HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Minggu, 28 Februari 2010

Gereja Berhadapan dengan Kekuatan Global Amerika

Oleh: Denni Pinontoan

1. Amerika Sebagai Imperium Global
Amerika, Pasca Perang Dunia II tiba-tiba menjadi penguasa dunia. Muto Ichiyō penulis Jepang dan juga profesor sosiologi menegaskan pendapatnya bahwa pasca Perang Dunia ke-II Amerika telah tampil sebagai penguasa dunia yang menghegemoni bangsa-bangsa di dunia, baik di bidang politik, militer maupun ekonomi (Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, p. 348.) Era ini, oleh J. Milburn Thompson menyebutnya sebagainya fase ketiga sejarah kolonialialisme dunia. Di era inilah Amerika Serika tampil sebagai kekuatan Neo-Kolonial abad ke-20 (Thompson: 2009, 23). Imprealisme dan kolonialisme dalam sejarah dunia pra imperium global Amerika, menurut Ichiyo dicirikan oleh tiga hal, yaitu: (1) Kekuatan yang dipakai untuk menundukkan kekuatan mayoritas populasi dunia di bawah mereka sebagai wilayah koloni, (2) Terjadi perang antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan konflik bersenjata, dan akhirnya perang besar seperti dalam kasus kedua Perang Dunia, dan (3) dari perjuangan ini, salah satu dari mereka akan selalu muncul sebagai kekuatan hegemonik meletakkan aturan bagi semua orang (Ichiyo dalam Reformed World: 2006, 348).
Imperialisme dalam pengertian ini berakhir dengan munculnya Amerika Serikat yang memegang posisi hegemonik menjelang akhir Perang Dunia II. Tapi ciri imprealisme Amerika berbeda dengan imprealisme Inggris. Amerika agaknya tidak tertarik untuk perluasan wilayah teritorial, seperti yang dilakukan oleh beberapa negara penjajah Eropa sebelumnya, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Amerika berusaha untuk mengintegrasikan seluruh dunia di bawah satu kekuasaan dan kontrol, melalui kekuatan militer, ideologi dan pasar bebas (Ichiyo dalam Reformed World: 2006, 349).
Hal ini menurut Ichiyō dikarenakan oleh: (1) Keanehan pemahaman orang Amerika, bahwa negara hanya didefinisikan oleh batas-batas yang pernah maju (bukan batas-batasnya dengan pasti batas-batas nasional yang telah disepakati dengan negara-negara tetangga); (2) modus produksi Amerika (produksi massal) yang menghasilkan dalam jumlah sangat besar kebutuhan barang-barang konsumsi massa oleh banyak orang di luar pasar nasional; (3) Muncul gerakan di negara-negara koloni untuk melawan imperialisme teritorial, yang membuat penguasaan wilayah tidak dapat dipertahankan, dan (4) ideologi orang Amerika, bahwa Amerika mempunyai misi untuk menyebar ke seluruh dunia melalui nilai-nilai pasar bebas dan kebebasan yang dianggap sebagai nilai universal (Reformed World: 2006, 349).
Mengangkat kasus penaklukan Amerika terhadap Pilipina, Thompson mengatakan, “Orang-orang Amerika menganggap dirinya sebagai penjajah yang baik, yang mencoba mencetak profil Pilipina sesuai citra Amerika melalui pendidikan dan ekonomi pasar” (Thompson: 2009, 25). Memang, seperti kata Thompson yang juga sejalan dengan pemahaman Ichiyō bahwa ciri imprealisme Amerika berbeda dengan ciri imprealisme bangsa-bangsa Eropa, yang tidak tertarik dengan penaklukan wilayah. “Karena Amerika membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan kolonial, orang selalu menganggap bahwa Amerika bersimpati dengan sentimen anti-kolonial, dan solider dengan mereka yang berusaha melepaskan belenggu kolonial masa lalu” (Thompson: 2009, 24).

2. Amerika dan Usaha Menghegemoni Dunia
Amerika pernah tampil bersama Uni Soviet sebagai adikuasa dunia. Tapi begitu Rusia runtuh di sekitaran tahun 1990-an akibat krisis ekonomi dan menguatnya gerakan-gerakan pemisahan dari beberapa negara bagian, maka tampilah Amerika sebagai satu-satunya kekuatan global. Amerika, kemudian menjadi negara adidaya dunia. Oleh karena besarya kekuatan Amerika di level global, Ninan Koshy, spesialis dalam urusan internasional dan mantan Direktur Hubungan Internasional, Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Jenewa, menyebut imperium Amerika ini sebagai “The New Rome”, “Roma Baru”. Menurut Koshy, hal itu tampak di wajah Amerika hari ini, pendudukan militer, pergantian rezim, dan kontrol langsung terhadap sumber daya ekonomi” (Koshy dalam Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, p. 339). Sehingga, bentuk kerajaan baru tidak bisa lagi disebut non-teritorial.
Pembangunan kekuatan imperium global Amerika setidaknya melalui kekuatan militer, ekonomi neoliberalisme dan doktrin demokratisasi dan kebebasan. Kekuatan militer Amerika tampak dari intervensi-intervensi militer Amerika di negara-negara konflik seperti Afghanistan, Palestina, Irak, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu adalah doktrin demokratisasi yang menjadi pembenar bagi penyerangan atau intervensi-intervensi militer itu (Artikel Koshy banyak mengulas tentang kekuatan militer AS tersebut. Dia bahkan mengutip pendapat dari beberapa pejabat sipil maupun militer AS. Reformed World...p. 343.).
Di bidang ekonomi melalui beberapa lembaga keuangan dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Perusahaan-perusahaan Multinasional (Multi-national Corporation/MNC) atau dalam bahasa lain disebut Perusahaan-perusahaan Transnasional (TNCs/Trans-National Corporations) Amerika melancarkan usaha menghegemoni sistem ekonomi dunia. Amerika juga menggunakan Organisasi Perdagangan Global (World Trade Organization/WTO) untuk mendukung sistem ekonomi neoliberalismenya (Mansour Fakih, “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Dapat?”, pengantar dalam Wacana, Edisi 5 tahun II, 2000, (Yogyakarta: Insist Press, 2000), hlm. 3-16.).
Globalisasi atau penyebarluasan ideologi serta kekuatan militer dan ekonomi negara-negara kapitalis yang maju seperti Amerika telah memunculkan dampak semakin lebarnya jurang kemiskinan antara negara-negara Dunia Pertama, Dunia Kedua dengan Ketiga. (catatan: Istilah “Dunia Ketiga” pertama kali diperkenalkan oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy pada tahun 1952 untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin (sumber: wikipedia.org). Thompson mengatakan istilah “Dunia Ketiga” untuk menunjuk ke negara-negara miskin di Asia dan Afrika sudah usang (Thompson, op.cit., hlm. 56).
Perbedaan-perbedaan antara ketiganya terletak pada masalah ekonomi, yaitu kekayaan versus kemiskinan. Dunia Pertama menunjuk pada negara-negara maju yang menganut sistem kapitalisme di Eropa dan Amerika. Sementara Dunia Kedua menunjuk pada negara-negara komunis, seperti Rusia. Tapi, Dunia Kedua ini agaknya tak ada lagi semenjak tumbangnya kekuatan komunis Rusia. Sementara Dunia Ketiga adalah negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika yang dominan dengan realitas kemiskinan. Thompson mengingatkan bahwa, perbedaan-perbedaan ini hanyalah pada persoalan ekonomi, bukan pada pembangunan kebudayaan atau manusia (Thompson: 2009, 53).
Amerika dengan neoliberalismenya kemudian menjadi sasaran tuduhan sebagai penyebab kesenjangan tersebut. Tentang kaitan langsung antara Amerika dengan pemiskinan dunia, Khosy mengatakan: “The implication is clear. There is an integral relationship between Americanstyle free market economics and American security in the world. Globalization and imperial security go together” (Khosy…,p. 344). Globalisasi pada banyak hal telah menyebabkan konsekuensi negatif bagi ekonomi dunia. Kapitalisme cenderung memusatkan kekayaan dan memperlebar jurang antara kaya dan yang miskin. Globalisasilah yang telah menjadi perangkat penyebarluasan ideologi dan kekuatan ekonomi Amerika dan beberapa negara kapitalis Barat.

3. Respon Gereja-gereja
Gereja-gereja sedunia, lebih khusus gereja-gereja Calvinis yang tergabung dalam World Alliance of Reformed Churches (WARC), sejak beberapa tahun terakhir ini menggumuli dan bereaksi terhadap fenomena kekuatan global yang telah menyebabkan penderitaan manusia. Pada persidangan ke-24 di Accra, Ghana tahun 2004, WARC mendeklarasikan apa yang mereka sebut dengan Accra Confession, yang memberi respon dengan suara lantang terhadap ancaman ekonomi neo-liberal, yang telah menyebabkan tidak seimbangannya antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin (Reformed World, Volume 59, No 1, January 2009, (Geneva: WARC, 2009), p. 1.)
Accra Confession (diringkas dari http://www.warc.ch/documents/ACCRA_Pamphlet.pdf) ini berlatar belakang pertemuan beberapa gereja di Afrika Selatan di Kitwe pada tahun 1995, dan menyadari meningkatnya urgensi ketidakadilan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Sejak itu, sembilan gereja anggota WARC berkomitmen pada pendirian iman; beberapa dalam proses perjanjian; dan yang lain telah melakukan studi dan mengakui betapa dalamnya krisis itu. Selanjutnya, dalam kemitraan dengan DGD, LWF dan organisasi-organisasi ekumenis regional, WARC terlibat dalam konsultasi-konsultasi di semua wilayah dunia, dari Seoul/Bangkok (1999) ke Stony Point (2004). Konsultasi tambahan berlangsung dengan gereja-gereja dari Selatan di Buenos Aires (2003) dan dengan gereja-gereja dari Selatan dan Utara di London Colney (2004).
Ketika berkumpul di Accra, Ghana, untuk bersidang raya WARC, para peserta telah mengunjungi sel-sel tahanan bawah tanah para budak di Elmina dan Cape Coast, di mana jutaan orang Afrika di perdagangkan, dijual dan dijadikan korban kekejaman penindasan dan kematian. Kenyataan ini melahirkan kesadaran untuk mengambil keputusan iman bersama.
Berdasar pada kesaksian Alkitab bahwa ciptaan terus merintih, dalam perbudakan, menantikan pembebasan (Rm 8.22) para anggota WARC merasa ditantang oleh ratap tangis orang-orang yang menderita dan oleh keterlukaan ciptaan sendiri.
Disimpulkan bahwa kebijakan pertumbuhan tanpa batas di kalangan negara-negara industri dan dorongan cari untung perusahaan-perusahaan transnasional telah menghancurkan bumi dan merusak lingkungan. Pada tahun 1989 satu species hilang setiap hari, dan di tahun 2000 satu hilang setiap jam. Perubahan iklim, mengurangnya persediaan ikan, penggundulan hutan, erosi humus, dan ancaman pada air tawar antara lain adalah akibat dari penghancuran bumi itu. Komunitas jadi kacau, mata pencaharian hilang, wilayah-wilayah pantai dan pulau-pulau Pasifik terancam tergenang, dan badai meningkat. Tingkat yang tinggi radio aktif mengancam kesehatan dan ekologi. Bentuk-bentuk kehidupan dan pengetahuan budaya dipatenkan untuk keuntungan finansil. Krisis ini disimpulkan terhubung langsung dengan pengembangan globalisasi ekonomi neoliberal, yang didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
• kompetisi yang tak terbatas, konsumerisme dan pertumbuhan ekonomi tanpa batas serta akumulasi kekayaan adalah yang terbaik bagi seluruh dunia; pemilikan kekayaan pribadi tidak punya kewajiban sosial;
• spekulasi modal, liberalisasi dan deregulasi pasar, privatisasi sarana publik dan sumber-sumber nasional, akses tanpa batas investasi dan impor asing, pajak yang rendah dan pergerakan modal tanpa batas akan mewujudkan kekayaan bagi semua;
• kewajiban sosial, perlindungan orang miskin dan yang lemah, koperasi, dan hubungan antara manusia kurang pentingnya dibandingkan proses pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal.
Berdasarkan realitas global tersebut maka dirumuskanlah pengakuan iman berhadapan dengan Ketidakadilan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Di dalam pengakuan tersebut diungkapkan mengenai kesadaran pada ancaman dan bahaya ekononi neo-liberal yang mengancam kelanjutan hidup manusia dan alam. Berikut juga ditegaskan bahwa, bereaksi terhadap hegemoni dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi masyarakat adalah tanggung jawab iman setiap orang Kristen yang percaya kepada Injil Yesus Kristus yang membebaskan.

4. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka disimpulan beberapa hal:
1. Amerika telah berhasil tampil sebagai imperium global yang melakukan kontrol dan penguasaan dunia melalui militer, sistem ekonomi dan pewacanaan doktrin demokratisasi.
2. Dampak dari imprealisme Amerika tersebut adalah munculnya kesenjangan ekonomi di antara negara-negara maju yang kaya dengan negara-negara miskin.
3. Gereja (dalam hal ini yang tergabung dalam WARC), dalam pengakuan imannya menyatakan bahwa sistem ekonomi neoliberal telah menyebabkan kemiskinan bagi umat manusia dan kerusakan lingkungan hidup. Maka, memberi respon dan reaksi terhadap ancaman dan bahaya tersebut adalah tanggungjawab iman yang tidak boleh diabaikan sebagai ekspresi kepercayaan kepada Injil Yesus Kristus.


Kepustakaan:
Reformed World, Volume 54, No 4, December, 2006, (Geneva: WARC, 2006)
Thompson, J. Milburn., Keadilan dan Perdamaian: Tanggungjawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, terj. Jalilin Sirait, P. Hutapea dan Steve Gaspersz. Jakarta: BPK, 2009.
Jurnal Wacana, Edisi 5 tahun II, 2000. Yogyakarta: Insist Press, 2000.

Internet:
http://www.warc.ch/documents/ACCRA_Pamphlet.pdf

0 komentar: