Tanggapan terhadap Polemik Logo Kabupaten Minahasa Tenggara
Oleh: Roy Marthen Langoy, S.Teol
Walaupun saat ini tidak berdomisili di Minahasa Tenggara (MITRA), tapi kecintaan pada tanah saya dibesarkan tidak akan pudar selama-lamanya. Oleh karena itu melalui media masa saya terus berusaha untuk mengikuti perkembangan MITRA. Saya sangat mendukung usaha PEMKAB MITRA untuk membangun daerah ke arah yang lebih baik dengan istilah PEMULIHAN (Patuh, Efisien, Maju, Unggul, Lancar, Indah, Higienis, Aman, dan Nyaman) yang dicanangkan Bupati Telly Tjanggulung. Namun, saya menyesalkan fenomena yang terjadi saat ini khususnya niat dari PEMKAB MITRA untuk mengganti simbol burung Manguni dengan burung Merpati di logo MITRA. Sebenarnya tidak ada yang perlu dipulihkan dari simbol Burung Manguni itu, yang perlu dipulihkan adalah pemahaman yang salah dari simbol tersebut. Inilah maksud dari tulisan ini.
BURUNG MERPATI DALAM ALKITAB
Dalam Kitab Suci orang Kristen (Alkitab), kata merpati mucul 44 kali.
1. Kejadian : Burung merpati berperan sebagai pemberi pesan kepada Nuh tentang keadaan alam, lebih khusus keadaan air sesudah peristiwa air bah dan persembahan Abraham kepada Allah.
2. Imamat : Burung merpati sebagai persembahan
3. Bilangan : Burung merpati sebagai persembahan
4. II Raja-raja : Kotoran burung merpati digunakan dalan cerita tentang kelaparan di Samaria
5. Mazmur : Burung merpati sebagai makhluk yang bebas, makhluk yang lemah
6. Kidung Agung : Burung merpati sebagai simbol Cinta
7. Yesaya & Yeremia: Burung merpati sebagai simbol Kelemahan
8. Hosea : Burung merpati sebagai simbol Kebodohan (dari ungkapan “merpati tolol dan tidak berakal”, Hosea 7:11) dan kelemahan
9. Nahum : Burung merpati sebagai simbol Kelemahan
10. Injil-Injil: Burung merpati sebagai simbol Simbol Roh Kudus, ketulusan; sebagai bahan dagangan dan persembahan
Dari keterangan Alkitab sangat jelas bahwa ada begitu banyak hal positif yang dihubungkan dengan burung merpati (simbol Roh Kudus, ketulusan, cinta; persembahan, pemberi pesan), tetapi tidak sedikit juga hal-hal negatif (simbol kelemahan, kebodohan).
BURUNG MANGUNI DALAM BUDAYA MINAHASA
Uraian tentang logo MITRA sebenarnya sangat jelas di website PEMKAB MITRA (www.mitrakab.go.id). Burung Manguni diuraikan sebagai simbol keminahasaan. Tampilan Burung Manguni yang sedang terbang dengan memakai pita/gordon dan mahkota berwarna kuning keemasan menggambarkan masyarakat kabupaten Minahasa Tenggara yang religius, cerdas dan santun. Kepala yang terdiri dari wajah, alis, hidung, dan mata mengekspresikan kewibawaan dan ketulusan; hidung dengan alis terbuka yang menyerupai buku mengartikan sifat keterbukaan; mata berwarna putih mencerminkan kesucian dan ketulusan hati. Mahkota diatas kepala Burung Manguni yang warna kuning emas menggambarkan kehormatan dan kejayaan, dengan 3 mata rantai berwarna perak yang diikat oleh Tali mengartikan angka 23 sebagai tanggal peresmian Kabupaten Minahasa Tenggara. Pita/gordon yang melingkar pada leher burung berjumlah 5, mengartikan bulan Mei sebagai peresmian Kabupaten Minahasa Tenggara. Sayap kiri dan kanan serta ekor berjumlah 7 mengartikan tahun 2007 diresmikannya Kabupaten Minahasa Tenggara. Dengan kata lain Burung Manguni dalam logo MITRA adalah penyataan identitas/jati diri orang MITRA sebagai orang Minahasa yang religius, cerdas, santun, berwibawa, tulus, terbuka, memperjuangkan kesucian, kehormatan dan kejayaan.
