Oleh Denni Pinontoan
Demokrasi sebagai Pengganti Monarkhi?
Praktek awal sistem demokrasi dalam usaha menata kehidupan bersama sebuah masyarakat terutama dalam kehidupan negara-kota telah dimulai di Yunani, kira-kira pada abad 6 SM. Kebanyakan kita sudah tahu bahwa kata demokrasi ini berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Dalam pengertian umum, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan aspirasi orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Dalam tampilannya yang modern, sistem pemerintahan demokrasi disebut-sebut sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut monarkhi. Demokrasi yang kita kenal sekarang, sejatinya adalah produk dunia modern. Reformasi Luther di abad 16, antara lain telah melahirkan semangat kritik, kemajuan dan subjektifitas. Semangat inilah yang kemudian melahirkan beragam pendekatan keilmuan, antara lain rasionalisme, empirisme dan positivisme. Berikut berbagai ideologi, seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan nasionalisme, adalah juga produk dari modernisasi dalam hal berpikir tersebut. Hasil dari modernisasi berpikir ini antara lain munculnya Revolusi Amerika 1775-1783, Revolusi Perancis pada tahun 1789 serta Revolusi Industri di Inggris.
Demokrasi yang dikampanye-kampanyekan dan digalak-galakan di Dunia Ketiga, seperti di Indonesia dewasa ini, pada dasanya adalah untuk melanjutkan idealisme pemikiran modern Eropa itu. Negara bangsa di Dunia Ketiga, pada proses kelahirannya kebanyakan terinspirasi dari ide-ide demokrasi yang berkembang sejak Revolusi Amerika, Perancis dan Industri Inggris tersebut. Oswaldo de Rivero dalam bukunya The Myth Of Development (2008), bahkan dengan tegas mengatakan, Revolusi Industri di Eropa dan Amerika itulah yang telah memberi sentuhan terakhir kepada bentuk Negara bangsa yang dikenal sekarang ini.
Gagasan-gagasan dasar demokrasi yang dihasilkan oleh pemikiran modern Barat itu berkisar pada kebebasan, keadilan, perdamaian, dan persamaan hak. Bandingkan dengan apa yang kemudian terkenal dari Revolusi Perancis itu: liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan). Yang mendahului revolusi-revolusi itu adalah sejumlah pemikiran kritis di kalangan filsuf, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Rosseau dan lain sebagainya. Tapi, apakah benar, idealisme demokrasi itu benar-benar nyata dalam prakteknya? Pertanyaan ini telah dijawab oleh Samratulangi di tahun 1949 dalam sebuah tulisannya. Katanya: “Sembojan ’kemerdekaan’, persamaan dan persaudaraan’ dari faham liberal achirnja ternjata dalam masjarakat liberal - kapitalis tak sanggup membukakan pintu ke sorga dunia untuk kemanusiaan. Kemerdekaan berarti atjapkali ’kemerdekaan untuk memerah’, persamaan berarti seringkali ketidakadilan terhadap dua kebesaran jang berbeda, djadi tak seharga, dan persamaan itu tak pernah berlaku dalam masjarakat kolonial, masjarakat djadjahan.” (dikutip dari http://www.geocities.com/landaratulangi/geloraintern/geloraintern.html, download Agustus 2008)
Demokrasi dan Proyek Hegemoni Negara
Pada banyak hal, pemikiran-pemikiran yang rasionalistik sejumlah pemikir Eropa ini juga telah ikut membidani lahirnya Revolusi Industri yang ikut melembagakan kapitalisme di bidang ekonomi. Globalisasi di bidang ekonomi yang masih merupakan persoalan di sejumlah negara bangsa di Dunia Ketiga hingga dewasa ini, antara lain juga adalah warisan dari sistem ekonomi yang lahir di masa-masa menguatnya rasionalisme abad 18-19 itu. Bahkan, bisa kita duga bahwa sistem pemerintahan demokrasi sepertinya adalah cara yang sengaja untuk dikampanyekan dan digalakkan di Dunia Ketiga pada masa-masa kelahirannya di awal abad 20 untuk memuluskan penguasaan di bidang ekonomi oleh negara-negara Eropa dan Amerika khusunya hingga hari ini. Kapitalisme, rupanya menemukan ruangan yang nyaman untuk berkembang ketika negara-negara bangsa melakukan eksprimen untuk menerapkan sistem demokrasi. Mudah-mudahan logika saya ini tidak keliru.
Sebab, menariknya kekuasaan absolut negara yang disebut Hobbes dengan Leviathan, akhirnya kini berubah wajah dalam negara bangsa atas nama nasionalisme. Ketika suatu negara bangsa berhasil berdiri, dan mengalami euphoria yang luar biasa karena kebanggaan berhasil mengusir pihak penjajah asing dari tanahnya, maka demokrasi dipilih sebagai sistem alternatif untuk mengurus negara bangsa baru itu. Pemilu dilaksanakan, yang antara lain untuk memilih penguasa baru, di legislatif dan eksekutif khususnya. Kepala negara baru (presiden atau perdana menteri), yang dipilih berdasarkan suara terbanyak, diterima sebagai cara yang paling tepat untuk mengganti raja dalam sistem monarkhi. Dalam kampanye-kampanye, dan pewacanaanya, baik oleh negara maupun lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, demokrasi akhirnya dibedakan secara radikal dengan sistem monarkhi apalagi teokrasi. Bahwa, dalam sebuah negara bangsa baru yang majemuk, mestinya pemimpin negaranya bukan karena berdasar pada geneologis, atau wangsit dari langit, tapi harus dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan rakyat. Itulah kehendak orang banyak orang yang terlembaga. Wakil-wakil rakyat juga harus dipilih oleh rakyat secacara langsung, dan mereka yang mendapat suara terbanyaklah yang pantas menjadi media perjuangan aspirasi rakyat. Setidaknya begitu wacana-wacana demokrasi sampai hari ini.
Tapi, cerita berulang. Apa yang dipotret oleh Machiavelli di akhir abad 15 dan awal abad 16 tentang kejahatan politik seorang Cesare Borgia, dan apa yang menjadi ajaran Hobbes di Inggris pada abad ke 17 tentang kelahiran negara, yang pada dasarnya negara itu akhirnya menjadi lembaga hegemoni kebebasan individu, kini menjadi fenomena menyeramkan di negara-negara bangsa yang mempraktekkan sistem demokrasi modern. Leviathan tetap hidup, dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dalam negara bangsa, dia tak lagi seorang raja, melainkan negara.
Pemilu untuk Menghasilkan Tirani Mayoritas
Demokrasi, pada prakteknya, hanyalah bentuk lain dari sistem monarkhi. Bahwa, demokrasi bagaimanapun tetap mengandung kekuasaan, dan kecenderungan terpusatnya kekuasaan pada sekelompok orang/rezim. Dan, negara bangsa, yang telah memindahkan kekuasaan absolut itu dari diri seorang raja ke lembaga pemerintahan/rezim atau lebih tepatnya lembaga negara itu, pada akhirnya harus menggunakan kekuasaan/kekerasan untuk menundukkan kebebasan individu. Leviathannya Hobbes, ternyata tak berhasil dihancurkan oleh demokrasi. Ini terjadi, ketika rakyat hanya diposisikan dan ditempatkan sebagai individu-individu pemilih, bukan pengontrol atau yang ikut bersama-sama dalam proses pemerintahan. Rakyat, dengan segala taktik rezim yang terpilih berdasar suara terbanyak itu, selalu diusahakan untuk terasing dari proses bernegara/berpolitik. Tapi lebih dari pada itu, demokrasi sejatinya adalah sistem, sebagaimana sistem-sistem pemerintahan yang lain, yang di dalamnya mengandung kekuasaan. Kekuasaan itu yang kemudian dilembagakan dalam berbagai peraturan hukum.
Pemilihan Umum (Pemilu), yang dipercayai sebagai satu-satunya cara ideal untuk memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat, dalam sejarahnya hanyalah kemudian untuk mengesahkan penguasaan mayoritas (elit yang memegang kendali kekuasaan/kuat secara kuantitas politik) terhadap minoritas (rakyat yang terasing dari kekuasaan/lemah secara politik). Suara terbanyak sebagai penentu kemenangan dalam sebuah kompetisi dan suksesi dalam sistem demokrasi akhirnya rawan menciptakan penguasa yang lalim dan otoriter (tirani mayoritas). Sejumlah penguasa tiran di era negara bangsa, adalah produk dari Pemilu dalam sistem demokrasi, di mana rakyat diminta harus datang ke tempat-tempat pemungutan suara, apapun bentuk partisipasinya untuk memilih calon-calon penguasa. Karena itulah sehingga Golput dianggap rezim sebagai sikap yang tidak bertanggungjawab untuk pembangunan negara.
Menariknya, sampai saat ini, apa yang disebut Samuel Huntington partisipasi aktif sebagai yang ideal untuk sebuah demokratisasi, belum terbukti, atau memang keliru. Dan era ini yang lebih gila ternyata. Kalau dulu, menjadi raja tiran karena berdasar mitos pemilihan dewa/ilah, tapi di era demokrasi ini menjadi penguasa tiran justru karena dilegitimasi oleh rakyat melalui Pemilu, dan tampilannya seolah-olah logis dan rasionalistik.
Kampanye, seperti yang sedang ramai-ramainya di negara bangsa Indonesia sekarang ini, katanya sebagai salah satu tahapan Pemilu untuk mensosialisasikan visi, misi dan program-program partai politik. Sementara partai politik, pada kenyataannya adalah alat atau media negara untuk usaha penundukkan secara terselubung. Dan para caleg, adalah mereka-mereka yang dipersiapkan untuk menjadi pengkhotbah segala mitos kesejahteraan dari negara. Sebab, segala janji itu, akhirnya hanya akan menjadi mitos, dan barangkali tepatnya takhyul bagi rakyat. Partai politik atas nama demokrasi hanyalah candu bagi kebanyakan rakyat kita.
Bukit inspirasi Tomohon, 22 Maret 2009
Minggu, 22 Maret 2009
Melampaui Demokrasi
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Minggu, Maret 22, 2009
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar