HOME

BERITA

WAWANCARA

FEATURE

ARTIKEL

KAMI


Leput412

Sastra Minahasa

Sejarah Minahasa

Potret Minahasa


Selasa, 03 Februari 2009

Catatan


Golput:

Gerakan Kritik Terhadap Orientasi Politik Elit Kita

Oleh: Denni Pinontoan

Ternyata yang paling gerah dengan fenomena Golongan Putih (Golput) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Betapa tidak, organisasi keagamaan Islam ini, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram bagi umatnya yang menjadi Golput. Aneh, sebab kenapa hak memilih untuk memilih atau tidak memilih digeser ke wilayah sorga dan neraka, atau tidak berdosa dan berdosa? Tapi, tulisan ini tidak bermaksud mengulas fatwa MUI itu, melainkan berusaha fokus pada fenomena Golput dalam Pemilu di Indonesia, yang terlanjur dikontroversikan.

Sesuai yang saya tahu, bahwa di Indonesia istilah Golput ini pertama kali masuk dalam perbincangan politik pada tahun 1971. Beberapa informasi yang saya dapat, Golput pada masa awal ini sebetulnya sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang membatasi jumlah Parpol yang akan ikut pemilu pada tahun 1971 sebagai upaya kontrol dari pihak rezim. Arif Budiman, cendekiawan muda pada waktu itu memotori gerakan protes itu bersama puluhan cendekiawan muda lainnya. Sebagai bentuk protes, maka muncul apa yang disebut dengan Golongan Putih atau yang kemudian dikenal dengan istilah Golput.

Aksi protes itu diaktualisasikan dengan menganjurkan untuk tidak mencoblos tanda gambar Partai pada Pemilu itu, dan hanya mencoblos bagian kertas suara yang berwarna putih. Sejak itu, golput menjadi istilah bagi wajib pilih yang tidak menggunakan hak suara. Berdasar latar sejarahnya ini, maka mestinya golput diartikan sebagai sebuah gerakan protes terhadap sistem demokrasi yang sementara berlangsung, dengan cara memilih untuk tidak memilih. Ini dilakukan secara sadar, bukan paksaan, atau persoalan teknis pemilu lainnya. Sehingga golput, mestinya bukan soal dosa dan tidak berdosa, tapi sebagai sebuah sikap politik untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu karena sebab-sebab yang prinsipil.

Sikap protes itu menghasilkan sebuah angka yang cukup signifikan pada pada pemilu 1971. Jumlah Golput pada pemilu itu tercatat mencapai 4.858.667 atau sekitar 8,30 persen. “Meski jumlah Golput dari pemilu 1955 sampai 1999 tidak pernah melebihi angka 10 persen, gerakan itu mampu menimbulkan kesadaran politik baru pada masyarakat pemilih. Yaitu kesadaran, untuk tidak memilih bila memang tidak percaya pada sistem yang berlaku,.” begitu komentar seseorang yang bernama Jajang di halaman Komentar Anda pada situs http://www.calegindonesia.com.

Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI dalam tulisannya di harian Suara Merdeka edisi Kamis, 27 Mei 2004, mengurai secara singkat fenomena golput ini dalam angka. Tulisnya, pada Pemilu 1955, tingkat golput mencapai 12,33% persen. Pemilu 1971 golput mencapai 6,67 persen, kemudian meningkat menjadi 8,40 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,05 persen. Dan yang lebih dahsyat, seperti data dari Baasir itu, pada Pemilu 2004 angka golput mencapai 23,3 persen dari total pemilih terdaftar sebanyak 148.000.369. Berdasar angka itu, sebenarnya golputlah yang memenangkan Pemilu 2004 itu.

Memilih Golput Karena Tidak Percaya Pada Hasil

Kenapa banyak pemilih Indonesia yang dengan sadar tidak menggunakan hak pilihnya di era reformasi ini khususnya? Banyak orang telah menganalisanya. Tapi, saya punya analisa sendiri. Pertama, fenomena golput dipicu antara lain karena melihat hasil yang disaksikan pada setiap Pemilu. Pemilu di zaman Orde Baru, tentu sudah berbeda dengan pemilu zaman reformasi. Namun, kalau di era orde baru kekecewaan lebih kepada kontrol rezim yang terlalu berlebihan terhadap 3 kendaraan politik di zaman itu, sehingga para wakil rakyat dari masing-masing Parpol itu di lembaga legislatif hanya menjadi kaki tangan rezim, maka di era reformasi ini kekecewaan lebih kepada kader-kader partai itu yang tidak merepresentasi harapan rakyat karena hanya mengejar kekuasaan dan uang. Ini terjadi karena di era reformasi ini, parpol mengalami pergeseran orientasi, dari sebagai kaki tangan rezim menjadi alat untuk pemuliaan diri sendiri dan elit partai. Lihat sekarang ini banyak partai besar baru yang sengaja didirikan, bukan pertama-tama sebagai kritik terhadap kegagalan parpol-parpol terdahulu dalam mengemban amanat rakyat melainkan karena kepentingan dari satu dua orang untuk menjadi penguasa republik ini. Prabowo harus mendirikan Gerindra untuk kepentingannya maju pada Pilpres. Begitu juga Wiranto dengan Hanuranya.

Kedua, rakyat merasa sangat terasing dari hasil pemilu. Di masa-masa kampanye, di mana adalah juga masa bagi para caleg dan partai untuk menabur uang bagi calon pemilih, rakyat kebanyakan tampak menikmati betul siatuasi itu. Diajak kampanye di sana, rakyat ikut. Diajak kampanye di sini, rakyat juga ikut. Yang penting uang. Rakyat tidak mendengar visi dan misi partai, sebab hampir semua partai isinya sama. Rakyat hanya mencari uang untuk menambah biaya hidup. Tapi begitu pemilu usai, elit-elit baru dan lama tampak duduk-duduk manis di kursi dewan, sementara rakyat kembali menjalani kehidupan sehari-harinya. Bagi elit-elit itu, sekarang adalah masanya untuk melakukan segala cara, dan lebih gampang yang dilakukan adalah korupsi untuk mengembalikan uang yang digunakan membeli suara pada waktu kampanye. Ketika itu terjadi secara berulang-ulang maka rakyat pun menjadi jenuh dengan Pemilu. Akhirnya, ketika Pemilu datang lagi, kampanye bisa saja ramai, tapi waktu hari ”H”, banyak yang memilih di rumah saja, atau di kebun, di pasar dan di tempat mana saja mereka mencari rejeki untuk melanjutkan hidupnya yang terasing dari kebisingan pesta demokrasi Pemilu.

Ketiga, dari sekian puluh Parpol, dan beratus-ratus caleg yang waktu kampanye jual tampang di baliho-baliho, rakyat kemudian tidak mendapatkan jaminan nasib hidupnya. Rakyat hanya menonton ketidakmampuan parpol-parpol dan para caleg dalam memberi kepastian dan jaminan pada rakyat soal kelangsungan hidupnya. Semua jual kecap. Padahal, namanya kecap, tetap saja kecap. Kalaupun ada caleg yang mampu memberi jaminan, idealismenya kemungkinan besar akan hilang ditelan suara keras dari para oportunis yang pragmatis. Padahal, kalau sistem demokrasi kita sudah berjalan baik, rakyat mestinya tidak harus menjadi golput, karena sistem telah memungkinkan rakyat memilih secara rasional, bukan semata-mata emosional.

Golput Sebagai Realitas Berdemokrasi di Indonesia

Inti dari tiga sebab menurut analisa saya itu, bahwa fenomena golput semakin menjadi bagian dari kehidupan politik rakyat kita terjadi karena rakyat tidak percaya pada hasil Pemilu. Rakyat yang memilih untuk tidak memilih dan kita sebut mereka sebagai golput, bukan karena mereka bodoh. Malahan ini bentuk kecerdasan dari para golput untuk mengkritik para elit yang selalu berteriak atas nama rakyat. Fenomena golput, mau tidak mau harus diterima sebagai realitas dalam berdemokrasi di Indonesia, yang barangkali sampai negara ini bubar, akan terus ada. Para Golput menjadi enggan ikut berpartisipasi pada Pemilu, karena mereka sudah cukup cerdas belajar dari pengalaman, bahwa bagaimanapun hasil Pemilu itu, toh mereka akan tetap sebagai rakyat yang terasing dari pembangunan negara ini.

Tapi dalam keseharian setelah pesta demokrasi itu usai, para golput akan tetap memaknai dirinya sebagai warga negara Indonesia. Mereka akan tetap mengakui Presiden yang terpilih, meski mereka tak ikut memilih, kecuali barangkali caleg-caleg di lembaga legislatif yang mereka sudah tahu tak berguna apa-apa bagi kehidupan mereka. Jadi, para golput bukanlah teroris atau kaum militan agama yang bercita-cita mengganti ideologi negara ini. Pun, ketika angka golput di Pemilu 2004 mencapai 23,3 persen dari total pemilih, toh Indonesia masih punya lembaga legislatif dan Presiden. Bahkan, para golput itu, ketika kita tanya soal kecintaan mereka terhadap Indonesia, pasti mereka akan mengatakan, ”ya.” Bahkan, jangan-jangan para golput itu yang lebih mencintai Indonesia ketimbang para elit yang terpilih dalam pemilu, tapi kemudian terlibat pada kasus KKN, zinah, illegal logging dan kasus-kasus lain yang hanya memperburuk citra Indonesia.

Fenomena golput untuk massa transisi ini, barangkali harus kita terima sebagai sebuah sikap politik individu untuk memilih tidak memilih pada Pemilu, karena alasan-alasan yang prinsipil. Golput kemudian merefleksikan kepada kita, betapa Pemilu itu mestinya terutama adalah soal masa depan negara ini, yang antara lain memberi tempat bagi rakyat dalam proses pembangunan. Ketika Pemilu hanya menjadi ajang bagi para kaya, orang-orang yang pragmatis dan oportunis yang hanya mengejar kekuasaan dan uang, maka banyak orang yang kemudian memilih golput. Makanya, golput selalu menunggu bukti, bukan retorika dari para elit.

Ternyata, ini adalah persoalan berdemokrasi bangsa ini. Siapa yang harus disalahkan kalau dalam Pemilu 2009 ini angka golput meningkat lagi? Tapi, akhirnya, semuanya kembali kepada kita masing-masing yang akan memilih dan yang akan dipilih. Bagi para pemilih, jangan terkecoh dengan wajah yang tampan dan cantik para caleg itu di baliho. Bagi mereka-mereka yang akan dipilih, jangan keenakan berjanji, sebab janji adalah hutang. Rakyat nantinya harus menagih itu!

Tomohon, Selasa, 27 Januari 2009

0 komentar: