Oleh: Denni Pinontoan
Beragama dalam lembaga agama akhirnya menjadi pilihan hidup kebanyakan manusia di planet bumi ini. Beragama adalah kegiatan untuk mengikatkan diri dengan kepercayaan yang penuh kepada yang trasendental. Beragama awalnya adalah kegiatan yang mempribadi sebagai sebuah sistem kepercayaan kepada Sang Khalik. Tapi karena ada kepentingan untuk melanggengkan pesan, tradisi dan doktrin dari pendiri atau yang memberi inspirasi lahirnya agama itu maka kemudian agama akhirnya melembaga. Agama sebagai lembaga (yang di dalamnya ada struktur, hirarkis dan juga kekuaasaan) kemudian menjadi urusan publik karena itu ia adalah salah satu intitusi sosial.
Agama pada akhirnya bersoal dengan urusan privat dan publik. Dalam ketegangan itu agama kadang tak lagi mendamaikan tetapi justru menjadi pemicu permusuhan dan konflik. Kepentingan lembaga agama yang harus banyak anggotanya, sistemnya harus ketat, doktrin dan tradisi yang harus dipertahankan, dan cenderung menjadi superior, kadang harus saling berbenturan. Pemusuhan dan konflik tak jarang berawal dari kegiatan beragama sebagai lembaga.
Proses sejarah memang telah merubah bentuk agama dan kegiatan beragama manusia. Dari agama sebagai sistem kepercayaan yang mempribadi (privat) kemudian berubah ke agama sebagai lembaga (public) atau kedua-duanya. Kadang orang melihat itu sebagai kodrat sejarah agama, sebagai dialektika agama dan beragama. Sebenarnya harus seperti itu. Tapi kadang kejahatan zaman kadang mengalahkan cita-cita mulia agama. Kekalahan agama itu antara lain menunculkan konsekuensi komersialisasi agama atau beragama. Agama akhirnya menjadi bahan komoditi bisnis. Cuma 30 menit mengucap kata-kata yang diulas dari kitab suci bisa menghasilkan uang ratusan ribu rupiah bahkan jutaan rupiah. Agama akhirnya tidak ubah seperti lembaga profit yang memiliki sistem manajemen pemasaran yang profesional. Meski memang, untuk sekelompok orang agama masih menjadi lembaga spiritual untuk melepaskan segala kepenatan hidup dari segala macam tekanan ekonomi, sosial dan politik yang dirasakan dalam keseharian.
Potret agama atau kegiatan beragama orang masa kini adalah suram. Agama kini tidak lagi memiliki kekuatan dahsyat untuk mendamaikan, membebaskan dan memberdayakan manusia. Agama atau kegiatan beragama hanya justru menjadi kegiatan rutin, sekedar untuk menunjukkan diri bahwa kita manusia religius. Masa depan agama memang sedang ditantang oleh godaan kekuasaan dan materi. Kita memang melihat hampir setiap hari banyak manusia berbondong-bondong ke tempat-tempat ibadah. Di sana mereka berdoa, membaca kitab suci dan bahkan banyak yang sampai menangis menyebut nama Sang Khalik. Tapi, ini kemudian menjadi kontras dengan kenyataan sehari-hari. Pembunuhan, perbuatan mesum, korupsi, perang, dan bentuk kejatahan lainnya terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang beragama itu. Ternyata semua yang tampak itu hanya kuantitas beragama, bukan kualitas.
Agama dan beragama kemudian pantas dcurigai. Kecurigaan kita kepada agama sebagai lembaga adalah kepada sistem, struktur dan doktrinya yang kadang hanya mengkorupsi kebebasan manusia. Sistem kepercayaannya memang sudah final, bahwa dengan ide pembebasan dan pemerdekaan, agama sebenarnya baiknya adanya. Tapi ketika agama didominasi oleh kepentingan lembaga maka agama kemudian menjadi korup juga. Agama mengkorupsi kebebasan individu untuk berkreasi karena ia harus patuh, sepatuh-patuhnya pada doktrin dan tradisi yang banyak di antaranya tidak kontekstual. Umat memberi persembahan uang dengan kepasrahaan tanpa pernah ingin tahu uang miliknya dipakai untuk apa. Yang umat tahu bahwa uang itu, kata agama, untuk Tuhan.
Kecurigaan kita kepada beragama lebih kepada apa yang diperbuat oleh manusia setelah ia patuh pada kelembagaan agama. Apakah setelah seseorang menjadi anggota suatu lembaga agama lantas ia langsung menjadi menjadi agen pembebasan, pemerdekaan dan pembaharuan? Jarang! Kebanyakan adalah menjadi fanatik buta, militan, fundamentalis yang akhirnya tidak jarang menjadikan manusia menghalalkan kekerasan demi tegaknya doktrin dan kedaulatan lembaga agama.
Kalau sudah begini kecurigaan kita akhirnya menjadi beralasan. Bahwa agama dan beragama seperti sekarang ini, tidak lagi mendamaikan, membebaskan dan membaruhkan manusia. Semua ini terjadi karena agama kita sekaranh orientasinya lebih kepada urusan kekuasaan, komersil, dan popularitas. Saya mengusulkan bagaimana kalau kita mengembalikan agama itu pada semangatnya yang semula, sebagai urusan pribadi antara individu dengan yang trasendental. Tidak usahlah kita memutlakan kelembagaan agama (atau kalau perlu dihilangkan saja), karena lembaga agama hanya mengaburkan semangat agama dan beragama yang sebenarnya mulia. Yesus pun yang dipercayai oleh agama Kristen, di masa-Nya itu tidak mencita-citakan sebuah kerajaan Kristen yang mutlak. Justru yang Yesus lakukan adalah mengkritik habis-habisan cara orang Yahudi, terutama para elitnya yang memutlakan kelembagaan agama Yahudi. Kritik itu juga barangkali dialamatkan kepada kita kini dan di sini. Yesus telah melakukan perjuangan gerakan pembaharuan yang holitisk (meliputi social, politik, ekonomi dan budaya juga spiritual) dengan semangat spiritualitas yang membebaskan, memerdekakan dan memberdayakan.
Tomohon, Jumat 12 Januari 2007
Kamis, 02 Juli 2009
Mencurigai Lembaga Agama
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Kamis, Juli 02, 2009
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
tulisan ini sangat bagus, sayang kalau tidak dibaca oleh berbagai kalangan. Diusulkan untuk dimuat di koran nasional juga
maaf,, tapi saya tidak sependapat dgn anda.. kita tdk dapat meng'generalisasi setiap permasalahan.. nilai2 yang diajarkan dalam agama manapun tidak pernah salah dan tidak ada satu kekuatanpun yang dapat menyamai kekuatan dari agama.. jadi klo hanya karena perbuatan org yang lebih mengedepankan pribadi ketimbang nilai2 agamanya itu bukan berarti nilai2 agama itu jelek n tidak bisa dipertahankan lagi.. sekali lagi itu hanya oknum!! jangan itu dijadikan acuan tuk melakukan penilaian terhadap agama dan orang yang beragaman. thanks
Posting Komentar