HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Sabtu, 05 Juni 2010

Melawan dengan Kearifan Lokal (sebuah rangsangan diskusi)

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi budaya “Membongkar Sentralisme dan Imprealisme Kebudayaan” di hotel Tou Dano Jumat, 7 Mei 2010 dalam rangka Peluncuran Majalah Waleta Minahasa

Oleh Denni Pinontoan


Prolog
Tatanan masyarakat dunia yang saling terintegrasi sementara berlangsung. Kemajuan ilmu pengetahuan dengan penemuan perangkat teknologi menghasilkan sistem komunikasi dan transportasi yang semakin cepat dan akurat. Masyarakat dunia yang saling berbeda ruang kini seolah hanya dibatasi sekat tipis. Internet membuat masyarakat dunia yang saling terpisah ruang terhubung dalam kata-kata, suara, dan gambar. Inilah dunia kita sekarang. Dunia yang oleh sebagian orang menganggapnya sementara menawarkan masa depan yang cerah, tapi dianggap ancaman yang mencemaskan oleh sepihak lain.

Imperialisme yang Menggoda

Mencemaskan! Kita berucap demikian. Ketika globalisasi, sebuah proses pengintegrasian masyarakat dunia dengan kata-kata, suara dan gambar, atau dengan sistem ekonomi global, yang oleh George Ritzer menyebutnya sebagai sebuah kehampaan, memaksa masyarakat yang paling sudutpun untuk ikut masuk ke dalamnya. Sebuah masyarakat yang bertahan hidup dengan nilai-nilai lokal “terancam”, ketika perangkat hidupnya perlahan mulai dipaksa diganti dengan perangkat-perangkat import produksi dunia modern. Kecanggihan modern dilawankan dengan kekolotan tradisional.
Kalau dulu, ketika imperialisme dan kolonialisme hadir dengan ekspansi militer yang menundukkan tubuh dan mengkapling tanah yang dilakukan adalah melawan dengan senjata. Namun, tidak begitu dengan sekarang. Penundukkan tubuh dan pikiran terkadang sulit diindentifikasi ketika ekspansi kebudayaan hadir dalam rupa-rupa wajah yang menggoda. Mesin-mesin hasrat, seperti mall, restoran cepat saji, perangkat komunikasi, semisal handphone yang murah tapi lengkap, dan juga iming-iming kebebasan, pluralisme, demokrasi dan kesetaraan tanpa disadari membawa juga agenda tersembunyinya, yaitu sentralisme gaya hidup, cara pikir dan tindak. Inilah imperialisme dan kolonialisme dalam wajahnya yang menggoda. Semua itu memang menggoda. Kampanye melalaui iklan di media cetak dan elektronik mampu membawa kita ke dunia imajinasi yang tanpa batas. Kepuasan cita rasa hidup seolah hanya bisa dijawab dengan terpenuhinya kebutuhan material. Kita butuh kecerdasan dan spirit serta tentu sistem nilai yang tangguh dalam menghadapinya.
Masyarakat kita pun terobsesi dengan segala tawaran yang memang menggoda itu. Kerja keras bukan lagi sekadar untuk makan, berpakaian atau untuk tempat tinggal, melainkan lebih daripada itu. Tujuan lain yang dominan adalah terpuasnya hasrat pribadi untuk kenikmatan kuantitas yang sering hanya sesaat. Kini, kebanyakan masyarakat kita fokus pada perebutan kekuasaan dan pamer diri untuk popuralitas. Hubungan sosial terjadi secara ekonomis berdasarkan untung rugi. Hedonisme, materalisme dan individualisme menggejala. Hubungan kekerabatanpun menjadi terancam. Aktivitas bersosial, berpolitik, berekonomi sampai beragama: berkebudayaan menjadi tidak khas lokus, tidak memberi makna yang lebih bagi konteks lokal. Kita seolah sedang sedang tergantung pada sesuatu yang hanya hadir dalam gambar, kata, suara atau materi yang sebenarnya asing. Itulah imperialisme kebudayaan. Kita sedang terjajah oleh iming-iming wacana yang diproduksi oleh para pengendali ekonomi dan politik global. Minahasa agaknya sedang mengalami itu.

“Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.” (wikipedia.org).

Menggali Kearifan Lokal Minahasa, Membangun Kekuatan
Ada sebuah ungkapan yang ditinggalkan oleh para leluhur kita. “Si tete timete witu tinetean ni tete ni tete", begitu bunyi ungkapan itu. “Para leluhur telah mengikuti jalan dari leluhurnya,” setidaknya secara harafiahnya demikian kita bisa mengartikannya. Sebuah ungkapan yang memberi makna betapa pentingnya kita, Tou Minahasa sekarang untuk belajar dari cara hidup para leluhur. Inilah proses berbudaya yang aktif. Menggali dan menginterpretasi warisan nilai masa lalu dalam menghadapi tantangan kehidupan kekinian demi melanjutkan kehidupan sampai di masa depan.
Tapi, tak mudah memang untuk menggali warisan nilai masa lalu itu, ketika perubahan dan pembauran telah menjadi sesuatu yang nyata dalam peradaban Minahasa sampai hari ini. Peradaban ini telah melewati berbagai masa. Para kolonial, bukan saja telah menundukkan tanah ini dalam pengertian fisiknya, namun juga cara pikir, dan mungkin sampai gaya hidup, dan sudah tentu cara bertindak tou Minahasa. Perjumpaan itu memang tidak terjadi secara imbang. Meski memang, dari proses perjumpaan itu beberapa nilai positif telah memberi sumbangan bagi tanah ini.
Bersamaan dengan masa kolonial itu, agama Kristen, terutama Kristen Protestan dari Barat dengan teologinya yang bercorak piestis datang memperkenalkan sistem nilai keagamaan dan kebudayaan yang baru. Penghakimanpun terjadi. Tou Minahasa yang hidup dengan nilai-nilai keminahasaannya dicap kafir, terkebelakang, bodoh, kolot dan tidak beradab. Konversi nilai-nilai budaya terjadi secara paksa. Monisme moral bangsa Barat dan juga kekristenan telah menyebabkan kebudayaan ini terdegradasi.
Di masa kemerdekaan pergeseran nilai-nilai budayapun berlanjut. Penyeragaman semua hal memaksa Tou Minahasa untuk menjadi “Indonesia”, dan hampir menanggalkan keminahasaannya. Istilah-istilah seperti “primodialisme” dan “separatisme” menjadi momok di masa orde baru ketika ekspresi kebudayaan lokal melebihi apa yang dimau oleh para pemegang kekuasaan. Hampir tiada ruang untuk menjadi “tou Minahasa”, menjadi manusia yang berbudaya Minahasa yang berpikir dan bertindak dari nilai-nilai lokal. Bersamaan dengan itu politik sentralistis dan sistem ekonomi yang kapitalistis menggeser corak hidup tou Minahasa khas lokal yang komunal dan sosialis.
Tapi kita belum terlambat. Menggali nilai-nilai pra modern, nilai-nilai tradisional bahkan menjadi sesuatu yang mendesak ketika logika modern yang tanpa rasa itu telah melahirkan sejumlah dampak yang menyeramkan. Nilai-nilai warisan leluhur itulah yang oleh para arifin menyebutnya kearifan lokal (local wisdom). Minahasa memiliki segudang nilai kebajikan yang masih dapat ditelusuri dari berbagai simbol dan ingatan yang tersebar secara lisan maupun tulisan.
Dalam pengertian umumnya, kearifan lokal sering diartikan sebagai, “gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya,” (Sartini, 2004). Istilah lain untuk kearifan lokal ini disebut juga “local genius”. Haryati Soebadio, seperti dikutip Sartini, mendefinisikan “local ‘genius sebagai cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Kecerdasan leluhur kitalah yang membuat nilai-nilai baru dari luar bisa diinterpreasi dan dikembangkan bersama nilai-nilai setempat. Memang, nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur tidak melulu dari kebudayaan setempat, tapi juga bisa dari hasil sebuah proses dialog dengan nilai-nilai dari luar. Dan itulah kecerdasan mereka.
Kearifan lokal dihasilkan dari sebuah perenungan manusia. Ketika dia hadir bersama komunitas, bersama alam dan interaksi dengan dunia luar, maka nalar dan rasapun mengolah segala yang dia tangkap untuk menjadi sistem nilai. Sistem nilai itulah yang kemudian diterjemahkan dalam wujud material: teknologi, perilaku, kerja, karya seni, dan lain-lain. Semuanya itu adalah untuk merespon dan menghadapi tantangan-tantangan hidup. Itulah proses berkebudayaan manusia. Para leluhur kita juga melakukan itu. Dan kita kini, diwajibkan untuk melanjutkan itu dalam suasana dan waktu yang berbeda tentu. Penggalian, interpretasi, dan revitalisasi terhadap warisan nilai-nilai itu adalah penting untuk menghadapi serbuan nilai kebudayaan lain yang tidak semua benar dalam konteks Minahasa.
Dalam konteks Minahasa, kita bisa melacak dan menemukan nilai-nilai kebajikan itu melalui mitos (legenda atau cerita-cerita rakyat), simbol-simbol yang ditinggalkan, karya seni, ungkapan-ungkapan dan praktek hidup, baik yang masih hidup maupun yang pernah ada. Banyak sekali sumbernya. Sebuah ziarah kultural, sebagai upaya menjejaki ulang kebesaran peradaban ini perlu dilakukan. Sebab dari ziarah kultural itu kita bisa menemukan banyak sistem nilai atau kearifan para leluhur yang, baik langsung maupun tidak langsung telah memberi pengaruh bagi perkembangan peradaban Minahasa.
Kita perlu melakukan interpretasi terhadap praktek bertani para petani di Minahasa, seperti ketika mereka menanam padi atau jagung yang harus memperhatikan benda-benda langit seperti bulan atau bintang. Ada istilah “bulan bagus” dan “bulan jaha” pada petani kita ketika mereka hendak menebang pohon, menyemai bibit tanaman atau ketika melaksanakan panen. Jangan terburu-buru mengatakan itu tahyul, sebab ilmu pengetahuan modern telah menerangkan kepada kita bahwa ada hubungan langsung antara gravitasi atau gaya tarik menarik benda-benda angkasa, seperti antara bumi, bulan dan matahari dengan keadaaan alam ini. Begitulah sehingga negeri Kiowa (Wanua Kiawa Kec. Kawangkoan), dalam pengetahuan-pengetahuan peninggalan para leluhur mempunyai istilah-istilah untuk benda-benda angkasa seperti bintang. Misalnya mereka menyebut “Wiru’re-Indang” (Bintang Merah), untuk menunjuk cahaya bintang yang muncul di sebelah Timur, yang diartikan di sebelah itu orang-orang tidak boleh bepergian karena di arah itu akan timbul penyakit atau bencana. Kemudian ada juga istilah “Wiru’ Sera’” (Bintang Ikan) untuk bintang yang dapat menunjukkan kepada nelayan dimana lokasi ikan bermukim di laut atau di danau (J.A. Worotitjan, 1999). Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa para leluhur kita telah mengenal ilmu perbintangan, dan pengetahuan itu telah mereka pakai untuk memahami makna dirinya dalam alam semesta ini. Alam adalah tempat pijakan kehidupan yang dengan demikian maka hubungan organik harus dibangun agar alam senantiasa dapat menopang kehidupan manusia.
Kita masih bisa mendengar atau membaca dalam beberapa literatur sejarah mengenai sistem sosial dan politik masyarakat Minahasa tradisional. Seperti halnya sistem pemilihan ukung atau kepala wanua yang dilakukan secara demokratis. Dan itu sudah dilakukan di Minahasa jauh sebelum revolusi Perancis yang kemudian menghadirkan sistem demokrasi modern itu. Bahkan, itu tak ada hubungan sama sekali dengan demokrasi yang dikembangkan di Yunani. Apalagi dengan sistem pemilihan langsung Presiden, Gubernur, walikota/bupati yang baru di Indonesia.
Begitupulan dengan peran Tonaas dan Walian yang berperan di bidang pemerintahan dan kegamaan. Ini bukti bahwa institusi sosial, politik dan keagamaan sudah cukup tua. Sebuah tanda bahwa para leluhur kita adalah cerdas dalam mengatur, menata kehidupan komunitasnya. Kita perlu belajar dari sistem demokrasi khas Minahasa yang tidak mengutamakan uang dan kekuasaan tetapi menekankan kualitas intelektual, moral dan spiritual.
Kita juga memiliki ungkapan-ungkapan yang bernilai kehidupan. Misalnya, ungkapan “Wahu nae, wahu un keroan”, yang secara harafiah berarti “kaki basah, kerongkongan juga basah”. Artinya, orang dapat makan bila ia bekerja. Ungkapan lain berkata, “Sau lutu tamburi mata”, yang secara harafiah berarti “menghadap bila sudah masak, membelakangi bila masih mentah”. Ungkapan ini sering dipakai sebagai sindiran kepada orang-orang yang hanya suka makan tetapi tidak mau bekerja (K.A. Kapahang-Kaunang, 1997). Ungkapan-ungkapan semacam ini semakin relevan ketika konsumerisme dan hedonisme semakin menggejala akibat penetrasi kapitalisme yang membuat banyak orang semakin konsumeris dan seolah tak lagi menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Tou Minahasa juga makhluk religius. Nicolaus Graafland ketika datang ke Minahasa, sebelumnya dominan dengan asumsi-asumsi negatif terhadap Tou Minahasa. Namun, setelah melihat dari dekat kehidupan di Minahasa, dia kemudian jujur mengakui bahwa Tou Minahasa adalah manusia-manusia yang religius. Sebab, dari apa yang dia lihat ternyata tou Minahasa di masa dulu itu, sejak lahir, menikah, dalam kerja, sampai mati dipenuhi dengan ritual-ritual (poso) yang memusatkan penyembahannya kepada Opo Empung. Hal ini tentu sebuah catatan sejarah yang memberi pengesahan kepada kita generasi sekarang bahwa, dalam hal agama Minahasa dengan bangsa lain tidak berbeda dalam soal tingkat religiusitasnya. Perbedaan terutama hanya cara atau bentuk pengungkapan ekspresi. Demikian, Tou Minahasa adalah juga manusia beradab, seperti manusia-manusia di peradaban lain. Masih kita perlu eksplorasi lagi nilai-nilai religius asli Minahasa untuk memperkaya nilai keagamaan modern. Fakta bahwa model beragama yang fundamentalis dan konservatif yang semakin menggejala dalam kehidupan beragama dewasa ini telah memunculkan dampak kehancuran tata kehidupan bersama. Selain itu, hal ini terutama menegaskan mengenai nilai religiusitas Tou Minahasa yang mestinya memberi pengaruh positif dalam praktek politik, ekonomi dan aksi hidup apa saja.
Legenda Lumimuut-Toar, lepas dari keragaman versinya, legenda ini secara baik menceritakan peran perempuan dalam meletakkan dasar peradaban Minahasa. Diskriminasi terhadap perempuan, baik secara fisik maupun verbal semakin menggejala dalam ruang publik kita. Cerita ini senantiasa mengingatkan Tou Minahasa tentang kedudukan dan kewibawaan perempuan. Ada nilai kesetaraan yang dikandung dalam legenda itu. Menariknya, legenda ini telah lama hadir dalam kesadaran dan ingatan Tou Minahasa jauh sebelum semangat egaliter didengungkan oleh pemikiran-pemikiran modern.
Beberapa nilai budaya warisan leluhur di atas, hanyalah sebagian kecil dari yang kita punya. Makanya, perlu ada usaha terus menerus untuk menggalinya. Selain itu, kita bisa tambah dengan beberapa yang sudah umum, seperti ungkapan” “Si Tou Timou Tumou Tou”, “I Yayat U Santi”, atau juga kerja bersama dalam spirit kebersamaan, “mapalus”.
Masih banyak lagi sistem nilai dan praktek budaya Minahasa yang perlu kita gali, interpretasi dan revitalisasi untuk dimaknai dalam konteks modern ini. Hal ini penting. Sebab, ketika pemikiran modern mendominasi cara pikir dan tindak kita, rasionalisme, sekularisme dan menyusul beberapa ideologi modern seperti kapitalisme, komunisme, ateisme yang dominan mengandalkan logika, rasio dan cenderung mengabaikan intuisi atau perasaan, maka manusia dan kehidupannya terpisah dengan alam, dan juga renggangnya hubungan-hubungan antar individu dalam komunitas. Satuan individu-individu dalam masa ini dominan terikat oleh perhitungan untung rugi yang sifatnya ekonomis dan politis, makanya dia disebut “masyarakat”, bukan lagi “komunitas”. Kita perlu kembali menghayati nilai-nilai yang penuh kebajikan itu untuk mendasari praktek hidup dalam dunia yang penuh hiruk pikuk dan dinamis ini. Ini bukan romantisme terhadap masa lalu, melainkan sebuah penggalian ulang sistem nilai ketika persoalan kekinian kita ternyata tak bisa lagi dijawab hanya dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran modern yang tersentral dan tidak khas konteks kita.
Tou Minahasa punya modal, untuk bukan hanya saja bisa bertahan berhadapan dengan imperialisme kebudayaan global, melainkan memiliki kekuatan untuk maju. Kearifan lokal Minahasa yang banyak dan masih perlu digali, adalah kekayaan peradaban ini untuk dimaknai dalam konteks sekarang. Nilai-nilai budaya Minahasa yang sebenarnya memiliki kekuatan luar biasa untuk melawan hegemoni kebudayaan global, dan juga terutama untuk membangun kekuatan intelektual, moral dan spiritual. Dari segudang kearifan lokal itu, masyarakat bisa bertransformasi untuk menjadi otonom, karena berpengetahuan, bermoral dan berspiritual. Dari kearifan lokal ini Tou Minahasa bisa merancang aksi, membangun gerakan, menghasilkan karya, memajukan sistem ekonomi yang hunamis, mempraktekkan politik yang demokratis yang manusiawi demi hidup yang lestari. Juga dengan sistem nilai tersebut, Tou Minahasa benar-benar kembali menjadi manusia yang beridentitas Minahasa dalam memajukan tanah ini, dan dalam pergaulan dengan masyarakat global.

Epilog
Perubahan adalah sesuatu yang hakiki dalam proses kehidupan ini. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi, perubahan yang didorong oleh nilai-nilai kebudayaan sendiri, atau dialektika seimbang dengan nilai-nilai dari luar bukan saja benar dan baik, tapi kuat serta terarah. Sebab, ke mana kita pergi, apa capaiannya dan apa yang harus kita lakukan tentu yang lebih tahu adalah kita, Tou Minahasa yang memiliki peradaban. Kita bukan baru akan berproses. Kita sedang berproses, dan di tengah jalan penetrasi kebudayaan asing yang hadir menggoda telah memperlambat proses atau memaksa kita menyimpang dari jalan yang sedang dilalui. Maka, kita perlu berteriak “I Yayat U Santi”!!! “Angkatlah pedangmu, dan acungkanlah ke arah musuh”. Musuh kita tak selamanya berbentuk fisik atau material. Wacana yang samar produksi para imperialis sedang mengancam kita. Mari kita lawan itu dengan kearifan lokal, nilai-nilai luhur dari peradaban ini.


Bukit Inspirasi Tomohon,
6 Mei 2010

0 komentar: