HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Jumat, 17 April 2009

Demokrasi Mendekati Ajal

Oleh: Denni Pinontoan

Banyak orang yang protes ketika namanya tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Banyak caleg yang melakukan serangan fajar dan money politics. Banyak yang khawatir, bahwa konsekuensi dari suara terbanyak adalah tersingkirnya politisi-politisi kawakan, dan kemudian memunculkan politisi-politisi instant, seperti selebiritis, anak politisi, dan pengusaha. Media kemudian menyimpulkan semua itu dengan istilah “Kekisruan Pemilu 2009.”

Beberapa hari setelah pemungutan suara, seorang teman yang ikut menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2009 ini, mengeluhkan tentang massanya yang tiba-tiba berpindah hati karena serangan fajar dari para caleg lain yang, bukan hanya soal punya uang lebih, melainkan moral politiknya memang demikian. Ia menceritakan, tentang betapa rakyat sekarang ini lebih memilih uang daripada komitmen. “Ya, begitulah. Rakyat lebih memilih uang, ketimbang komitmen yang saya tawarkan,” keluhnya.

Saya kenal betul teman itu. Ia memang baru pertama kali terjun dalam dunia politik praktis. Beberapa kali kami berdiskusi seputar proses pencalegkan. Ada sebuah komitmen yang tulus, yang saya bisa tangkap dari raut wajahnya ketika bicara. “Saya, hanya mengatakan kepada warga, bahwa sekarang ini (maksudnya waktu kampanye -saya), saya tidak bisa memberikan uang, tapi, mereka bisa menagih komitmen saya, kalau saya terpilih, karena mereka memilih saya,” ucapnya suatu kali.

Tapi, di pertemuan terakhir itu, setelah ia tahu bahwa perolehan suaranya tidak memungkinkan ia untuk menjadi anggota dewan, penyelesalan yang saya lihat dari dia bukan bahwa ia telah bangkrut lantaran telah mengeluarkan uang banyak untuk politik uang, melainkan rakyat yang selama ini telah ia dekati, tibat-tiba meninggalkan dia di tanggal 9 April. “Mereka semua telah menjadi korban serangan fajar. Yang aku sesalkan bahwa suara mayoritas sekarang ini, bukan karena nurani, tapi karena uang,” tandasnya.

Di sejumlah TV swasta, kita kemudian mendegar kabar, bahkan ada caleg yang gantung diri karena perolehan suaranya minim. Yang lainnya, stress, dan ada yang tak malu-malu mengambil kembali pemberiannya waktu kampanye ketika tahu bahwa ia telah kalah dalam pemilu. Tapi, para selebritis, anak pejabat dan pengusaha yang meraih suara terbanyak, senangnya bukan main. Mereka kini bangga karena bisa menjadi anggota dewan, setelah menjual popularitas dan membeli dengan uang hak suara rakyat. Dan rakyat melakukan itu tanpa beban. Ya, tanpa beban, karena kampanye di negeri ini, akhirnya menjadi sepaket dengan sembako dan uang di amplop.

Para pengamat kemudian menilai fenomena pemilu ini sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang masih belajar atau berproses dalam mempraktekkan demokrasi. Mereka, kelihatan sekali masih mentuhankan demokrasi. Dari diskusi-diskusi di tv, pendapat-pendapat yang dikutip wartawan yang kemudian dirilis di media massa cetak, kebanyakan cenderung menyalahkan kerja KPU dan bahkan mencurigai intervensi elit pemerintahan. Semua itu, menurut saya benar, tidak ada yang salah dari pengamatan, dan penilaian mereka. Tapi, dari setiap Pemilu di negeri ini, Orde Baru, dan terutama era reformasi ini (Pemilu 1999, 2004 dan terakhir 2009 ini), fenomena politik uang, golput, dan orang-orang yang terpilih kemudian jauh dari harapan, selalu ada. Apakah ini, benar bahwa kita masih belajar berdemokrasi, orang-orang yang terpilih bobrok moralnya atau memang begitulah demokrasi?

