HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Rabu, 25 Februari 2009

Politik Baliho

Catatan Denni Pinontoan

Pemandangan kota-kota se-Indonesia tampak semakin ramai dengan baliho-baliho yang berwarna-warni milik para caleg yang akan bertarung dalam Pemilu 2009. Ini semua untuk menarik simpati pemilih, agar memilih para caleg itu di Pemilu 9 April 2009 nanti. Khusus di beberapa kota di Tanah Minahasa hal serupa juga terjadi.

Ada yang bilang ini cara kreatif dari para caleg untuk menarik simpati. Kreatif memang, sampai kemudian banyak juga yang kelihatan lucu, tidak masuk akal, dan terkesan aneh. Jika anda sedang berjalan-jalan di jalan raya di kota anda, coba ambil waktu perhatikan baliho-baliho para caleg itu dengan seksama. Ada yang pose di balihonya mirip foto kenangan antara suami dan istri. Di samping kanan, si caleg, di sampan kiri capres atau ketua umumnya partainya, atau sebaliknya. Karena kebanyakan capres adalah laki-laki, banyak caleg-caleg perempuan, tampak seperti anaknya atau istrinya. Untung si suami atau istri caleg tidak cemburu, ya? Ha..ha..

Di Tumpaan, ada baliho yang menampilkan gambar caleg di antara padi-padi yang sedang menguning. Tapi, lucunya, si caleg dalam gambar itu tampak rapih, tidak memakai busana seperti seorang petani. “Ini menggambarkan bahwa petani memang cuma jadi iklan politik,” kata Rikson Karundeng.

Di Kota Manado malahan ada gambar caleg yang kepalanya telah hilang. “Mungkin stou tu caleg itu pe kapala memang bagitu, nda ada ontak,” ujar seorang sopir angkot ST20 jurusan Jalan Siswa-Karombasan.

Kalau di kota Kota Tondano lain lagi. Di Kelurahan Tataaran ada baliho yang menampilkan seisi rumah si caleg. Maksudnya? Bukan semua seisi rumah semuanya, seperti kasur, kulkas, TV, dan lain-lain, tapi maksudnya keluarga si caleg. Gambar di baliho si caleg, itu, selain dirinya yang ditampilkan, tapi juga nebeng suami dan anak-anaknya. Mirip yang kita lihat di album keluarga. Bukan cuma itu, termasuk juga foto waktu si caleg diwisuda. “Ini kwa lantaran tu caleg itu nda punya kepercayaan diri. Nanti stou sekarang katu kwa ba stor muka pa masyarakat,” kata Greenhill waktu melihat baliho itu sambil tertawa lucu.

Bukan cuma gambar para caleg yang lucu—lucu dan aneh-aneh. Slogan-slogannya juga kadang membingungkan. Mereka itu calon kepala daerah atau anggota legislatif. Banyak slogan caleg yang mengatakan siap membangun ini dan itu, padahal itu kan tugas eksekutif, legislatif lebih kepada pengawasan, pengganggaran dan perundang-undangan. Permainan kata juga unik-unik. Ada yang menulis “Rebut” singkatan dari nama si caleg barangkali. Bahkan, di ada calon anggota DPD yang gambar balihonya memakai tulisan mirip salah satu iklan rokok.

Baliho para caleg yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu. kata teman, merupakan fenomena komersialisasi politik. Mengutip kata salah satu pengamat politik di salah satu TV swasta, menurut teman itu, inilah konsekuensi ketika politik di Indonesia menjadi liberal, dari grosir ke ritel. “Politik akhirnya memang menjadi urusan dagang, tak tampak lagi spirit pemberdayaan, kritik apalagi perlawanan. Kasian rakyat, lagi-lagi bakal menjadi korban demokrasi yang tak beres ini,” katanya sedih.

Kata teman itu, fenomena itu tepatnya disebut sebagai “Politik Baliho”, sebuah fenomena yang memperlihatkan kepada kita betapa nantinya para caleg-caleg ini hanya akan menjadi “baliho” dalam sebuah proses demokrasi yang semakin kesetanan, hanya menjadi pajangan bagi permainan politik Jakarta.