HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Senin, 09 Februari 2009

Catatan

SISI LAIN LAGI DARI DR. G. S. S. J. RATULANGIE

Oleh Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe

Tanggal 5 November 2000 ini kita merayakan HUT Minahasa ke-572. Tanggal ini dipilih sebab hari itu adalah juga HUT Pahlawan Nasional DR. SAM RATULANGIE. Dalam rangka perayaan-perayaan hari ulang tahun itulah diturunkan catatan di bawah ini.

Sebenarnya tulisan ini sudah diselesaikan untuk disampaikan pada suatu pertemuan di Manado Beach Hotel pada tanggal 25 Februari 1995 berkenaan dengan suatu seminar yang diselenggarakan UNIVERSITAS SAM RATULANGI. Penyampaian itu tidak terlaksana oleh sutau dan lain hal.

Kemudian Pdt. Dr. Richard A. D. Siwu, Ph. D. membacakannya sebagai renungan dalam suatu ibadah pertemuan kekeluargaan Ratulangi di Pineleng pada tanggal 27 Juni 1999, atas permintaan saya dari Jakarta, karena biarpun diundang tetapi tak mungkin menghadirinya.

Untuk penerbitan kali ini naskah itu tentu mengalami pemolesan seperlunya berhubungan dengan perkembangan waktu dan dimaksudkan sebagai renungan memasuki abad ke-21 Milenium ketiga ini.

Dari sekian banyak tulisan dan yang dikatakan tentang Dr. G. S. S. J. Ratulangie, saya rasa yang berikut ini tidak boleh luput juga dari perhatian kita, untuk menimba hikmah dan membekali kita dan generasi yang akan datang. Apalagi kaum terpelajar dan cerdik cendikia di masa sekarang dan dikemudian hari.

Maksud saya ialah segi sikap hidup modern dan teguh setia dalam ke-Kristen-Protestan-annya, tetapi kedua-duanya berangkat dan bertumbuh dari pandangan hidup, yakni pandangan dunia dan manusia serta kerangka berpikir yang orisinal dari dunia dan kebudayaan (ketimuran – Minahasa) darimana ia berasal. Lalu dari sana lewat pendidikan hingga menempuh yang akademis tertinggi sekalipun dan pergaulannya di dunia Barat dan Internasional, ia tokh berhasil membangun kedirian yang utuh sebagai seorang “Timur” dan membangun kehidupan beriman atau keberagamaan yang bertolak dari religiusitas (asli dan orisinal) dunia bagian Indonesia asalnya. Inilah yang dikenal juga sebagai wholistic view, wholistic life attitude, atau Ganzheitlichkeitslebensweise. Dengan kata lain sebagai seorang yang modern, dan oleh sebab itu bersikap hidup yang berpadanan dengan irama, roh, dan tuntutan zamannya yang harus terbuka bagi segala permasalahan masa kini dan masa depannya serta sanggup menyajikan penanggulangannya, namun ia tetap seorang yang sadar dan siuman melaksanakannya dengan apresiasi yang positif sekali terhadap nilai – nilai kehidupan warisan pada leluhurnya.

Hal ini membentuk suatu sikap hidup yang mandiri sekali. Malahan saya duga ia berdiri teguh dalam pandangan dunia dimana ia diasuh dan dibesarkan. Ia seorang yang kosmopolitan, nasionalistis namun mengagungkan pembentukan kepribadiannya yang dimulai dari kampung halamannya. Ia membekali pelengkapan kejiwannya dari hikmat yang diperolehnya dari orangtuanya, dari pengasuhnya bernama Denan dan dari “Tete” Tialo, lanjut hingga para pakar ilmu pengetahuan di segala bidang dan teknologi mutakhir sejagat. Keberagamannya merupakan sintesa serasi dan lestari, dan oleh sebab itu utuh (ganzheitlich) antara agama suatu suku bangsa dengan keimanan yang sangat universal dan oleh sebab itu sangat “mendunia”, maksudnya merangkumi seluas ciptaan. Bahasa sekarang hal ini disebut teologi nya sangat kontekstual dan oleh sebab itu universal pula serta manusiawi sekali. Hendaknya jangan dilupakan bahwa ditahun – tahun itu teologi dan spiritualitas demikian belum banyak membicarakan tentang soal – soal : kemerdekaan dan persatuan bangsa, pembangunan ekonomi dan sosial yang merata. Tetapi beliaulah yang berangkat dari spiritualitasnya membuktikan kepada kita apa arti dan makna keberagaman itu, bukan religiusitas yang personal belaka, melainkan iman kepercayaan yang teguh kepada Tuhan dan sekaligus berpengapaan dengan peri kemanusiaan dan alam ciptaan, iman yang vertikal dan sekaligus horisontal arah dampaknya. Bukan religiusitas yang sempit ke seorang dirinya saja, melainkan meliputi sejagat penuh. Dan itu nampak dalam keprihatiannya akan permasalahan peri kemanusiaan dan tata kehidupan dunia baru, tentang kemerdekaan dan persatuan bangsa, tentang demokrasi, keadilan sosial – ekonomi. Religiusitasnya juga bukan hanya bernostalgi akan keindahan masa lampau saja melainkan sekaligus memandang jauh ke depan seperti yang dikenal daripada para nabi baik dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian baru.

Semua yang dikatakan ini tentu bukan untuk meromantisasikan dia, melainkan secara empiris semua itu dapat diperiksa seterusnya lagi dari karya – karya tulisannya serta kesaksian mereka yang mengenal dia secara pribadi.

Kali ini karena keterbatasan waktu, hal – hal yang disebutkan diatas baru diperoleh kesan dari beberapa karyanya (Indonesia in de Pacific, De Pacific) dan pemantauan dari beberapa orang rekannya serta dari mereka yang sempat mengenalnya secara pribadi. Ia bukan seorang cerdik cendikia yang mengalami proses akulturasi seperti banyak dugaan tentang orang Minahasa. Ia juga bukan seorang sinkretis, pemadu unsur – unsur beberapa agama dalam dirinya sendiri, seperti yang selalu dikatakan tentang seseorang seperti yang dilukiskan di atas, melainkan ia seorang “contextual theoligian on his own”.

Saya mengatakannya demikian terutama dari pengamatan dan pemahaman tentang renungannya atau refleksinya mengenai dirinya sendiri menjelang umurnya yang mendekati 50 tahun, seperti nampak dalam tulisannya “Rondor Mamarimbing”, bernama-samarankan Ir. Rindengan yang terbit dalam : Nationale Commentaren, 1e Jaargang (tahun pertama) 1938, no. 41, 43, 44, 45, 48, 49, 50 & 52, yakni nomor – nomor Oktober – Desember 1938 dan yang diterjemahkan oleh W. S. T. Pondaag dalam : Pahlawan Kemerdekaan Nasional Mahaputra Dr. G. S. S. J. Ratulangie, Surabaya t.t., hal. 191 dan seterusnya. Refleksi diri sendiri ini juga berlangsung pada waktu ia memulaikan penerbitan Nationale Comentaren itu, sesudah penguasa kolonial memberhentikannya dari keanggotaannya dalam Volksraad, Dewan Rakyat, sejak 1937.

Sebagai orang yang paham dan diasuh dalam dunia kebudayaan dan Bahasa Tondano – Minahasa terutama oleh pengasuhnya Denan dan Tete Tialo, maka ia sadar betul apabila mengenakan pada dirinya sendiri nama – nama Rindengan dan Rondor Mamarimbing yang berdiam di Kesendukan. Dalam nama – nama itu terkandung makna kehidupan yang dijabarkan dari pandangan dunia dan manusia (=Welt – und Menschanschauung) Minahasa.

Rindengan
Artinya “dia yang diperoleh sebagai berkat hasi permohonan”. Itulah juga arti namanya Samuel (= Semuel) yang berasal dari Alkitab Perjanjian Lama yang artinya “dia yang diperoleh karena Tuhan Allah mengabulkan permohonan ibunya” (I Samuel 1, 7 – 20).

Rondor
Artinya “dia yang agung, yang hebat, gagah perkasa, jujur dan lurus serta tulus hati”.

Mamarimbing
Artinya “dia yang paham menafsir tentang baik dan buruk dari bahasa margasatwa”, semacam “penyampai dan pembaca kehendak Ilahi dari gejala – gejala alam”. Nama atau gelar itupun ada pada yang Ilahi dalam “Pantheon Dewata” Minahasa. Seolah – olah dia mau mengatakan jadinya bahwa “dia sendirilah yang menjadi penghubung antara kekinian dan yang disana di balik yang sekarang dan yang akan datang”.

Kasendukan

Itulah ungkapan bahasa – bahasa Minahasa untuk “sorga, alam bahagia, sentosa dan selamat”. Disitulah katanya kediamannya, dimana ia diasuh oleh Denan dan Tete Tialo.

Tialo
Dalam mitologi Minahasa, adalah “dia itu yang paling berhikmat”, oleh sebab itu “dialah selalu yang menjadi ketua sidang para tetua masyarakat”.

Nama – nama kedua kakak perempuannya dalam refleksi inipun diidentifikasikan juga dengan tokoh – tokoh mitologi Minahasa.

Lalu dalam gaya bahasa ironis ia menceritakan bahwa pendeta yang membaptis mereka mestinya kaget dan heran juga akan nama – nama ini. Inilah juga mungkin petunjuk utama pada proses akulturasi di masyarakat Minahasa bahwa seolah – olah nama Eropa, kalau hendak berbaptis menjadi Kristen maka seharusnya mengenakan paling kurang nama Eropa, kalau bukan harus bermental dan berkepribadian seperti mereka, ganti tetap bertahan teguh sebagai seorang Minahasa dalam kebudayaan dan kerangka berpikirnya bahkan juga dalam kekristenannya.

Padahal seperti sudah dikatakan tadi ia sedang merefleksikan dirinya itu pada waktu ia menjelang 50 tahun. Jadi pada zaman itu ia sudah modern, sudah merupakan seorang cerdik cendikia yang berwawasan internasional dan sebagai soerang tokoh nasional bangsa kita. Semua ini menunjukkan pada kita bahwa kemodernan dan keteguhan iman kepercayaannya sangat berakar pada nilai – nilai kebudayaan dunia Minahasanya, tetapi yang juga menyerap dan membangun kepribadian serta spiritualitasnya pada kerangka pandangan dunia dan manusia tradisional Minahasa.

Dalam tulisan selanjutnya terdapat kesan bahwa ia tidak menolak pendapat Tete Tialo yang membaca dari bahasa burung Manguni Rondor mana isyarat baik untuk berperjalanan dan malahan bagaimana burung ini memberi tanda mujur serta situasi dan suasana yang berkenan kepada “Sang Pemelihara” bagi manusia untuk bertindak. Demikian juga seekor ular hitam yang menyilang rombongan gerobak mereka dari sebelah kiri jalan, memberi peringatan supaya berhati – hati dalam perjalanan. Katanya selanjutnya ia lebih percaya pada hikmat pendeta tertinggi Tialo ini sebagai Tonaas dengan tafsirannya akan bahasa alam daripada teguran pendeta Belanda yang kurang peduli tentang gejala alam sungguhpun ia disegani orang. Sebab jelasnya selanjutnya, Tete Tialo lebih relevan dan sanggup melayani realisme kehidupan daripada ajaran misionaris yang kurang menyentuh permasalahan konkrit orang alamiah Kasendukan.

Rondor Mamarimbing atau Ir. Rindengan, yakni Dr. Ratulangie itu sendiri menikmati segala pelajaran dan pendidikan falsafah hidup Denan dan Tete Tialo yang berhikmat indah. Demikian juga segala nyanyian, syair dan lagu – lagu rakyat ditanah airnya yang menurut dia telah membekali perjalanan hidupnya dengan falsafah hidup yang dimodernkannya di kemudian hari.

Untuk melengkapi kesan sambil lalu ini kita catat lagi ucapannya yang sangat terkenal sungguhpun diucapkan dalam bahasa Belanda tetapi yang sangat mencerminkan ke-Minahasa-annya : "Mijn idealen hangen hoog boven de top van de Klabat, ofdchoon mijn benen in Airmadidi staan” (Cita – citaku tinggi amat melampaui puncak gunung Klabat, sungguhpun kakiku berpijak di Airmadidi). Kendatipun ucapan ini nanti dipopulerkan oleh Presiden RI kita yang pertama Ir. Soekarno pada waktu pidato – pidato pembangunan bangsa dalam kunjungan beliau mula – mula ke daerah Minahasa ini dipermulaan tahun 50-an di depan para siswa dan pelajar, namun inipun mencerminkan kerohanian Ratulangie yang sungguh berakar di daerah asalnya, tapi yang sangat modern, yang mungkin diucapkan beliau sewaktu menjadi sekretaris Dewan Minahasa di tahun 1924 – 1927. Sebab dimana dan kapan ia banyak berbicara tentang “idealen”-nya, kalau juga bukan sesudah mengalami proses permodernan itu seperti yang sudah disinggung di atas tadi.

Pada pihak lain dalam amsalnya bahasa daerah “Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia itu hdup untuk menghidupkan (= memanusiakan) orang lain atau sesamanya manusia, bagi saya jelas memantulkan permahaman yang memadu nilai – nilai kehidupan kekeluargaan masyarakat dalam mana ia diasuh dan dibesarkan sejak masa kanak – kanak hingga masa remajanya di Kasendukan tadi pada satu pihak, dan inti berita Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru khususnya dari Kitab Kejadian 12:1-4a yang berintikan : “Hendaklah kamu (manusia sejak Abram) menjadi berkat (bagi sesama)” di lain pihak. Inilah juga salah satu unsur pembangunan teologi dan idealisme modern lagi universal tentang peri kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial – ekonomi. Malahan meluas lagi ungkapan pokok pikirannya sambil merangkaikan dengan pandangannya tentang mempertahankan wilayah kepulauan nusantara kita ini. Memang hal itu dihubungkan dengan pembangunan suatu sistem pertahanan sipil dan angkatan bersenjata tapi yang harus dimulai dan harus berbarengan dengan pembangunan sosial, politik dan ekonomi rakyat, bahkan terutama lagi atas mentalitas, sikap dan kegairahan hidup perjuangan bangsa kita. Hal itu diucapkannya dalam Bahasa Belanda ulung di Dewan Rakyat pada tanggal 28 Juni 1928 dengan judul “Schaduwen der Onrust II”, yaitu jawabannya dalam babak II atas tanggapan wakil pemerintah dan anggota – anggota lain tentang apa yang telah dikemukakannya dalam babak I sidang tertanggal 14 Juni 1928 dengan judul “Schaduwen der Onrust I”, mengenai perlunya pemerintah kolonial merubah politik terhadap daerah jajahannya menghadapi perkembangan di Pasifik di tahun – tahun mendatang (lihat hal. 33, De Pacific). Sebab kalau tidak demikian katanya maka sulit membayangkan Indonesia (bahkan Belandapun) sanggup bertahan terhadap serangan – serangan kekuatan – kekuatan yang potensial yang akan berkecamuk dan akan memperebutkan kawasan – kawasan dan negeri – negeri sekitar Pasifik.

Akhir – akhir ini kita banyak berbicara tentang ketahanan nasional dengan melengkapi rakyat, masyarakat dan bangsa untuk bersikap mandiri. Oleh sebab itu hendaknya teguh dan trampil menanggulangi masalah – masalah kebudayaan, sosial, politik, ekonomu, keuangan, hukum dan hak – hak asasi manusia, keamanan, persatuan – kesatuan bangsa, keberagamaan, ditambah lagi dengan masalah kompetisi di segala bidang kehidupan diantara bangsa – bangsa dan negara – negara di kawasan Pasifik.

Mengamat – amati ucapan – ucapan Dr. Sam Ratulangie tadi kita mencatat hal – hal itu sebagai suara kenabian seorang yang beriman menghadapi masalah – masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan. Hal ini mencerminkan pula pandangan seorang paedagog (pendidik) sebagaimana ia mula – mula telah melengkapkan dirinya sebagi seorang guru untuk mendidik rakyat secara masal, supaya trampil menanggulangi segala tantangan hidup ke masa depan. Tetapi sekali lagi pembangunan dirinya itu dimulaikan dari asuhan Denan dan Tete Tialo di Kasendukan dalam kebudayaan setempat di Minahasa lalu dengan iman Kristen serta teologinya ia menuju seorang cendikiawan brilian yang berpendidikan ilmu pengetahuan modern, interdisipliner dan oleh sebab itu berkaliber nasional bahkan internasional.

Dalam pembacaan saya akan naskah – naskahnya selanjutnya pasti saya akan menemukan lagi ucapan – ucapan yang mengungkapkan teologi atau ungkapan iman kepercayaan dan spiritualitas serta religiusitasnya. Tetapi untuk sementara waktu kutipan – kutipan dan bahasan di atas tadi sedikit banyaknya membuka tabir bagi kita ke arah pemahaman akan kerangka berpikir tokoh Pahlawan Nasional kita.

Apa maknanya pemahaman begini tentang kepribadian Sam Ratulangie ? Biarlah saya simpulkan secara singkat sebagai berikut :

Kehidupan dan kepribadian Dr. Sam Ratulangie mencerminkan spiritualitas, kerohanian, religiusitas dan pandangan hidup modern yang sangat berakar pada nilai – nilai tradisi dan konteks suatu daerah serta kebudayaan setempat di tanah air ini. Hal itu kemudian dibangun dengan sikap peka dan terbuka menghadapi permasalahan – permasalahan aktual kehidupan masa kini dan hari depan yang lebih luas dalam wawasan nasional serta universal untuk ditanggulangi demi kebahagiaan dan kesentosaan semua. Dengan mentalitas dan sikap hidup demikian didemonstrasikan suatu panutan bahwa supaya modern orang tidak usah bermutasi ke mental orang Barat. Demikian juga untuk semarak, bermakna dan relevan beragama Kristen Protestan pada khususnya tidak usah menjadi orang asing dinegerinya sendiri secara kultural. Kemandirian dimulai juga dari sikap hidup dan spiritualitas serta kerohanian seperti ini. Orang dapat menjadi cerdik cendikia diperlengkapi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih tanpa harus “menderita schizophrenia” antara iman dan ilmu, antara nilai – nilai indah warisan para leluhur setempat dan pembangunan kebudayaan nasional, apalagi menyumbang pada peri kemanusiaan universal di tengah – tengah proses globalisasi masa kini. Cerdik cendikia malah harus menanggulangi permasalahan – permasalahan kehidupan kepribadian mandiri seseorang.

Itulah falsafah hidup Dr. G. S. S. J. Ratulangie.

Kakaskasen, 3 November 2000

Pdt. Prof. Dr. W. A. Roeroe

Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Harian Manado Post edisi 4 dan 6 November 2000,

0 komentar: