HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 17 April 2009

Nuwu’ I Tu’a: Kajian Terhadap Nilai-Nilai Moral Budaya Minahasa

Oleh : Rikson Karundeng
(Penulis, redaktur Majalah Waleta Minahasa, pegiat di Gerakan Minahasa dan Muda dan Mawale Cultural Center)

Secara teoritis-filosofis, etika adalah hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku moral seseorang ataupun masyarakat. Sedangkan moral adalah nilai-nilai ideal yang diyakini oleh seseorang atau masyarakat sebagai landasan dan tolak ukur sikap etis. Jadi, etika merupakan aktualisasi nilai-nilai ideal dalam kehidupan sehari-hari lewat tingkah laku seseorang atau masyarakat. Berdasarkan nilai-nilai ideal yang ada, orang belajar tentang hal apa yang sebenarnya penting bagi kehidupan, belajar apa yang mesti atau tidak, atau belajar apa yang baik dan apa yang tidak baik.
Bagi masyarakat tradisional, standar moral dan etis itu terungkap lewat kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun. Kebiasaan, cara (kelakuan dsb.) yang sudah menjadi kebiasaan ini, disebut adat. Bagi masyarakat tradisional Minahasa, kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak tertulis, yang diwariskan secara turun-temurun disebut “nuwu’ I tua”. Secara khusus, adat atau nuwu’ I tua di masyarakat tradisional Minahasa, itulah juga etika asli orang Minahasa.
Adat merupakan bagian penting kebudayaan manusia dan sangat mempengaruhi (kalau bukan menentukan) cara dan bentuk kehidupan komunitas masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal menunjuk pada “sesuatu” yang berada di atasnya, yang “menguasai” dan “menentukan” keberadaan serta masa depannya. Secara horisontal menunjuk kepada relasi dan tempatnya dalam tatanan sosial kemasyarakatan.
Dalam kajian-kajian ilmiah tentang kebudayaan masyarakat etnis, maka orientasi nilai budaya masyarakat etnis berkisar pada masalah hubungan seseorang dengan sesama dan dengan kosmis. Dalam kaitan ini, ditemukan paling kurang lima orientasi nilai yang merupakan landasan moral etis masyarakat tersebut, yakni :

• Sikap seseorang terhadap sesama;
• Apa (kewajiban) yang hendaknya dilakukan seseorang terhadap sesamanya ? ;
• Wawasan dan kesadaran akan kebersamaan (solidarity) ;
• Pewujudan nilai kebersamaan dalam kerja ;
• Konsep kehidupan politik

Dengan kerangka ini dapatlah disistematisasikan lima orientasi nilai budaya Minahasa atau lima nilai moral dasar yang berhubungan dengan kehidupan orang Minahasa yang menunjukan tentang adat.

1. Sikap terhadap sesama (social behaviour)
Orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap seseorang terhadap sesama dapat kita temukan lewat ungkapan-ungkapan, misalnya : masigi-sigian (saling menghormati). Masigi-sigian selalu disingkronisasikan dengan maupus-upusan (mengasihi satu dengan yang lain) dan maleos-leosan (jujur terhadap yang lain atau menjadi pemimpin yang baik/benar terhadap orang lain). Ungkapan-ungkapan ini semestinya tidak hanya dipahami dalam kerangka “luaran” yang harafiah, melainkan dalam kerangka orientasi nilai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap budaya serta religius orang Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia.
Dalam masyarakat Minahasa, penerimaan dan penghormatan adalah nilai yang dipikirkan dalam kerangka kerja dari masigian. Kerangka kerja dari seseorang dalam hubungan “muka dengan muka” dengan masyarakat yang lain. Masigi-sigian, maupus-upusan dan maleos-leosan harus dimengerti dalam kerangka kerja dari perkumpulan yang bersifat totalistik. Dalam pandangan ini, keberadaan manusia atau realitas selalu dilihat dalam hubungan dengan perintah yang suci dan perintah kosmis. Sebagai penerimaan terhadap sesuatu yang kudus, manusia juga harus menerima “orang lain”. Dengan kata lain, menghormati dan mengasihi sesama manusia adalah juga merupakan sikap hormat terhadap yang ilahi atau Tuhan (biasa disapa dengan sebutan-sebuatan, antara lain: Opo Kasuruan Wangko, Opo Wananatas, Opo Wailan, dst).
Dalam persekutuan total orang Minahasa, tetangga atau anggota manusia dilihat dalam hubungan dengan yang sakral yang disebut Opo Wailan Wangko. Penerimaan mereka terhadap Opo Wailan Wangko juga direfleksikan ke dalam tindakan atau prilaku sosial mereka. Masigi-sigian juga dipikirkan dalam kerangka kerja dari sebuah hubungan yang kebetulan, yang merupakan elemen dasar dari kepercayaan religius. Kepercayaan orang Minahasa bahwa jika prilaku seseorang baik (leos), dikarenakan penerimaan dari sebuah berkat yang baik. Maksudnya, jika prilaku seseorang itu benar, hal itu karena ia tidak menerima sebuah hukuman moral (katula). Jika kesakitan atau kecelakaan menimpa seseorang, maka diyakini bahwa dia telah melakukan tindakan yang “immoral” atau “ireligius” kepada orang lain.

2. Kewajiban moral terhadap sesama (Obligation to serve)
Kalau dalam orientasi nilai yang pertama kita menemukan kesadaran untuk saling menghormati, maka pada orientasi nilai yang berikut ini kita menemukan adanya kesadaran akan kewajiban moral untuk melayani sesama manusia. Hal ini terungkap misalnya, lewat apa yang dalam masyarakat Tountemboan (salah satu sub etnis yang ada di Minahasa) disebut Masaali. Memang istilah ini pertama-tama menjelaskan suatu sikap dan tingkah laku anak-anak terhadap orang tua, yaitu suatu kewajiban anak-anak untuk merawat orang tua disaat lanjut usia. Dengan kata lain, kewajiban ini mengungkapkan pelayanan anak-anak terhadap orang tua yang membutuhkan pelayanan anak-anak. Jadi, apa yang terdapat pada kelompok-kelompok etnis atau bangsa yang lain tentang obligasi untuk melayani orang tua, terdapat pula pada orang Minahasa. Dalam analisis sosio-kultural, kewajiban pelayanan seperti ini merupakan juga ungkapan mengenai kesadaran etis-religius orang akan penghormatan terhadap yang ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan yang diberikan kepada Tuhan, diungkapkan pula lewat kehidupan moral-praktis, yalni melayani sesama manusia. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa masali adalah respons terhadap hubungan “muka dengan muka”. Hal ini merupakan respons atas pertanyaan “apa yang harus saya lakukan terhadap sesama ?” Konkritnya, ini merupakan sebuah respons atas pertanyaan “apa tanggungjawab moral saya terhadap orang lain ?”, “apa yang harus saya lakukan dalam komunitas ?” Tanggungjawab moral diterjemahkan ke dalam pelayanan konkrit terhadap tetangga atau sesama yang membutuhkan pertolongan. Jadi, praktek pelayanan seperti yang terlihat pada masaali mengandung nilai etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral seseorang terhadap sesama manusia.

3. Kesadaran akan kebersamaan (Solidarity and equality)
Nilai-nilai kebersamaan ternyata sangat penting dalam kebudayaan Minahasa, bahkan menjadi tolak ukur bagi kehidupan social. Hal ini sangat nyata terlihat lewat peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi disekitar kehidupan komunal Minahasa, misalnya: kedukaan, persta kawin, dst. Dalam peristiwa ini, masyarakat membawa “rukup” mereka (biasanya berupa barang-barang yang menjadi kebutuhan material orang atau keluarga yang berduka, berpesta, dst ). Pemberian kebutuhan material merupakan perintah moral dalam pengertian demi persatuan dan harmoni. Orang yang tidak melakukan hal itu adalah “immoral”. Kepercayaan orang Minahasa bahwa prilaku immoral bisa menghancurkan hubungan seseorang dengan lingkungan.
Praktek ma-rukup dalam masyarakat Tountemboan, hal yang sama juga terdapat pada kelompok etnis manapun di Minahasa, dapat dikategorikan pada orientasi nilai kebersamaan ini. Semua cara dan upacara dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas, tidak semata rutinitas, melainkan mengungkap nilai-nilai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa ini secara sosio-religius adalah ungkapan rasa kebersamaan dan kesamaan derajat.

4. Wawasan tentang kerja (ethos kerja atau work ethic)
Masyarakat asli Minahasa memiliki etos kerja yang diinstitusikan lewat pranata “mapalus”. Pranata ini sering diasosiasikan dengan praktek gotong royong di Jawa atau di daerah-daerah lain, yang mengungkapkan semangat dan praktek saling tolong-menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berakar pada budaya agraris di desa-desa, karenanya dapat dibedakan dengan gotong royong, walaupun gotong royong menjadi bagian hakiki dari mapalus. Perbedaannya ialah, gotong royong berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir ke dalam suatu system kerja, sedangkan mapalus merupakan kegotong-royongan yang telah “diorganisasi” atau “dilembagakan” dalam suatu sistim kerja. Jadi secara etis sosial dan kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Ini dapat pula dianggap sebagai wawasan tentang sistim kerja dan karenanya, dapat dilihat sebagai etos kerja orang Minahasa.
Menurut Josef Saruan, azas-azas mapalus meliputi: azas kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, azas kerja sama, azas keagamaan serta azas persatuan dan kesatuan. Kemudian, prinsip-prinsip pengelolaan suatu mapalus, yaitu: prinsip tolong menolong, prinsip keterbukaan, prinsip disiplin kelompok, prinsip kebersamaan serta prinsip daya guna dan hasil guna.
Etos kerja orang Minahasa, disamping dalam rangka memenuhi kebutuhan azasi manusia untuk hidup, tetapi juga dalam rangka melakukan kewajiban kultural-religius.

5. Musyawarah mufakat (unanimous concensus)
Dalam orientasi nilai yang terakhir ini, dapat dilihat bagaimana sebernarnya orang Minahasa menyelesaikan konflik sosial. Konsep dan praktek dari “masuat peleng” atau “paumung” merupakan cara aktual orang-orang Minahasa untuk membuat kesepakatan dalam konflik dan pluralitas sosial (Indonesia: Musyawarah dan mufakat). Hal ini diekspresikan dengan jelas dalam sejarah pertemuan “Watu pinabetengan” (yang bermacam-macam versi), dimana semua pihak yang berkonflik bertemu. Dalam pertemuan tersebut tidak ada seorangpun dari mereka yang dilarang masuk dan ditaklukan. Setiap pihak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pandangan mereka, mereka membuat keputusan atau kesepakatan (mufakat). Setiap pihak berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Mereka membuat kesepakatan: Esa, esa kita peleng, esa wia se Opo-opo Lumimuut wo si Toar (Kita semua menjadi satu dan harmonis, disatukan oleh Opo dari Lumimuut dan Toar). Kriteria mereka bukanlah antara benar dan salah, tetapi kesadaran untuk menjadi “anak Allah, Opo”. Kriteria mereka adalah pengenalan terhadap solidaritas dan harmoni. Konflik merupakan ketidakhadiran dari esa (kesatuan) dan harmoni. Kesadaran ini membuat mereka sanggup untuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka, untuk berbicara satu dengan yang lain, dan untuk saling menerima satu dengan yang lain. Lebih dari pada itu, hal ini membuat orang-orang Minahasa sanggup untuk tidak menaklukkan yang lain atau untuk menjadi eksklusif, melainkan bisa beradaptasi. Orang Minahasa mengadaptasikan diri sendiri atau bisa mengadaptasikan diri sendiri dengan pandangan-pandangan orang lain. Dalam sikap ini, keberadaan dari pihak-pihak yang berbeda tidak menghasilkan sebuah konflik melainkan saling melengkapi. Masuat peleng atau paumung merupakan cara berpikir inklusif yang membuka toleransi, dialog, pluralis dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Melihat lima orientasi nilai budaya Minahasa ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tou Minahasa adalah adalah orang-orang yang berpikir, bersikap serta bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai moral dasar tou Minahasa tersebut. Tetapi dalam perjalanan masa hingga saat ini, adakah nilai-nilai moral tersebut masih nampak dari tou Minahasa ?
Kalau mau berefleksi dari lima orientasi nilai budaya Minahasa ini dalam hubungan dengan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini, sepertinya kita boleh katakan bahwa masigi-sigian, maupus-upusan dan maleos-leosan telah berubah menjadi sikap yang cuek aja tidak peduli dan suka berdusta atau membalikkan fakta. Orang-orang tidak suka lagi melayani sesama dan kalaupun ia melayani itu bukan karena ketulusannya melainkan karena suatu kepentingan tertentu. Marukup mulai dilupakan dan kalaupun ada itu dilakukan bukan karena kesadaran akan kebersamaan tetapi demi gengsi dan harapan ada imbalan. Mapalus yang adalah etos kerja tou Minahasa mulai ditinggalkan, dan bagaimana tou Minahasa menyelesaikan persoalan saat ini ? Masuaat Peleng atau paumung yang di dalamnya ada kebebasan mengemukakan pandangan, ada rasa solidaritas dan kesadaran untuk menciptakan kesatuan dan harmoni, kini telah berubah menjadi tidak menghormati, tidak menghargai pendapat dan pandangan orang lain, tidak mengutamakan musyawarah, bahkan lebih parah adalah sikap “baku cungkel”, memecah belah dan menghancurkan kebersamaan yang telah ada.
Kenyataan ini memang bukan tanpa sebab, menurut E.K.M. Masinambow perubahan ini terjadi jelas karena pengaruh peradaban barat. Lebih lanjut Veldy Umbas mengatakan bahwa perubahan sikap dan prilaku tou Minahasa saat ini terjadi setelah melewati beberapa tahap mulai dari Periode pra sumerar, periode ikrar Pinabetengan, periode kolonisasi, periode integrasi nusantara hingga periode perang saudara di zaman PRRI/Permesta. Dan menurut Umbas, dalam perjalanan tou Minahasa selanjutnya, hingga saat ini, tou Minahasa terus berubah apalagi ketika mereka berhadapan dengan makin berkuasanya kapitalisme global dengan penguasaan informasi global yang kemudian menggiring prilaku sosial tou minahasa kearah materialistis kapitalisme dengan spirit hedonisme yang kental.
Nilai-nilai moral budaya yang ideal dari tou Minahasa sangat indah. Jika ia tenggelam, siapakah yang bertanggung jawab ? Kenyataan tentang tou Minahasa saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya nilai-nilai moral budaya yang indah itu masih ada walau sedikit. Itu tentu menjadi harapan bagi kita untuk bisa mengangkat kembali yang sudah mulai tenggelam dan terus mempertahankan yang masih ada. Nuwu I Tu’a yang telah diamanatkan harus dijalankan dengan baik akad se tu’us tumow tow {agar (=tekad) semua anak keturunan (=se Tu’us) menjadi manusia (=tomow) dan memanusiakan keturunan selanjutnya (=o tumow tow)}. Semua itu demi satu tujuan dan harapan, Ma-esa-esa-an wo Maleos-leosan (Menjadi satu, harmonis dan baik satu dengan yang lain).

Datar Bacaan
Masinambow, E.K.M. et. al., (Edit.) Si Tou Tomou Tumou Tou. Jakarta. : KKK Jakarta, 1991
Moningka, J. Ch., Adat dan Kekristenan di Minahasa. Tomohon : Percetakan “Eben Heazer”, 2001
Saruan, J.M., Masa Awal Pertumbuhan Gereja. Tomohon : 1999
Siwu, R.A.D., Kebenaran memerdekakan: Etika Bermasyarakat, Berbudaya, dan Beragama era Globalisasi. Tomohon. Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 2000
Tulaar, D.H., “Opoisme” : Teologi orang Minahasa. Tomohon : Lembaga Telaah Agama dan Kebudayaan (LETAK), 1993
Umbas, V.R., Menata Budaya Sebagai Modal Sosial Masa Depan Minahasa (Makalah yang disampaikan pada Kongres Adat Minahasa, …..

Referensi

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1993

0 komentar: