HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 06 Februari 2009

feature



Captikus: Beresiko tapi Menguntungkan
Cerita dari Motoling tentang Suka Duka Menjadi Petani Captikus

Laporan Denni Pinontoan

Om Sony Rambi, tampak gesit memanjat pohon enau di kebunnya. Tak hitung menit ia sudah berada di antara dedaunan pohon enau yang rimbun. Sekira 7 meter tingginya dari tanah. Om Son, begitu warga Motoling biasanya menyapanya, sedang melakukan kegiatan rutin sehari-harinya menyadap, atau bahasa warga setempat batifar air nira dari pohon enau itu. Air nira, yang oleh warganya biasa menyebutnya saguer itu, disadapnya dari salah satu mayang pohon enau tersebut.

Tampak sekali Om Son sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Sebuah bambu, kira-kira berdiameter 15 cm dengan panjang 1,5 meter yang dipakai untuk menampung saguer yang mengalir sedikit demi sedikit dari ujung mayang, diturunkannya ke tanah perjalan-lahan dengan bantuan tali berwarna hitam yang terbuat dari ijuk pohon yang biasa disebut seho itu. Sebuah bambu yang hampir sama, mengganti menampung saguer yang akan diambilnya besok hari. Kegiatan yang sama akan dia lakukan untuk pohon seho yang lain. Setiap hari seperti itu pekerjaannya, sampai mayang itu kandas di badan pohon.



”Sekarang ini ada kurang lebih 15 pohon seho yang kita ja tifar. Saban hari bagitu kita pe karja,” begitu kata Om Son kepada Infominahasa yang menemuinya langsung di kawasan perkebunan Moyomboong, Desa Motoling.
Om Son adalah salah satu dari ribuan petani Captikus di Kabupaten Minahasa Selatan. Captikus ini adalah jenis minuman beralkohol kadar tinggi. Bahan baku untuk membuat captikus adalah air nira atau saguer yang asam, bahkan sudah menjadi cuka. Selain gula merah (gula batu), kebanyakan warga di kecamatan Motoling Kab. Minahasa Selatan ini memproduksi jenis minuman alkohol dengan cara yang tradisional.

“Tu dia pe tampa mo masa saguer ini, de pe nama porno. Orang sini bilang bagitu. Mar bukang tu porno itu,” kata Om Son sedikit tertawa menerangkan nama penyulingan minuman captikus ini.



Dari 15 pohon seho yang disadap oleh Om Son, ia bisa memperoleh 3 - 4 saguer per hari. ”Kalo de pe saguer pe banyak ampa gelon, torang ja pake bukang drum yang enteru, mar cuma setenga. Da potong setengah. Kalu 8 gelon saguer, baru pake drum yang enteru,” jelas Om Son di tengah kesibukannya menyuling captikus.

Tapi tidak setiap hari Om Son menyuling captikus. Dia harus menyesuaikan dengan ketersedian bahan bakunya. Sekitar 4 atau 6 kali seminggu dia menyuling. ”Lataran tu saguer musti tampung dulu sampe riki 4 galon, jadi kita nda setiap hari momasa (menyuling – red) saguer. Dalam satu minggu kita boleh dapa dua gelon setenga sampe 3 gelon captikus,” tutur Om Son dengan logat Motoling yang kental.

Captikus yang dihasilkan oleh Om Son dijual kepada para penampung atau pengusaha captikus. Di Kecamatan Motoling, warga yang punya modal lebih memilih jenis profesi sebagai penampung captikus, atau para pembeli captikus dari para petani captikus. ”Kalu so klar mo masa, tu captikus kita ja jual pa tu penampung. De pe harga nda sama, lantaran tu de pe keras (kadar alkohol – red) beda-beda. Lebe keras, lebe mahal dorang ja bli,” terang Om Son.



Dari para penampung inilah, captikus produksi warga Motoling dipasarkan ke pabrik-pabrik alkohol di Kota Manado. Tapi, cara pemasaran ini menurut Om Son cuma salah bentuk dari beberapa bentuk lainnya yang sering mereka lakukan. Ada yang memasarkan sendiri di kios-kios, baik yang ada di kampung sendiri, maupun sampai di Kota Manado dan Bitung. Bahkan, menurut Om Son, waktu lalu captikus Motoling ada yang sampai dipasarkan ke Papua mengikuti jalur laut yang dimuat di kapal penumpang. ”Mar itu bahaya (beresiko – red). Gampang dapa tangka,” jelas Om Son.

Inilah persoalan-persoalan yang sering dihadapi oleh para petani captikus. Padahal menurut cerita Om Son, pekerjaan membuat captikus ini sudah turun temurun dilakukan oleh sebagian warga Motoling. Menurut Om Son, yang ceritanya sama seperti yang dituturkan oleh warga Motoling lainnya, bahwa karena hasil dari membuat captikus inilah banyak orang Motoling yang bisa bersekolah. Ada yang telah menjadi polisi, guru, anggota legislatif, bahkan pendeta.

Om Son sendiri memang tidak hanya berharap penghasilan dari menyuling captikus. Selain pekerjaan rutinnya ini, ia juga menanam padi dan memelihara ikan di sejumlah petak sawah yang berada tak jauh dari porno-nya itu. ”Memang kita nda cuma ja beking captikus, mar depe penghasilan katu lumayan untuk makang hari-hari deng anak-anak pe doi sekolah,” kata ayah dari tiga anak ini.



Menjadi petani captikus memang sulit. Bukan hanya sulit dari cara memproduksinya, tapi terutama adalah soal pemasarannya. Jefry P, salah satu pengusaha atau penampung captikus di Motoling menilai, kebijakan pemerintah daerah terhadap minuman alkohol khas Minahasa ini memang sering berubah-ubah. “Tidak menentu. Peraturan pemasaran untuk captikus memang ada, tapi anehnya, kadang para penampung yang memasarkan captikus untuk pabrik-pabrik di Manado sering harus merugi karena kena sita. Padahal, surat ijinnya sudah diurus,” kata Jefry mengeluh.

Om Son sendiri, dan petani captikus lainnya, sering kena imbas dari kebijakan yang tidak menentu ini. Harga jual captikus bagaimanapun bergantung dari mulus tidaknya pemasaran di tingkat pengusaha atau penampung. “Kita cuma berharap pemerintah boleh beking satu terobosan, supaya captikus nyanda selalu jadi sasaran untuk disalahkan kalau terjadi tindakan krimininal. Lantaran, bagaimanapun so ini torang pe mata pencaharian, “ harap Om Son.

0 komentar: