HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Rabu, 25 Februari 2009

Krisis Global dan Demokrasi Indonesia

Oleh: Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Pengantar
Tahun 1930 Amerika Serikat mengalami apa yang dinamakan the great depressión dan kemudian melambungkan John Maynard Keynesian sebagai inspirasi penyelesaian krisis ekonomi pada waktu itu. Fakta ini bisa dibaca secara sederhana, tetapi bagi kalangan pemerhati Ilmu Ekonomi dan Politik, ada hal-hal besar yang perlu dilihat lebih jauh. Mengapa? Karena periode tersebut ádalah peralihan dari masa keemasan Liberalisme ke masa keemasan Keynessian dan Welfare State. Apa pasal? Liberalisme (Klassik) sebagaimana diajarkan oleh Adam Smith dan Herbert Spencer adalah prinsip yang memperkenalkan self regulating market. Maksudnya adalah, Pasar memiliki mekanisme internal yang bisa mengatur segalanya, termasuk mendistribusikan kekayaan ke semua orang. Prinsip ini berdasarkan atas konsep survival of the fittest atau kompetisi antar individu yang harus difasilitasi sehingga yang sanggup bertahan adalah mereka yang bisa berdaptasi. Pasar Bebas adalah tempat dimana kompetisi itu dilakukan dan tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk Negara.

Konsep Adam Smith dan Herbert Spencer ini kemudian sampai pada peran Negara, yang bagi mereka Negara adalah semacam ”Penjaga Malam” saja. Maksudnya adalah, Negara berperan untuk mengkondisikan agar Pasar Bebas itu bisa berperan optimal dan aturan-aturan dibuat Negara agar semuanya (mekanisme pasar) menjadi mungkin. Negara tidak boleh mengintervensi pasar, tetapi membiarkan pasar menangani masalahnya sendiri dan kemudian pada titik suksesnya akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Sayang, thesis Smith dan Spencer ini berujung pada depressi besar di tahun 1930, dan bahkan menghadirkan wajah kelam Liberalisme yang menghasilkan imperialisme dan kolonialisme di Asia dan Afrika. Sumber daya alam Negara-negara industrialis yang liberlis itu terbatas dan memaksa mereka untuk melakukan penjelajahan dan pejajahan di daerah baru. Selain imperialisme dan kolonialisme, orang semakin tergantung ke Pasar dan membuat mereka yang gagal bersaing menjadi orang yang gagal. Tergantung kepada pemilik modal dan bahkan menjadi pekerja yang berharga sangat murah dihadapan mereka yang kaya.

Adalah John Keyness yang kemudian memperkenalkan skema ekonomi baru dengan pendekatannya yang kemudian menguasai dunia sejak tahun 1930-an sampai penghujung tahun 1970an. Idenya sederhana, mengembalikan peran Negara ke porsi yang benar dan memungkinkan intervensi Negara ke Pasar sejauh berkenaan dengan kepentingan banyak orang. Intinya adalah, Negara memiliki peran dan kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap pasar jika pasar menghadapi kemandegan. Atau, sederhananya, ide bahwa pasar itu memiliki kemampuan self regulating, mengatur diri sendiri ternyata tidak benar. Pasar juga bisa salah, market failure, dan dalam kondisi ini, maka Negara adalah institusi yang wajib dan harus melakukan intervensi karena kapasitas yang dimilikinya. Skema Keynessian ini selain mengembalikan posisi Negara, juga menginspirasi Negara Kesejahteraan atau Welfare State, yakni tugas Negara untuk melindungi warganya yang kurang mampu, cacat, maupun usia tua.

Bagaimana dengan Great Depressi diakhir tahun 2008 lalu? Bagaimana efeknya secara politik dan bagaimana pula efeknya bagi Indonesia?

Krisis Ekonomi Global 2008
Lebih parah dari tahun 1930, akhir tahun 2008 Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi lainnya. Dan, mirip dengan tahun 1930-an, great depression atau krisis ekonomi tahun 2008 adalah akibat dari ”sekali lagi” keyakinan berlebihan terhadap LIBERALISME. Neo Liberalisme (atau dalam ilmu ekonomi Pendekatan Neo Klassik) tepatnya. Naiknya Margareth Thacher di Inggeris selaku Perdana Menteri dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada tahun 1980 adalah awal dari kembalinya Liberalisme (Neo Liberalisme) ke pentas dunia. Bahkan, Thacher secara demonstratif membanting buku Friederich Hayek, the Road to Serfdom, dan menyebutkan “inilah kitab suci kita”. Buku Hayek tersebut adalah kajian sebaliknya dari Keynessian dan membawa kembali ide Pasar Bebas yang dikumandangkan oleh Smith dan Spencer. Bersama dengan Milton Friedman, Hayek menjadi empu baru ekonomi dunia dan mengawal era Pasar Bebas yang baru dengan ideology Neo Liberalisme. Negara kembali sekedar menjadi fasilitator dan harus jauh-jauh dari riuh rendah, ramainya pasar yang hanya bisa dikawalnya tapi tak boleh direcokinya.

Duniapun terhenyak dan terbius dengan sukses ekonomi USA dan Inggeris dalam hitungan 10 tahunan, dan bahkan Perancis yang sosialispun akhir-akhirnya terbujuk. Betapa tidak? Imperium Neo Liberalisme menggurita dengan tangan-tangan lembaga multi national seperti WTO, IMF, BDA, dan lembaga lain yang siap menawarkan kredit lunak dengan pengembalian jangka panjang. Tangan-tangan inilah yang membantu ekspansi besar-besaran dunia dan Negara industrialis dan secara baru menjajah Negara-negara dunia Ketiga hingga kali ini terjajah secara ekonomi, tidak secara politik. Dari sini muncul istilah baru, imperialisme gaya baru. Tetapi, ketergantungan yang diciptakan secara ekonomi, ternyata membius dan menerpa nyaris tanpa kemampuan Negara menjaga batas teritorinya karena secara bersamaan tehnologi informasi dan komunikasi juga berkembang pesat. Kajian Wallerstein mengenai World System dan juga Francis Fukuyama tentang the end of history memperlihatkan fenomena betapa dunia semakin menjadi tanpa batas.

Sayang, dunia, termasuk USA dan Inggeris lupa, bahwa apa yang disebut “market failure” oleh Keyness bukannya sesuatu yang tanpa dasar sama sekali. Great Depression tahun 1930 yang disebabkan oleh kerakusan manusia yang dipicu oleh pasar bebas, seakan terlupakan meski banyak Negara yang menjadi korban penghisapan lewat kolinialisme. Dan, sekali lagi Great Depression tahun 2008 mengulang kisah lama, kisah tahun 1930, yang sekali lagi membuktikan bahwa tidak benar bahwa Pasar itu self regulating. Pasar bisa keliru, demikian Keyness, dan sekali lagi dia benar. Kali ini, kerakusan dan keserakahan yang ditimbulkan Pasar dalam bentuk transaksi elektronik yang tanpa kontrol menghancurkan perekonomian Amerika Serikat.

Bukan kecil warisan hutang yang akan diterima Obama nantinya, hanya sekitar 1,2 Trilyun US$. Dan, dampak hancurnya ekonomi di USA juga hinggap hingga ke China, yang dalam waktu dekat mem PHK 600 ribu pekerja, juga bahkan Eropa Barat, memukul harga minyak mentah dunia. Bahwa Negara Asia juga mulai terkena dampak, terasa di pertumbuhan ekonomi yang semua menurun, hingga ke semakin banyaknya tenaga kerja produktif yang kehilangan pekerjaan. Sementara Indonesia sendiri, diramalkan akan mengalami akibat terburuk dari krisis global pada 2-3 bulan mendatang dengan masa-masa awal di tahun 2009 sebagai kepastian datangnya akibat buruk itu. Tanda-tanda 2009 bakal berlangsung buruk diperparah oleh tragedi kemanusiaan ketika Israel membombardir Palestina dan langsung berefek ke proyeksi harga minyak yang bakal melonjak. Indonesia yang diprediksi menurunkan harga BBM pada medio Januari, langsung pasang kuda-kuda untuk merevisi jika situasi krisis global memperburuk keadaan.

Indonesia yang terlanjur mempercayakan sebagian besar perekonomiannya sesuai mekanisme pasar (termasuk UU Penanaman Modal yang baru), bersiap siap menuai badai krisis. Meski memang belum akan seberat krisis ekonomi tahun 1998, tetapi krisis yang akan dan sedang terjadi ini, betapapun terjadi ketika Indonesia masih belum pulih dari terpaan krisis 1998. Artinya, pemulihan dan normalisasi perekonomian Indonesia mengalami penundaan untuk kembali ke titik awal sebelum dihajar krisis tahun 1998. Teori politik bisa optimist karena secara politis, Indonesia sudah jauh lebih demokratis, yang berarti compatible dan bersesuaian dengan cara positif perbaikan ekonomi. Tapi, bisakah teori ini menjadi kenyataan sementara varian krisis internal dan global terjadi pada saat bersamaan? Selain, masih terdapat sejumlah pekerjaan besar, baik politik, hukum maupun pemulihan ekonomi Indonesia.

Masa Depan Demokrasi di Indonesia
Adalah mengherankan bahwa siklus Liberalisme dan Keynessian bisa saling menggantikan dalam kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir. Wallerstein mengingatkan dunia soal Siklus Kontradieff, siklus ekonomi 45-60 tahunan yang setiap siklus itu melahirkan penguasa dunia yang hegemonik. Menurut Siklus Kontradieff itu, Amerika sedang mengalami deklinasi kekuatan, dan tahun 2000 tinggal kekuatan perdagangan dan kekuatan finansial yang dimilikinya setelah militer mulai tersaingi (Wallerstein Essential, 2000). Dengan krisis ekonomi tahun 2008, maka perdagangan dan perekonomian Amerika Serikat terpukul berat, dan bahkan hutang yang diwariskan begitu besarnya hingga bolehlah disebutkan bahwa Amerika Serikat kini dalam posisi yang setara dengan kekuatan dunia lainnya: Eropa Barat, Jepang, China. Dengan kondisi seperti ini, maka perubahan-perubahan ekonomi politik global akan sangat terbuka dan sangat mungkin terjadi. Fakta bahwa dunia seakan melawan Israel dan USA dalam kasus Palestina menerangkan betapa keseimbangan kekuatan dunia bakal semakin ditentukan. Dan jika demikian, apakah krisis global kali ini akan mempengaruhi pemegang hegemoni global? Dan jika demikian, seperti apa masa depan politik Indonesia?

Jika mengikuti logika Wallerstein dengan analisis world system yang dia ketengahkan lengkap dengan siklus kontradieff, maka dunia akan memasuki krisis besar selama 15-30 tahun. Akhir dari siklus itu, konflik global itu, adalah lahirnya kekuatan hegemonik yang baru. Wallerstein menyebutkan Jepang dan Eropa Barat sebagai calonnya, tetapi nampaknya China selama beberapa tahun terakhir menjelma menjadi kekuatan lain yang cukup serius kekuatannya. Siapapun kekuatan hegemonik dunia berikutnya, yang harus digarisbawahi adalah gejolak global yang terjadi sudah pasti berpengaruh bagi kondisi internal Indonesia. Mengapa demikian? Perkembangan technologi informasi dan komunikasi telah menyatukan dunia menjadi satu arena besar. Akibatnya, skenario global dengan mudah berdampak langsung bagi konteks ekonomi dan politik di Indonesia. Padahal, Indonesia masih berhadapan dengan agenda demokratisasi yang belum tuntas dan pemulihan ekonomi yang terganggu oleh krisis ekonomi dunia.

Persoalan yang dihadapi sekarang adalah, bagaimana mengantisipasi gejolak dunia dan secara simultan menuntaskan persoalan persoalan ekonomi dan politik internal. Secara internal, Indonesia sebetulnya masih belum sanggup mengkonsolidasikan demokrasi, meski lembaga-lembaga demokrasi secara prosedural sudah tersedia. Tetapi, menjadikan demokrasi sebagai ”the only game in town” meminjam istilah Di Palma, masih menjadi agenda. Masih terdapat gerakan-gerakan non demokratis yang terbiarkan dalam diri HTI, FPI, dan sejenisnya. Penegakkan hukum yang kerap bermotif politik dan posisi kekuatan politik Islam terhadap demokrasi serta reformasi militer yang masih di tahap tarik ulur. Belum lagi soal ekonomi dan pemulihannya yang sudah pasti akan sangat terkait dengan konteks dan dinamika politik Indonesia masa kini.

Suatu hal yang pasti, persoalan pluralisme dan masa depan demokrasi akan sangat berdampingan kelak. Redefinisi demokrasi nampaknya akan dilakukan oleh banyak kekuatan politik. Terutama setelah kekuatan-kekuatan politik Islam seperti mendapatkan momentum atas krisis global yang terjadi dan lambannya pemulihan ekonomi Indonesia. Kondisi ini akan melahirkan momentum ketersediaan sistem dan skema ekonomi politik lain meski tetap masuk atau diupayakan masuk dalam skema Pancasila. Suatu hal, Pancasila tetap menjadi komitmen bersama Bangsa Indonesia, meski tafsir dan internalisasinya di beberapa kelompok mulai terjadi bias dan penyimpangan. Redefinisi akan semakin menemukan momentum ketika polarisasi kekuatan global terjadi dan kondisi krisis global yang diramalkan Wallerstein menjadi kenyataan. Kondisi mono polar dewasa ini membuat tafsir atas demokrasi seakan menjadi hak dan kekuatan Amerika dan Eropa Barat, sementara tafsir lain dianggap bias atau menyimpang.

Seiring dengan kebangkitan dunia Islam, maka tafsir alternatif atas demokrasi akan semakin penting khususnya di Indonesia. Artinya, masa depan demokrasi Indonesia akan sangat tergantung atas bagaimana demokrasi diinterpretasi dan diinternalisasi oleh kekuatan politik Islam. Sejauh ini, pluralisme pandangan politik Islam justru memberi peluang bertumbuhnya Demokrasi Liberal di Indonesia. Tetapi, jika kemudian krisis berlanjut dan demokratisasi di Indonesia tidak bersignifikansi dengan kesejahteraan bahkan berujung krisis baru, maka tafsir baru akan memiliki peluang mengemuka. Apalagi, karena mekanisme demokrasi dewasa ini, sangat mungkin memberi peluang bagi redefinisi atas Pancasila menjadi berbeda. Dengan kondisi global yang sulit mempertahankan posisi dominasi penafsiran atas demokrasi dan kondisi internal yang membuka pintu akibat tidak selesainya agenda demokrasi dan pemulihan ekonomi, maka kondisi tersebut menjadi mungkin.

Makalah ini tidaklah bermaksud untuk mengatakan bahwa pikiran alternatif itu keliru atau bukan, tetapi memaparkan kemungkinan kemungkinan yang menanti kedepan akibat krisis global. Juga akibat krisis di Amerika Serikat yang mengikuti analisis Wallerstein sejak tahun 2000 mengataka bahwa situasi mono polar tidak akan berlangsung lama karena Amerika sedang kehilangan kemampuan hegemoniknya. Dalam kondisi yang sama di Indonesia yang sedang tidak mampu menyelesaikan agenda demokratisasi (liberal) dan signifikansi kesejahteraan tidak ditemukan, maka tafsir dan skema baru sangat mungkin menyeruak ke permukaan. Apalagi, tafsir baru itu sangat mungkin dilakukan atas nama demokrasi atau dengan menggunakan cara dan mekanisme demokrasi. Akankah kondisi ini berimplikasi pada Indonesia sebagai satu Negara adalah persoalan lain. Tetapi, jika skema baru dilaksanakan dan dilakukan dengan cara demokratis, maka bukan hal yang mustahil jika Indonesia dalam kondisi sekarag ini memasuki masa depan baru dengan skema politik baru.
Demokratisasi di Indoensia dewasa ini memang berlangsung cukup baik secara prosedural. Sayang, bahwa kondisi global dan inkonsistensi di tingkat birokrasi dan parlemen sering membuat kepentingan rakyat terlukai dan terabaikan. Tetapi, secara umum demokrasi di Indonesia megalami kemajuan berarti dibandingkan dengan banyak negara lain yang gagal melakukan transisi demokrasi dan jatuh pada sisi otoritarianisme baru. Tetapi, jika kondisi seperti ini bertahan dalam waktu panjang, maka godaan skema baru dan skema alternatif akan mengemuka, dan jika bukan dengan skema baru, maka Indonesia akan memasuki krisis baru yang sangat mungkin berujung pada kembalinya regime otoritarianisme. Di usia 10 tahun demokratisasi di Indonesia, sebetulnya capaian sudah cukup baik, tinggal menuntaskan konsolidasi demokrasi di Indonesia ditambah sedikit kesabaran diantara aktor-aktor politik dan masyarakat yang direpresentasi oleh Civil Society.

Di tengah terpaan krisis global dan agenda-agenda nasional yang masih menggantung, maka menjadi tugas semua komponen Bangsa, terutama Parlemen, Eksekutif, Partai Politik dan Civil Society untuk mencari jalan menuntaskan agenda demokratisasi. Sebab jika tidak, maka alternatif lain akan sangat mungkin hadir ke permukaan dan menghantarkan Indonesia memasuki konflik baru berkepanjangan. Kita berharap, tahun 2009 akan menjadi awal baru bagi spirit penuntasan agenda demokratisasi Indonesia.

Jakarta, 7 Januari 2009
Penulis: Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan Karawaci, Partner Strategic
Indonesia, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UI
(Manado Post, 14 Januari 2009)

0 komentar: