Manado, Dan Kitapun Bernyanyi tentang Engkau
Manado,
dan kita pun bernyanyi tentang engkau
dalam lagu yang teramat panjang
dengan nafas yang hampir berkarat.
saat hari-hari kita memendek
dalam gemuruh hasrat yang menimbun segala-gala.
tak ada lagi parodi Oom Endi deng Oom Gode di radio; tak ada lagi manis buah bombongan yang bikin kremos; tak ada lagi becak Teling yang aneh; tak ada lagi pohon pakoba yang bebas kita kerat kulitnya untuk rufu benang falinggir; tak ada lagi desas-desus hoga yang bergentayangan saban ada pembangunan dodoku baru; tak ada lagi jejak-jejak cinta dua remaja bersepeda-mini di keliling plein Tikala. Semuanya tak ada lagi. Sudah
hilang. Tertimbun! Terbenam!! Terbunuh, sebelum waktunya, oleh pengkhianatan, kebodohan,
dan masih terlalu kecilnya rasa tanggung jawab.
maka
sebetulnya kita pun tak tahu apakah kita sungguh-
sungguh merindukan setiap yang hilang itu.
kita tak tahu.
kita tak tahu ke mana kita harus berpihak
kerna kita bahkan tak pernah tahu di mana kita berpijak.
[Puisi ini pernah dibacakan pada Acara Perayaan HUT Kota Manado tahun 1979; pernah terbit dalam suratkabar Obor Pancasila Manado.]
__________________________________________________________
Opo Wananatas
bergegas kami bergerak
merambahi nisan-bersama, bumi,
tahun lalu begitu ligatnya, maaf jika Kausilau
tapi hari ini, sejak subuh tadi, melata
lainnya bahkan telah terkulai
tiap sel jasadnya mulai ditumbuhi cendawan
mereka lalu dihisap ke dalam pori-pori waktu.
Suka lebih manusiawi,
sejenis kepongahan yang sah,
“Kasian, ia baik.”
periksa
kisi-kisi jendela kanan, belakang rumahMu
sedang dicongkel bijak nan saleh
senyumnya ademkan kota
cuma kerna kupu-kupu keliru memilih pijak di pucuk tomat,
kiri oleh sang revolusioner yang se-
malam lantunkan pidato kenegaraan pertamanya
sehabis membereskan seluruh instalasi vital.
Kalau kumati lusa pagi
malam ini: ingin kutidur dengan jenazahku
esok: mengeja ayat hafalan buat anakku
[Puisi Opo Wananatas pernah terbit dalam buku Tadah Lidah, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985.]
__________________________________________________________
Perjalanan
ketika senja basah di Cawang Atas
kau turun dari bus
menghilang ke dalam sirna-ku
memeluk akrab-mu.
kota telah mengganti hari-hari kita
hidup menjadi jalannya perjalanan tubuh
langkah kaki melahirkan hidup, tak lagi sebaliknya
hidup jadi bagian perjalanan, tak lagi sebaliknya.
di punggung jalan layang kauakhiri jalan kita, justru saat
kendara harus melaju mengejar laju waktu.
di punggung jalan layang kau berhenti justru untuk
masuk ke jalur pacu tanpa henti.
dan
andai basahnya senja ini tak dapat lagi kaucium
maka aku hendak percaya: kau bahkan ‘lah hilang dalam perjalanan
kemarin.
Jakarta, Januari 1988
[Puisi Perjalanan belum pernah dipublikasikan sebelum terbit dalam blog Mawale ini.]
__________________________________________________________
Sejarah 3 Orang
rintik-rintik hujan jatuh di permukaan duka yang tawar.
iba yang kautarik lewat tenggorokanku
terlalu pendek-
pendek
menguap
jauh sebelum mencapai tiga sosok kusta
yang tersandar di
dinding kolam air mancur monumen sejarah
di tengah simpang jalan itu.
tiga pengemis lepra, tiga onggok duka, iba kering,
dan permukaan kolam
[Seseorang harus menulis sejarah yang mengerikan ini:
tentang perasaan dirinya sendiri . . . .
Jln.Sudirman, Jakarta, 1986
baru selesai ikut wokshop editor di Ancol,
menuju acara launching buku biografi seorang tokoh.
[Puisi Sejarah 3 Orang belum pernah dipublikasikan sebelum terbit dalam blog Mawale ini.]
__________________________________________________________
Di sini juga indah
Pamulang ternyata juga indah
di sini juga ada sore berlangit perak
sama dengan langit di Tikala
yang dulu memendarkan cita kemilau.
tanah rantau tak selamanya padang tandus rasa
tak selamanya mengasingkan setiap kita di antara pagar-
pagar tembok syakwasangka,
dan tak selamanya tidak merasa perlu memijakkan
telapak kaki kita sendiri.
di Pamulang juga ada bulan lembut putih yang merintih manja
disayat-sayat dedaunan bambu.
tanah rantau tak saja untuk meraih kemungkinan
tak saja perjuangan
tapi juga indah
kerna di sini juga ada cinta.
Pamulang, Tangerang Selatan, Desember 2004
(Puisi Di Sini Juga Indah belum pernah dipublikasi sebelum terbit dalam blog Mawale.)
__________________________________________________________
Tentang Benni E.Matindas lahir di Titiwungen, Manado, 29 Oktober 1955. Menempuh pendidikan formal SD, SMP, SMA, Fakultas Hukum dan Sosiologi; pendidikan non-formal antaranya mahasiswa pendengar untuk matakuliah Filsafat Seni di STSRI Asri, Yogyakarta; dan otodidak dalam bidang Filsafat, Kebudayaan dan Ilmu Ekonomi/Studi Pembangunan.
Dikenal sebagai budayawan, kolumnis di media massa, serta peneliti sosial, sejarah dan pembangunan. Pengajar filsafat pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Jawa Barat. Aktif di beberapa LSM/NGO. Direktur Sanggar Pædia (lembaga kajian dan publikasi pengembangan sistem pendidikan, penyelenggara pelatihan kecakapan-kecakapan dasar manusia).
Menulis cerpen, puisi dan esai di media massa yang terbit di Jakarta, Manado, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan internet, sejak 1975.
Karya-karya kreatif/susastra a.l.:
1. Pulang-Pulang (drama, 1976)
2. Bumi Kita Kusta (oratorium, 1977)
3. Sang Masingko & Amanat Yang Pasti (drama, 1978)
4. Rasul Ditangkap Karena Sifilis (drama, 1978)
5. Mazmur Tempurung (opera, 1979)
6. Tahlillahirillahi (antologi puisi, Manado: Moraya, 1978)
7. Tadah-Lidah (antologi puisi, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985)
8. Hari Penentuan (antologi puisi beberapa penyair, Jakarta: Pena, 1986)
Ditanya mengapa banyak kalimat dalam puisinya tak diawali dengan huruf kapital tapi selalu pasti diakhiri dengan titik, Benni Matindas menjawab: “That’s life! Sangat banyak hal dalam kehidupan ini yang terjadi bukan oleh keputusan kita, kehendak kita, bahkan sekadar tindakan yang tak kita sengajai. Kita bukan penyebab, kita bukan penentu, bukan kita yang mengawali. Tetapi sebaliknya kita manusia memiliki kesanggupan, karena ada consciousness, untuk membuat pengakhiran atau sekadar notasi mengenai akhir dari semua yang terjadi itu.”
Menulis sejumlah buku ilmiah, a.l.:
1. Sistematika Program Seni Budaya. Trifacet: Kesenian Daerah, Kesenian di Daerah, dan Daerah Kesenian (Manado: 1979)
2. Serba-Aspek Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: Nusantara, 1987)
3. Paradigma Baru Politik Ekonomi (Jakarta: Bina Insani, 1998)
4. Negarakertagama – Kimia Kerukunan (Jakarta: Bina Insani, 2002)
5. Negara Sebenarnya (Jakarta: Widyaparamitha, 2005)
6. Meruntuhkan Benteng Atheisme Modern (Yogyakarta: Andi, 2010)
Dan sejumlah buku lainnya; meliputi tema/disiplin beragam: kebudayaan, studi pembangunan, filsafat politik, sejarah, refleksi sosio-theologi, dan lain-lain.
Cerpen pertama yang dipublikasi “Cinta Abadiii…∞” (terbit dlm majalah Aktuil, Bandung, 1975); esai kritik sastra pertama terbit 1976 dlm sebuah majalah di Jakarta; puisi pertama yang dipublikasi “Ia Memanggil” (terbit dlm suratkabar Suluh Merdeka, Manado, 1978); artikel ilmiah pertama “Liberalisme Gaya Melayu” (terbit dlm harian Merdeka, Jakarta, 1979); makalah kebudayaan pertama dipresentasikan di Manado, 1980.
Selasa, 15 Februari 2011
Sajak-Sajak Benni E. Matindas
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Selasa, Februari 15, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
interesting information thanks
Posting Komentar