Sampai di sini saya kira tidak ada alasan untuk mengganti posisi Burung Manguni dalam Logo MITRA. Tapi kemudian, kita diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan antara lain: “Bagaimana mungkin penduduk MITRA sebagai masyarakat religius di logonya terdapat Burung Manguni atau Burung Hantu?”
Tokoh senior GMIM Pdt. Prof.Dr. W.A. Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi (LETAK & UKIT Press:2003) menjelaskan Burung Manguni dengan sangat baik.
Berdasarkan keterangan biologis yang disajikan oleh Dr. Willy Smith, seorang pakar Lingkungan Hidup, Guru Besar tamu di banyak universitas di berbagai pelosok manca negara dan seorang Konsultan Departemen Kehutanan RI, Pdt. Roeroe berusaha melengkapi kajiannya terhadap Burung Manguni dari sudut pandang warisan kebudayaan Minahasa dan dari segi iman atau teologi Kristen.
Beberapa keterangan biologis tentang Burung Manguni
Tentang Namanya.
Dalam ilmu pengetahuan ia dikenal dengan nama Otus Manadoensis (Strigidae). Orang Minahasa menyebutnya dengan beberapa nama, antara lain Burung Manguni, Totosik, Mahot.
Tentang Jenis dan Umurnya
Sebenarnya burung Manguni yang kita kenal di Minahasa ini hanyalah salah satu jenis dari keluarga besarnya, yang juga ada di belahan dunia lain termasuk di Eropa. Menurut ilmu pengetahuan, jenis burung ini sudah hadir dan hidup kira-kira lebih daripada lima puluh juta tahun di muka bumi. Oleh sebab itu dapat dikatakan dia memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam, termasuk gejala-gejalanya.
Tentang Badan dan bulu-bulu serta cara terbangnya
Warna Burung Manguni cokelat gelap dan bertaburan noda serta bintik-bintik putih besar-kecil di seluruh tubuhnya. Ada yang badannya agak besar sehingga memiliki panjang sampai kira-kira 40 cm, yang kecil kira-kira 15-20 cm saja. Secara umum kepalanya nampak agak besar dan kalau duduk sampai berjam-jam lamanya tanpa kelihatan bergerak sedikitpun dan selalu kelihatan tegak. Sewaktu-waktu ia mengarahkan kepalanya untuk melihat dan memasang telinga ke suatu arah dan untuk itu kepalanya dapat berputar sampai sekitar 270 derajat. Sehingga kalau orang kebetulan melihat gejala itu dapat tercengang dan bingung bahkan sampai takut karena penampakan tersebut. Apalagi pada waktu burung ini mendadak terbang, maka sayapnya seketika terbentang lebar sekali dan menampakkan warna putih terang agak besar di bawah sayapnya, ditambah lagi bunyi (suara) yang agak aneh yang dikeluarkannya. Benar-benar akan membuat orang sangat takut.
Sangat mengagumkan ketika dia terbang, karena tidak kedengaran. Itu disebabkan oleh bulu yang tumbuh sangat teratur di tubuhnya, sehingga penglapisannya satu dengan yang lain tertutup rapih dan tidak meluaskan angin menyisp di antaranya untuk membangkitkan suara mendesir karena arus angin yang menyelinap sangat lemah. Hal ini juga ditunjang oleh rambut-rambut halus di atas dan di bawah bulu-bulunya itu yang sanggup meredam sisa-sisa hembusan angin. Dengan begitu, Burung Manguni terampil dan sanggup muncul cepat, mendadak dan tidak kedengaran di mana saja dan entah darimana datangnya, yang sangat mencengangkan orang.
Tentang Mata dan Penglihatannya serta telinga dan pendengarannya.
Burung Manguni memiliki otot-otot mata yang sangat berbeda dengan manusia. Otot-otot matanya dapat dengan sangat cepat memperbesar atau memperkecil iris atau jendela mata pengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata untuk menggambarkan penglihatan. Oleh karena itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan penglihatannya dalam keadaan remang-remang, terang dan gelap. Mata Burung Manguni 100 kali lebih baik dari mata kucing. Itu berarti matanya 500 kali lebih tajam dari pada mata manusia.
Sepasang mata terbelalak besar agak kekuning-kuningan yang menghadap ke depan seakan-akan dia berhadapan dengan manusia untuk menantang bahkan menakutkannya.
Pendengarannya juga 500 kali lebih terang dari manusia. Itu karena “daun telinganya” yang agak besar dan lobang telinganya yang mengantar gelombang atau getaran suara ke dalam rongga pendengaran tercipta amat canggih. Di bagian luar kedua telinganya terlindung dengan bulu-bulu halus yang membuatnya peka sekali untuk menangkap gelombang atau getaran bunyi frekuensi yang tinggi sekalipun dan yang tidak tertangkap oleh telinga manusia. Letak kedua lubang telinganya yang berjauhan dan tidak simetris membuat bunyi tiba lebih cepat ke telinga yang satu daripada yang lain dan segera dia dapat mengira atau lebih tepat mengukur jauhnya jarak ke sumber suara sekecil apapun dengan sangat cepat, cermat dan akurat.
Keterangan mengenai mata dan telinga Burung Manguni di atas diperoleh lewat percobaan ilmiah dalam suatu ruang gelap total. Di dalamnya dipasang sejenis pengeras suara mini yang diletakkan 20 meter dari si Burung Manguni. Lewat pengeras suara itu dibunyikan suatu suara kuku tikus kecil yang bergerak di tanah. Pertama, saat suara itu dibunyikan dengan durasi kurang dari satu detik, terekam kepala Burung Manguni tersebut diarahkan ke sumber bunyi dengan tepat. Dengan bunyi yang sama untuk kedua kalinya dengan durasi secepat kilat tetap dalam keadaan yang gelap total, Burung Manguni itu langsung terbang menyambar pengeras suara di kejauhan 20 meter dari posisinya sebelumnya secara sempurna. Luar biasa!
Tentang Makanan Utamanya
Lebih dari 90 % makanan utama jenis-jenis Burung Manguni ini ialah tikus kecil, yang biasanya di Nusantara kita ini menjadi hama tanaman-tanaman palawija dan padi di ladang atau sawah. Di Jawa dan Sumatera burung seperti ini dipelihara untuk membasmi dan memberantas secara efisien hama tikus di sawah dan perkebunan kelapa sawit. Caranya dengan menyediakan tempat burung-burung ini bersarang dan berkembang biak. Ternyata cara ini lebih ampuh dari pada menggunakan alat perangkap atau racun tikus yang dapat membahayakan manusia dan binatang ternak lain.
Tentang Tempat Perteduhannya
Di tanah Minahasa saat ini Burung Manguni semakin langka karena kecorobohan dan kerakusan manusia yang mengeksploitasi hutan. Dia memerlukan hutan dan pohon-pohon tua yang berlubang untuk sarang dan tempat perteduhannya supaya dapat berkembang biak dengan baik.
“Burung Hantu?”
Pada masa lalu ada sejenis Burung Manguni yang hidup di Yunani dan dianggap lambang Dewa Pallas Athena, dalam bahasa Latin ia dikenal dengan Athena Noctua. Orang Yunani memahami burung ini sebagai lambang kebijaksanaan dan yang berhikmat.
Di Eropa ada lagi jenis burung Manguni yang nama ilmiahnya Tyto Alba. Di sana, kebiasaan burung ini tinggal di dekat kuburan yang biasanya berada di samping gereja. Kuburan demikian disebut kerkhof (taman gereja) dalam bahasa Belanda. Di sekitar kuburan-kuburan seperti itu banyak bertumbuh pohon-pohon tua yang berlubang batangnya yang sangat cocok bagi jenis burung ini berlindung, tinggal dan berkembang biak. Di sepanjang siang hari di situlah ia bernaung, kadang-kadang juga di bawah atap gedung-gedung gereja. Pada malam hari burung-burung ini suka duduk diam seperti patung di atas kuburan itu untuk mengintai lalu menangkap mangsanya tikus. Kalau ada pengunjung lewat di sekitar gereja di malam hari, burung-burung yang mula-mula diam merasa terganggu dan tiba-tiba terbang serempak dan mengejutkan orang yang lewat itu. Di tambah lagi kalau burung ini melintas terlalu dekat pada orang itu dan mengeluarkan suara nyaringnya dan dengan pandangan matanya yang terbelalak, maka ketakutan besar akan dirasakan oleh orang itu. Waktu itu orang-orang di sana kemudian langsung membayangkannya seperti hantu. Itulah sebabnya mereka menyebutnya “burung hantu”. Waktu orang Eropa tiba di tanah Minahasa dan melihat Burung Manguni sejenisnya, langsung menyebutnya “Burung Hantu”. Yang sangat disayangkan beberapa pendahulu kita secara bodoh dan tanpa berpikir panjang langsung juga menyebutnya demikian. Penamaan itu terbawa-bawa bagi banyak orang di Minahasa sampai saat ini, termasuk untuk masalah penggantian posisi Burung Manguni di logo Kabupaten MITRA.
