Catatann Denni Pinontoan
”Ado, samua serba mahal. Beras, tu paling bisae, ampa ribu lebe. Tu gaga nda mampu kasing mo bli. Minyak kalapa lei mahal. Gula putih, ikang...Ado pokoknya samua serba mahal,” gerutu seorang ibu di sebuah mobil angkot jurusan Tomohon Kakaskasen-Terminal Beriman Kota Tomohon beberapa hari lalu.
”Iyo kang, pe mahal samua, no,” sambung seorang ibu yang lain, yang sama-sama baru selesai berbelanja.
Mobil angkot yang ditumpangi ibu-ibu itu, tiba-tiba berpapasan dengan konvoi mobil peserta kampanye dari salah satu partai besar. Kebetulan hari itu, lagi ramai-ramainya partai-partai berkampanye.
”Nda mo iko kampanye, ngana?” tanya ibu pertama yang menggerutu itu. Ia agaknya bertanya begitu setelah melihat konvoi mobil kampanye.
”Malas. Mo dapa apa? Samua dorang ja bilang towo! Bilang sembako turung, coba lia di pasar kalo butul?” Ibu yang yang lain berkomentar.
Dua orang perempuan ini sehari-hari bersentuhan dengan urusan sembako.
Selain dari dua ibu itu, saya juga telah beberapa kali mendengar cerita yang sama, tentang mahalnya harga sembako sekarang ini. Bukan cuma ibu-ibu, bapak-bapak juga saya dengar mengeluh dengan harga sembako yang mahal.
Memang butuh seorang ekonom untuk menjelaskan kenapa akhir-akhir ini harga sembako mahal. Tapi, dari cerita-cerita yang saya dengar itu, fakta bahwa sekarang ini, rakyat kita sedang kesulitan dengan harga bahan-bahan pokok yang mahal.
“Mar, ada iklan di TV dari salah satu partai yang bilang, dorang kata so sukses. Karena harga sembako so murah, deng so berhasil beking swasembada pangan.” Komentar itu saya dengar dari beberapa orang yang bercakap-cakap tentang kampanye partai di TV.
“Ah, itukan permainan wacana saja,” kataku menyambung. ”Buktinya, banyak yang mengeluh dengan harga sembako yang mahal.” Saya pun hanya mendengar istilah “permaianan wacana” itu dari seseorang. Tapi, beberapa orang yang bercakap-cakap itu kemudian bertanya, “Bagimana dorang boleh badusta kang deng iklan itu?”
Ketika saya pikir-pikir benar juga pertanyaan itu. Bagaimana ya, bisa elit-elit kita boleh sembarangan bicara begitu. Tidakah mereka (para elit partai itu) tahu, bahwa belum ada satupun partai di Indonesia ini, yang benar-benar berhasil? Negara inipun, dengan rezim-rezim yang terus berganti sejak reformasi, bahkan belum ada yang bisa kita katakan berhasil untuk mensejahterahkan rakyat.
“Kesejahteraan, di negara kita ini bung, hanya mitos. Jangan percaya!” kata temanku dalam suatu diskusi dadakan. “Jangan percaya, sebab bahasa juga kadang menjadi milik penguasa untuk memanipulasi kesadaran rakyatnya,” katanya lagi.
“Emm...maksudnya, kata ‘kesejahteraan’ yang disebut-sebut penguasa itu hanya untuk mengganti kata ‘terpuruk’, yang menjadi realitas kebanyakan rakyat di bumi nusantara ini”? tanya temanku yang lain. Tapi kalimat ini, kalau saya lihat dari gaya bicara temanku itu, sebenarnya bukan sebuah pertanyaan, tapi pernyataan. Karena, dari kerut dahinya, tampak bahwa memang begitulah keyakinannya.
Di Facebook (FB), situs jejaring sosial itu, ramai juga diskusi-diskusi serius ataupun cuma babagara, mengenai Kampanye dan Pemilu 2009 ini. Ada yang menyoal tentang Golput, caleg-caleg yang menjamur, dan kualitas dan hasil Pemilu kali ini. Beragam memang cara orang menilai fenomena kampanye dan Pemilu sekarang. Ada yang masih optimis, dan berharap Pemilu kali ini dapat membawa perubahan. Tapi juga ada yang pesimis, dan bersikap kritis. ”Pemilu kali ini, belum akan membawa perubahan yang signifikan, mengingat kualitas partai dan caleg, masih sama seperti yang lalu-lalu,” begitu tulis seseorang mengomentari sebuah catatan tentang Kampanye dan Pemilu dalam sebuah notes di FB itu.
Menariknya, selain tanggapan kritis yang bermunculan, banyak juga caleg dari beragam partai yang menggunakan FB untuk mengkampanyekan diri. Mereka-mereka itu tak sulit dikenali, karena foto-fotonya memang terang-terang telah menyatakan dirinya sebagai caleg. Bahkan, ada yang tanpa malu-malu secara terbuka telah meminta dukungan. ”Ini merupakan kampanye efektif, tapi efisien. Dorang kwa da ta inspirasi dari Obama, presiden Amerika sekarang. Waktu dia kampanye lalu, da pake FB lei,” kata temanku yang sering ke warnet itu.
Bicara kampanye di TV, Baliho, FB, dan kampanye terbuka, dalam konteks Pemilu 2009, semua ini terkait dengan apa yang sering disebut dengan strategi kampanye. Dan, menariknya, dalam kampanye-kampanye itu, kata ”rakyat” selalu disebut-sebut. Bahkan, yang tampak, bahwa Pemilu 2009 ini, hanya untuk rakyat, bukan untuk yang lain. Itu kalau kita mau percaya dengan propaganda para caleg-caleg itu.
“Tapi, bukankah waktu Pemilu 2004 lalu, kata-kata itu juga yang dipakai oleh para caleg dan partai-partai dalam berkampanye? Dan, bukankah beberapa orang produk Pemilu 2004 itu, banyak di antaranya sekarang telah dibui atau sedang dikejar-kejar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?” Tanyaku kepada laptop, media aku menulis catatan ini.
Dia tak menjawab. Yang harus menjawab itu, adalah aku sendiri melalui jari-jariku yang bermain di atas keyboard. Dan, pertanyaan ini, baiknya juga direnungi oleh siapapun yang membaca catatan ini.
Tapi, sebelum aku menutup catatan ini, ada suara polos, milik seorang balita berteriak: “Pa, minta kecap dang?”
“Ha, ‘kecap’? Dorang cuma jual kecap??!!”
Rabu, 01 April 2009
Kampanye dan Sembako
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Rabu, April 01, 2009
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar