HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Rabu, 11 Agustus 2010

Filsafat Minahasa, Adakah?

(sebuah pengantar untuk ’ber-filsafat’ Minahasa)


Oleh: Denni Pinontoan

Secara umum yang kita kenal mengenai istilah ”filsafat” diartikan sebagai usaha mencari kebenaran sedalam-dalamnya. Berasal dari kata Yunani: ”philosophia”. Terdiri dari kata ”philo”, yang berarti ”cinta” dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan ”sophia” mempunyai arti ”hikmah”, ”kebijaksanaan”, dan ”kebenaran”. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).
Selama ini yang dikenal adalah filsafat Barat, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran filosofi yang dirumuskan mulai dari filsuf-filsuf alam Yunani klasik, kemudian Sokrates, Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf Barat modern. Akal, atau rasio menjadi pusat atau instrumen utama dalam pencarian dan perumusan kebenaran-kebenaran tersebut. Berikut, dikenal juga filsafat Timur, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran metafisis, religius dan etika China, India, dan Islam. Akal dan intuisi menjadi instrumen dalam usaha menggali dan merumuskan kebenaran dalam filsafat Timur.
”Filsafat” dalam pengertian filsafat Barat tersebut telah cukup mendominasi studi-studi tentang filsafat sejagad. Kriteria mengenai sesuatu disebut filsafat atau tidak kerap mengacu dari rumusan atau definisi istilah tersebut. Dengan dijadikannya pemikiran-pemikiran filsafat Barat, mulai dari para filsuf klasik hingga filsuf-filsuf Barat modern sebagai standard untuk penggalian dan perumusan filsafat, maka yang terjadi adalah dominasi pengetahuan. Secara tradisional, kita, ketika belajar filsafat kompetensinya hanya sampai di mengetahui nama, dan sejarah para filsuf serta rumusan-rumusan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Kita hanya belajar tentang ”filsafat”, bukan belajar ’tahu berfilsafat”. Dan dengannya, seolah-seolah, pengetahuan atau kegiatan berpikir kritis, dan radikal itu hanya milik peradaban Barat. Padahal, jauh sebelum peradaban Barat maju dan berkembang yang antara lain ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofi klasik Yunani, di Timur, misalnya China dan India telah berkembang peradaban yang maju, yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran kritis, radikal dan religius. Pemikiran-pemikiran para arifin China dan India disebut sebagai filsafat Timur, meski para orientalis sempat memperdebatkan dan meragukannya. Ini karena para orientalis mengacu dari standard filsafat Barat, yang akan menganggap sebuah konsepsi filsafat jika memenuhi syarat antara lain rasional, kritis, logis dan sistematis. Sementara, pemikiran-pemikiran kritis dan radikal peradaban Timur berkembang bersama aktivitas beragama dan tata hidupnya.

****

Barangkali yang universal dari apa yang disebut ”filsafat” yang dirumuskan di di Barat itu adalah tentang usaha pencarian kebenaran. Soal instrumen, motodologi apalagi isinya tidak terutama harus mengacu dari apa yang dirumuskan oleh filsafat Barat tersebut. Sebab keyakinan kita bahwa Minahasa adalah juga sebuah peradaban yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran tentang kebenaran yang dirumuskan secara radikal dan kritis. Mitologi Lumimuut-Toar, sebagai sebuah mitos misalnya, tentu lahir dari usaha untuk menjelaskan asal-usul orang Minahasa yang di dalamnya juga mengungkap kebenaran-kebenaran hidup.
Kita tidak perlu membayangkan, bahwa yang disebut filsafat Minahasa adalah sesuatu yang sudah disebut sebagai filsafat atau sudah tersusun secara sistematis seperti rumusan-rumusan filsafat yang kita kenal selama ini di buku-buku tentang filsafat. Filsafat Minahasa terkandung dalam mitologi, simbol-simbol, nilai dalam tata cara hidup, juga pemikiran-pemikian agama tuanya.
Sebagai bukti, pemimpin Minahasa di zaman dulu disebut sebagai ”tonaas” yang artinya ”orang kuat” atau juga ”orang berilmu, berintelektual”, tou ngaasan. Intelektualitas dalam diri para ’tonaas” Minahasa itu menunjuk pada kemampuan dalam hal wawasan, pengetahuan tentang alam dan kerja, serta memiliki kecakapan menata hidup komunitas. Walian, sebagai pemimpin ritual atau yang berurusan dengan keagamaan, juga dipilih dari orang-orang yang memiliki pengetahuan metafisis karena dialah yang berperan sebagai mediator antara manusia dengan Opo Empung, makhluk adikodratinya orang Minahasa.
Dengan adanya para tonaas dan walian tersebut, Fredy Wowor, teman kita selalu berkata, bahwa peradaban Minahasa dulu dipimpin oleh para filsuf. Artinya, peradaban ini tidak semata-mata hanya dibangun dari naluri untuk berkembang saja, tapi dari proses penalaran rasio yang seimbang dengan refleksi dari intuisi untuk selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban atas tantangan hidup. Hasil dari proses itu adalah sistem nilai pengetahuan. Sampai di satu masa, entah kapan itu, sistem Mapalus ditemukan. Dalam mapalus ini, dalam sistem kerja bersamanya yang memadukan kekuatan bersama untuk tujuan bersama, kita menemukan nilai pengetahuan, nilai kebenaran tentang hidup yang sesungguhnya. ”Kebenaran” mapalus ada dalam konsepsi mengenai keterpaduan kekuatan alam dengan kekuatan kolektif manusia. Maka, mapalus, misalnya selain megnenai sistem kerja, dia adalah juga sistem nilai filosofi Tou Minahasa. Itulah antara lain sistem filsafat Minahasa.
Di dalam sistem Mapalus ini kita menemukan kecerdasan pada tou ngaasan Minahasa menggali makna sedalam-dalamnya tentang hakekat hidup. Belakangan, kita mengenal pemikiran filosofi, yang konon dikembangkan oleh Om Sam Ratulangi, yaitu, ”Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia hidup untuk menghidupan (sesama) manusia. Atau versi Girot Wuntu, disebut: ”Si Tou Timou, Tumo’u To’u, yang berarti, ”Orang hidup harus belajar sampai tahu”. Ventje Sumual bahkan menelorkan konsep filosofi, ”baku beking pande”. Lepas dari perbedaan arti tersebut, tapi prinsip-prinsip ini sebenarnya mengungkapkan usaha pencarian kebenaran oleh tou Minahasa yang bermakna kehidupan. Jika filsafat Barat seolah-seolah melampaui yang fisik atau metafisis, filsafat Minahasa justru sebaliknya, rumusan filosofinya kongkrit dan fungsional. Filsafat Minahasa bertumpuh pada kesadaran kolektif, hidup bersama dalam kesetaraan.

***

Kerja kita selanjutnya adalah menyusun metode, dan denganya berlanjut dengan perumusan-perumusan yang diawali dengan kerja penggalian dan selanjutnya adalah pengembangan serta dokumentasi. Di mana nilai-nilai filosofi Minahasa terkandung? Jelas, dia adalah mutiara-mutiara pengetahuan dan kehidupan yang tersemai dalam sistem nilai budaya Minahasa. Dan nilai-nilai itu selalu hidup, karena dia fungsional.
Akhirnya, catatan ini hanya pengantar atau mungkin lebih tepat sebagai rangsangan untuk kita merumuskan bagaimana dan apa ”ber-filsafat” Minahasa itu.


Tomohon,
9/8/2010

0 komentar: