SMP, ketika itu ia dipercayakan untuk ikut lomba pidato di berbabagai tingkat hingga menanjak SMA, ia gagal dikirim ke tingkat nasional karena alasan ekonomi. Seusai pendidikan SMA, ia terpaksa harus menunda kuliahnya selama dua tahun sambil mengumpulkan dana dan baru setelah dua tahun itulah ia masuk ke perguruan tinggi UKIT Fakultas teologia. Memang cocok dengan cita-citanya untuk menjadi Pendeta kelak setelah selesai kuliah.Tapi jalan hidup orang tenyata tidak seperti yang dicita-citakannya. Menjelang reformasi, sebagai seorang mahasiswa yang kritis, ia bahkan harus disembunyikan di bawah kasur di kamar salah satu dosen karena pernyataan kritis yang ia lontarkan ketika Syarwan Hamid berkunjung ke UKIT di tahun 1996.
Dan pada tanggal 20 Mei atau satu hari sebelum Suharto lengser, Sandra yang kala itu menjabat sekretaris BEM UKIT berada bersama puluhan ribu mahasiswa se-Indonesia yang berdemo di Senayan. Atas inisiatif beberapa temannya, ia pun didaulat berorasi di depan puluhan ribu mahasiswa mewakili mahasiswa Indonesia Timur. Tak berhenti di situ, di awal reformasi, ketika Habibie datang untuk meresmikan KAPET dan Tahun Bahari Internasional pada Sabtu, 26 September 1998, Sandra bersama sejumlah aktivis menggelar aksi damai mendapat perlawanan represif yang berakibat pada pemukulan dan tindak anarkis dari aparat dan preman yang diorganisir untuk mengusir pendemo. Ia pun menjadi korban pentungan preman yang harus dilarikan ke rumah sakit saat aparat yang mengusir para mahasiswa yang sedang berdemo.
Di situlah titik perubahan total pada dirinya, karena itu iapun berkata, “Tuhan kalau aku akan dipakai untuk melayani rakyat, meneriakkan suara penderitaan rakyat, maka saya berkomitmen untuk berjuang dan menjadi pendeta rakyat, bukan pendeta di mimbar gereja,”kenangnya dengan penuh arti.
Setelah selesai kuliah di Teologi UKIT ia pun melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum untuk meraih gelar sarjana hukum dan memulai kerja sosial sebagai bukti komitmenya. Mantan aktivis mahasiswa ini pun merambah dunia pergerakan sosial, dan aktif dibeberapa LSM, seperti Suara Nurani Tomohon dengan aktivitas menolak tambang, melakukan voter education dan pada tahun 2004 silam, menjadi pelopor Forum Bersama Lawan Politis Caberes disingkat FORBES LPC. Ia juga menjadi salah satu ketua Persatuan Minahasa yang bergerak dibidang pendidikan politik Minahasa di bawah pimpinan Letjen (Purn) Johny Lumintang, dan sejumlah organisasi sosial di Sulawesi Utara. Ia dipercayakan menjadi sekretaris HKTI Minahasa Selatan dan menjadi Deputi Humas Dewan Rempah Minsel serta aktif berjuang untuk kepentingan petani. Terakhir beberapa waktu lalu ia dilantik menjadi Sekrataris Umum Merdeka Suara Perempuan (MSP) oleh Ibu Puan Maharani.
Sambil berbisnis kecil-kecilan, SARON mencoba memulai karir politik di PDI Perjuangan dan menjadi Wakil Ketua DPC PDI-Perjuangan. Dan pada pemilu kali ini ia menjadi Calon legislatif DPRD Propinsi SULUT Dapil IV Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara. Untuk itu iapun berani membuat kontrak politik. Kontrak politik itu sudah ia luncurkan november silam di blognya, www.sandrarondonuwu.blogspot.com. Dalam blog itu ia juga menyatakan komitmen tanpa akhir untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Terinspirasi oleh kalimat bijak Sam Ratulangi, Si Tou Timou Tumou Tou, SARON makin mantap menjadi politisi. Bagi istri tercinta dari Veldy Umbas ini, menganggap politik juga bagian dari pelayanan. Yang paling berat adalah bagaimana memberi teladan bahwa politik itu harus beretika, bermoral, dan bermartabat.
Pada pemilu legislatif kali ini SARON yang dibesarkan di perbatasan tanah Minahasa dan Bolmong yakni Poigar kecamatan Sinonsayang, berharap bahwa pelajaran demokrasi yang paling berharga harus bisa menjadikan sikap kita lebih cerdas dan lebih dewasa untuk merubah nasib bangsa Indonesia yang terus menerus larut dalam krisis multidimensional yang tidak berkesudahan. Karena itu, harapannya adalah, kita butuh perubahan untuk masa depan yang lebih baik. “Perubahan itu pasti!” kata mama Endosoren & Evra Marxiano ini mengakhiri.
0 komentar:
Posting Komentar