Burung Manguni dalam Kebudayaan Minahasa
Dari keterangan di atas Burung Manguni telah hidup lama ‘bergaul’ dengan alam, oleh sebab itu lebih berhikmat, lebih berpengalaman dalam interaksinya dengan alam ciptaan Tuhan. Ia lebih peka bergaul dengan alam sekitar dan oleh sebab itu lebih terampil mengenal dan memahami alam, dia lebih peka terhadap terganggunya perubahan iklim, gejala-gejala alam lebih khusus bencana-bencana, seperti yang banyak terjadi saat ini.
Saya bersyukur walaupun sebagian besar leluhur kita belum mengecap pendidikan seperti kita saat ini dan tidak mengetahui keterangan ilmiah Burung Manguni, mereka tidak memandangnya sebagai Burung Hantu. Mereka hidup bergaul erat dengan alam bersama segala yang hidup di dalamnya termasuk dengan Burung Manguni. Mereka belajar bergaul dan berupaya memahami bentuk-bentuk ungkapannya demi kalangsungan dan ketenteraman, ya, demi kerukunan hidup semua dan bersama. Oleh sebab bagi para leluhur kita ini, Burung Manguni adalah rekan hidup sehari-hari di alam ini, ia teman yang akrab, bahkan ia dianggap sebagai pengantara antara manusia dengan Dia Yang Tinggi dan Mahakaya serta Yang Berkemurahan: Opo’ wana’ an Atas, Opo’ Wailan Wangko, Opo’ Renga-rengan. Dengan demikian, bagi para leluhur kita Burung Manguni bukan “burung hantu”!, sekali lagi bukan “burung hantu”!. Ia disayangi dan diberikan tempat khusus dalam hati leluhur kita, sekali lagi sebagai teman. Ialah pemberi isyarat atau kabar kepada mereka lewat bunyi atau nyanyiannya. Di malam yang tenang nan indah, apalagi bila bulan bersinar, dan lebih-lebih lagi pada waktu bulan purnama, saat kedengaran Burung Manguni bernyanyi merdu dan syahdu: “hoot ……, hoooooot ……, hoooooot” berulang-ulang nun tinggi di atas pohon kayu, maka bagi para leluhur kita dengan segala sukacita menyambutnya dengan berseru: “Hai semua orang, termasuk anak-anakku. Besok pagi bangun dan kerjakanlah segala yang telah direncanakan dengan baik. Keberhasilan sudah menunggu kita, kerjalah dengan gembira, rajin dan penuh sukacita. Kepada kita telah diberi isyarat oleh teman kita”. Bunyi dan nyanyi indah itu merupakan pertanda alam sekitar aman, indah, lestari dan mendatangkan selamat. Oleh sebab itu berjuang dengan tabah, tekun, rajin, pasti berhasil!
Tetapi apabila pada suatu waktu ataupun suatu malam, apalagi menjelang larut, lalu didekat rumah atau pondok tempat bermukim tiba-tiba kedengaran bunyinya: “hot., hot., hot!” dengan tergesa-gesa dan kedengaran panik, maka kata para leluhur kita: “Hai semua orang, termasuk anak-anakku, berjaga-jagalah, periksalah semua pintu dan jendela, anjing penjaga rumah dekatkan. Jangan-jangan akan terjadi hal yang kurang baik, entah orang berniat jahat, atau binatang buas sedang mendekati kita atau kemungkinan gangguan dalam keseimbangan ketertiban alam seperti banjir, kemarau berkepanjangan dan bencana alam lainnya.
Begitulah para leluhur kita sanggup memahami dan mengerti bahasa sesama atau rekan hidupnya dalam alam ini.
Secara ilmiah perilaku Burung Manguni ini dapat dijelaskan, dimengerti dan dipahami. Pergaulannya dengan alam sekitar yang sangat lama dilengkapi dengan penglihatan dan pendengaran yang diciptakan Tuhan super canggih, maka gejala-gejala alami yang akan terjadi merangsang dia untuk berprilaku entah tenang dan indah atau sebaliknya panik dan terganggu sesuai dengan yang diamati dan dirasakannya.
Dalam hubungannya dengan iman Kristen
Kejadian Pasal 1 dan 2 menjelaskan bahwa bumi dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan. Khusus Kejadian 1:20-23 di ceritakan bagaimana Tuhan menciptakan binatang-binatang laut dan segala jenis burung. Saya yakin kita semua memiliki persepsi yang sama bahwa Burung Manguni (juga burung merpati) termasuk dalam jenis burung yang diciptakan Allah sebagaimana yang diceritakan di bagian Alkitab tersebut. Dengan kata lain Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Burung Manguni itu adalah “burung hantu”. Hanya orang Eropa yang memiliki persepsi salah tentang burung itu yang mengatakan demikian. Saya kira kita semua setuju untuk tidak membudayakan kesalahan yang terjadi selama ini.
Penutup
Menurut informasi dari Manado Post, Selasa 31 Maret 2009 bahwa PEMKAB telah mengusulkan ke dewan untuk dimasukkan dalam ranperda. Saya mengajak masyarakat MITRA bersatu menolak rancangan itu. Hanya bukan orang MITRA yang berani menanggalkan Burung Manguni sebagai identitasnya. Saya sangat menyesalkan statement Bupati MITRA di harian Manado Post, Kamis 2 April bahwa Patokaan Esa Pasti Diganti.
Sekali lagi saya sangat mendukung istilah PEMULIHAN (Patuh, Efisien, Maju, Unggul, Lancar, Indah, Higienis, Aman, dan Nyaman) yang dicanangkan Bupati Telly Tjanggulung. Namun, saya mohon dengan tulus seperti salah satu arti merpati, yang dipulihkan di MITRA adalah kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, sumber daya manusia, bukan IDENTITAS ORANG MINAHASA yang menjadi kebanggaan kami.
Saya kenal Bupati MITRA sebagai orang yang sangat religius yang berusaha menerapkan theokrasi (pemerintahan Allah) di dalam demokrasi (pemeritahan rakyat). Saya sangat mendukung hal tersebut. Oleh karena itu, Roh Kudus seharusnya bukan hanya terbatas pada simbol, tetapi pada tindakan konkret yang penuh ketulusan, cinta dan sebagai pemberi pesan yang baik kepada semua golongan agama di MITRA sebagai persembahan diri yang benar di hadapan Allah.
Melalui keterangan Alkitab, tidak semua hal yang berhubungan dengan burung merpati positif. Ungkapan “merpati tolol dan tidak berakal” dalam Hosea 7:11, merupakan keterangan negatif yang tidak harus diabaikan. Saya berharap pergantian burung manguni dengan burung merpati dipertimbangkan lagi, karena jangan sampai itu merupakan simbol kebodohan dan kelemahan orang MITRA (“merpati tolol dan tidak berakal”) yang mudah diperlakukan semena-mena oleh orang yang tidak merasa diri orang MITRA. Saya kira semua orang yang lahir, dibesarkan dan tinggal, bekerja di MITRA adalah orang MITRA. Yang bukan orang MITRA adalah yang menyangkal jati diri termasuk di dalamnya simbol Burung Manguni sebagai kebanggaan kami.
Saya kira Bapak Wakil Bupati tahu akan hal ini. Sebagai orang MITRA saya mau bertanya apa yang sudah Bapak lakukan dalam mempertahankan dan bahkan melestarikan identitas KEMINAHASAAN kita?
Yang saya tahu Indonesia menganut sistim pemerintahan demokrasi (secara harafiah berarti pemerintahan rakyat), bukan otoriter, segala keputusan hanya dari pemimpin. Oleh karena itu saya mendukung usulan dari tokoh-tokoh adat MITRA untuk membahas polemik ini dengan duduk satu meja, membahasnya bersama, bukan menetapkannya sepihak. Duduk satu meja untuk membahas satu persoalan adalah warisan leluhur yang menurut saya sangat cocok dengan amanat Pancasila (Burung Garuda) untuk bermusyawarah dalam memutuskan satu hal, yang perlu terus di lestarikan.
Penulis, orang Mitra, tinggal di Tomohon, Staff Perpustakaan Fakultas Teologi UKIT YPTK
Jumat, 03 April 2009
Manguni versus Merpati:
Diposting oleh infominahasa.blogspot.com di Jumat, April 03, 2009
Label: Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Situs Cerpen
Posting Komentar