Di hari Pemilu 9 April yang lalu, saya kebetulan ke pasar tradisional Tomohon. Pasar itu sepi, tapi masih ada orang-orangnya, terutama para penjual. Seorang perempuan penjual sayur, agaknya tak menggunakan hak pilihnya di hari itu. Ia hanya menyibukkan diri dengan menjual sayur mayurnya. ”Sebab, yang kita pilih itu kan nda bisa mengganti keuntungan berjualan di pasar ini. Lebih baik tidak memilih, terserah saja siapa yang terpilih,” ujar perempuan itu.

Pemilu, bagi banyak orang adalah pesta demokrasi. Tapi, ketika hasil pemilu itu tak berfaedah apa-apa bagi kehidupan, maka kemudian banyak orang yang menjadi pesimis dengan Pemilu. Kalau memang demokrasi adalah ruang untuk rakyat menyatakan aspirasi dan kehendaknya, maka pernyataan perempuan penjual sayur ini, mestinya jangan dianggap remeh. Barangkali, ada jutaan orang Indonesia yang berpikiran sama, seperti perempuan penjual sayur itu. Ia, mewakili rakyat Indonesia yang menganggap mencari rejeki lebih penting untuk hidup, ketimbang menggunakan hak pilih untuk melegitimasi kekuasaan yang nantinya hanya akan menindas dirinya. Rakyat yang lainnya, justru memilih untuk berdagang dalam kampanye dan keriuhan pesta jual kecap para calon penguasa. Apakah rakyat yang bodoh, jika tidak mencontreng, dan atau ikut berdagang dalam pesta jual kecap itu, atau demokrasi yang memang membuat semua kondisi itu terjadi? Sebelum ada yang menjawab pertanyaan ini, saya terlebih dahulu ingin mengatakan, bahwa demokrasilah penyebabnya. Kenapa? Ya, karena demokrasi dalam prakteknya adalah kebebasan untuk memilih sikap. Demokrasi telah membuat rakyat untuk memilih sikap menerima sembako dan uang dalam amplop, dan menggantinya dengan suara di tempat pemungutan suara.

Pemilu, sebagai salah satu instrumen dalam berdemokrasi, pada kenyataanya, hanyalah untuk melegitimasi munculnya calon-calon penguasa baru, atau ikut mempertahankan kekuasaan para elit lama. Sebab, belum seminggu Pemilu 9 April, dan penghitungan suara di KPU belum selesai, para elit partai, sudah berbicara tentang koalisi untuk Pemilihan Presiden (Pilpres). Manuver koalisi para elit itu seramai dengan protes massa terkait dengan ketidakberesan Pemilu baru-baru ini. Sementara rakyat masih bersibuk-sibuk dengan kekacauan Pemilu 9 April lalu, para elit partai justru bersibuk-sibuk memasang strategi merebut tampuk kekuasaan di Istana. Inilah demokrasi. Kesalahan teknis DPT, serangan fajar dan politik uang waktu kampanye, sampai menjamurnya caleg-caleg dadakan, bukan sebagai persoalan utama. Persoalan utamanya ada pada demokrasi yang kita praktekkan sekarang. Inilah fenomena demokrasi yang sedang menjemput ajal.

Tapi, kemudian kita tidak harus mengatakan, bahwa ketika demokrasi telah dijemput ajal, maka kita harus kembali ke sistem teokrasi, oligarkhi, aristokrasi atau monarkhi. Barangkali, perlu dikembangkan lagi satu sistem politik yang bukan sekedar berbasi-basi dengan doktrin kekuasaan di tangan rakyat, atau bahkan memanipulasi rakyat untuk meligitimasi kekuasaan di tangan sekelompok orang (rezim). Sebab, di tangan siapapun kekuasaan itu, selagi sistem dan proses itu mengandung kekuasaan, pada hakikatnya dia adalah korup. Apakah mungkin kita hidup tanpa bernegara? Entahlah...

0 komentar: